HT: Ekonomi RI Hadapi Kesenjangan Sosial dan Dominasi Asing

Senin, 02 November 2015 - 11:50 WIB
HT: Ekonomi RI Hadapi Kesenjangan Sosial dan Dominasi Asing
HT: Ekonomi RI Hadapi Kesenjangan Sosial dan Dominasi Asing
A A A
JAKARTA - Indonesia saat ini sedang menghadapi perlambatan ekonomi, termasuk pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).

CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo (HT) mengatakan, ada dua masalah ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia. "Ada dua masalah ekonomi nasional, yaitu kesenjangan sosial dan dominasi asing," kata dia di Jakarta, Senin (2/11/2015).

Kesenjangan semakin melebar lantaran daya beli melemah, harga melambung tinggi, dan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terjadi di berbagai daerah. "Pangan kita juga impor, banyak industri tutup, banyak PHK, biaya hidup meningkat," ujarnya.

Dia menggambarkan kesenjangan yang terjadi di Indonesia bisa terlihat dari dominasi uang yang tersimpan di bank, yakni hanya sekitar 200.000 orang. "Pengelolaan ekonomi selama ini hanya menyentuh masyarakat menengah atas," kara HT.

Kesenjangan sosial dapat membuat perekonomian semakin sulit bergerak. Hal ini harus mendapat perhatian pemerintah. HT mencontohkan berdasarkan negara berkembang yang sudah maju, yakni China dan India, dampak kebijakan ekonominya merata dan dirasakan oleh masyarakat.

"Dua negara, China dan India, 30 tahun lalu di bawah kita, sekarang di atas. Pengembangan kebijakan ekonomi China merata dirasakan seluruh masyarakat," ujarnya

HT yang juga sebagai Ketua Umum Partai Perindo ini mengatakan, selain kesenjangan sosial yang sedang dihadapi masyarakat Indonesia, dunia usaha di dalam negeri pun banyak dikuasai asing termasuk industri perbankan.

"Kalau kita lihat industri perbankan yang besar-besar semuanya dimiliki oleh asing," kata dia belum lama ini.

HT mengatakan, pemerintah harus belajar dari pengalaman, seperti keluarnya paket kebijakan deregulasi perbankan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) yang menyebabkan jatuhnya industri perbankan Indonesia secara garis besar dan menambah parah krisis 1998.

Dikeluarkannya Pakto 88 memberikan kemudahan dalam pendirian bank baru mengakibatkan pertumbuhan industri perbankan cepat. Kebijakan tersebut juga mengizinkan pendirian bank joint venture untuk menarik investor asing. "Pada masa itu semua orang mampu membuka bank, sampai kurang lebih ada 200 bank karena modalnya diturunkan 10 miliar," ucapnya.

Namun likuiditas industri perbankan di masa itu mengalami kekeringan karena banyaknya orang yang membuat bank menggunakan uang sendiri, serta mudahnya bank di masa tersebut meminjamkan uang.

"Jadi banyak orang membuat bank karena gampangnya dan pinjam uang dari bank untuk mereka sendiri, itu yang terjadi pada 98 dan banyak yang rontok," ungkap HT.

Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, pemerintah memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank yang mengalami masalah. Bantuan tersebut membuat negara rugi kurang lebih sekitar Rp350-360 triliun belum termasuk bunga.

Belajar dari kondisi tersebut, pemerintah harus mengkaji dan mengubah beberapa regulasi yang sudah tidak relevan agar asing tidak bisa seenaknya masuk ke pasar Indonesia. Menurutnya, banyak kebijakan pemerintah yang dihasilkan karena lobi pihak asing atau pengusaha. Bukan satu konsep yang dibuat bagaimana membangun Indonesia.

"Kalau kita pakai konsep yang pasti dalam bagaimana kita membangun Indonesia, semua aturan harus masuk ke dalam situ. Jadi mau lobi dari mana saja kalau keluar dari koridor itu juga tidak akan dilayani," tandasnya.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1136 seconds (0.1#10.140)