Ini Penyebab Ekonomi RI Sulit Tembus 7%
Minggu, 06 Desember 2015 - 10:41 WIB

Ini Penyebab Ekonomi RI Sulit Tembus 7%
A
A
A
JAKARTA - Sejak krisis 1997/1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia sulit menembus angka 7%. Padahal, pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden RI ke-2 Soeharto, ekonomi nasional tumbuh signifikan.
"Pertama tentu saja jawabannya diplomatis. Karena ekonomi global mempersulit," ujar Wakil Presiden Republik Indonesia (RI) Muhammad Jusuf Kalla saat berpidato dalam sebuah acara di Jakarta, akhir pekan.
JK menuturkan pada 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 13% dan kembali tumbuh tinggi pada 2000 sebesar 4,9%. Kemudian, pertumbuhan ekonomi kembali turun setahun setelahnya di angka 3,64%.
Hal serupa, lanjut JK, terjadi pada 2007 saat ekonomi berhasil tumbuh 6,35% kembali jatuh pada 2009 karena terkena dampak krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi 2011 yang tumbuh 6,49% sebelum akhirnya terus melambat hingga tahun ini. "Jadi memang kondisi kita seperti itu, kita hampir mencapai (7%) tapi turun lagi," ucapnya.
JK mengatakan, Indonesia merupakan negara besar yang beberapa kali mendapat berkah, seperti menjulangnya harga minyak pada era Orde Baru dan naiknya harga komoditas. Tapi, Indonesia mengulangi kesalahan yang sama.
Kesalahan tersebut, kata JK, adalah sistem lalu lintas devisa yang terlampau bebas sehingga membuat Indonesia tidak merasakan dampak dari berkah "kenaikan harga" tersebut. Dia menyebut, tingginya ekspor Indonesia pada saat itu tidak sebanding dengan dolar AS yang didapat.
"Yang kita ekspor itu devisanya tidak masuk (ke Indonesia), tapi masuk ke Singapura dan Hong Kong dan dipajakin di sana. Kita malah mengandalkan pasar buat portofolio dengan bayar bunga yang mahal untuk menarik dana masuk," kata Kalla.
Mantan Menteri Perdagangan dan Perindustrian ini memaparkan, minimnya suplai dolar tersebut membuat mata uang rupiah menjadi volatile atau rentan bergejolak. Kondisi tersebut membuat para pengusaha menanggung risiko kurs sehingga membuat ekonomi tinggi. "Sekarang kita minta uang mereka masuk lewat tax amnesty," sambungnya.
Kesalahan lainnya, kata Wapres, adalah pembangunan industri yang diabaikan. Dia menyebut, sejak reformasi, industri sebenarnya tumbuh, tapi pertumbuhannya kalah dengan sektor-sektor lain, seperti sektor jasa, pertambangan, dan komoditas. "Jadi secara nominal tumbuh, tapi secara persentase berkurang (kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto)," katanya.
Sebab itu, lanjut JK, pemerintah saat ini fokus menggiatkan reindustrialisasi dengan membangun basisnya, yaitu infrastruktur dan mempermudah berbagai perizinan. Selain itu, dia juga meminta kepada otoritas moneter yakni Bank Indonesia (BI) untuk mendukung kebijakan pemerintah dengan menurunkan suku bunga untuk menarik investasi lebih banyak.
"Ini kebijakan-kebijakan yang harus kita pelajari kembali supaya (kesalahan) jangan terulang lagi," pungkas alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar itu.
"Pertama tentu saja jawabannya diplomatis. Karena ekonomi global mempersulit," ujar Wakil Presiden Republik Indonesia (RI) Muhammad Jusuf Kalla saat berpidato dalam sebuah acara di Jakarta, akhir pekan.
JK menuturkan pada 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 13% dan kembali tumbuh tinggi pada 2000 sebesar 4,9%. Kemudian, pertumbuhan ekonomi kembali turun setahun setelahnya di angka 3,64%.
Hal serupa, lanjut JK, terjadi pada 2007 saat ekonomi berhasil tumbuh 6,35% kembali jatuh pada 2009 karena terkena dampak krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi 2011 yang tumbuh 6,49% sebelum akhirnya terus melambat hingga tahun ini. "Jadi memang kondisi kita seperti itu, kita hampir mencapai (7%) tapi turun lagi," ucapnya.
JK mengatakan, Indonesia merupakan negara besar yang beberapa kali mendapat berkah, seperti menjulangnya harga minyak pada era Orde Baru dan naiknya harga komoditas. Tapi, Indonesia mengulangi kesalahan yang sama.
Kesalahan tersebut, kata JK, adalah sistem lalu lintas devisa yang terlampau bebas sehingga membuat Indonesia tidak merasakan dampak dari berkah "kenaikan harga" tersebut. Dia menyebut, tingginya ekspor Indonesia pada saat itu tidak sebanding dengan dolar AS yang didapat.
"Yang kita ekspor itu devisanya tidak masuk (ke Indonesia), tapi masuk ke Singapura dan Hong Kong dan dipajakin di sana. Kita malah mengandalkan pasar buat portofolio dengan bayar bunga yang mahal untuk menarik dana masuk," kata Kalla.
Mantan Menteri Perdagangan dan Perindustrian ini memaparkan, minimnya suplai dolar tersebut membuat mata uang rupiah menjadi volatile atau rentan bergejolak. Kondisi tersebut membuat para pengusaha menanggung risiko kurs sehingga membuat ekonomi tinggi. "Sekarang kita minta uang mereka masuk lewat tax amnesty," sambungnya.
Kesalahan lainnya, kata Wapres, adalah pembangunan industri yang diabaikan. Dia menyebut, sejak reformasi, industri sebenarnya tumbuh, tapi pertumbuhannya kalah dengan sektor-sektor lain, seperti sektor jasa, pertambangan, dan komoditas. "Jadi secara nominal tumbuh, tapi secara persentase berkurang (kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto)," katanya.
Sebab itu, lanjut JK, pemerintah saat ini fokus menggiatkan reindustrialisasi dengan membangun basisnya, yaitu infrastruktur dan mempermudah berbagai perizinan. Selain itu, dia juga meminta kepada otoritas moneter yakni Bank Indonesia (BI) untuk mendukung kebijakan pemerintah dengan menurunkan suku bunga untuk menarik investasi lebih banyak.
"Ini kebijakan-kebijakan yang harus kita pelajari kembali supaya (kesalahan) jangan terulang lagi," pungkas alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar itu.
(dmd)