Susi Ceramahi Pejabat Dunia soal Perbudakan Sektor Perikanan
A
A
A
JAKARTA - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menceramahi para pejabat negara anggota The Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) tentang kejamnya praktik perbudakan di sektor perikanan di dunia. Hal itu dikatakannya dalam pertemuan para anggota WCPFC yang diadakan di Denpasar, Bali.
Dia mengisahkan, betapa mirisnya nasib para anak buah kapal (ABK) yang terkatung-katung di lautan, dan untuk air minum pun terjatah karena keterbatasan di tengah laut. Bahkan, lima ABK Indonesia satu persatu tewas di offshore Angola.
"Saya ingatkan kepada mereka semua, kita duduk di hotel bintang lima terus berbicara tentang kuota billion dollar penangkapan ikan tuna. Kita bicara tuna segar berharga ribuan dolar. Tapi saat yang sama, ratusan ribu ABK kapal hidup terjatah atas segelas air minum. Sekian ribu bekerja di laut puluhan tahun, mereka kita temukan hanya dengan satu kresek dan celana pendek," ungkapnya di Kantor KKP, Jakarta, Kamis (10/12/2015).
Menurutnya, hal ini sudah tidak pantas dan tidak boleh lagi dilakukan. Selama ini kita mengaku sebagai bangsa beradab dan punya harkat martabat, dan terhubung dengan satu kesatuan ekonomi yang besar dan modern. Namun, melihat praktik perbudakan tetap saja tidak ada tindakan yang dilakukan.
Dia menuturkan, beberapa kejadian dengan pengungsi imigran di Syiria, Aceh, Rohingya, semestinya buat sadar bahwa ada yang salah. Sebagai bangsa modern, seharusnya tidak boleh lihat lagi ada perbudakan.
"Setiap kita makan harusnya ingat bahwa ada sebagian dari orang-orang kita yang bekerja dua puluh jam, minum dibatasi, disiksa, diperlakukan tidak senonoh. Tanpa punya pilihan karena di tengah laut sana mereka hanya bisa dibuang ke laut bila melawan dan membela harkat dan mertabat sebagai manusia," beber Susi.
Dalam pertemuan tersebut, Susi juga menyindir kuota kemanusiaan para pelaku yang membawa dan merealisasikan kuota ikan tuna jutaan dolar saat para awak kapal tersebut diperlakukan secara tidak manusiawi.
"Saya mengingatkan, karena banyak negara berkembang, development country tidak mampu mengelola lautnya. Harus menjual, mengkonsesikan, menyewakan lautnya untuk diambil hasil lautnya kepada negara mampu. Di mana kuota kesejahteraan untuk masyarakat pulau kecil tersebut," tandasnya.
Dia mengisahkan, betapa mirisnya nasib para anak buah kapal (ABK) yang terkatung-katung di lautan, dan untuk air minum pun terjatah karena keterbatasan di tengah laut. Bahkan, lima ABK Indonesia satu persatu tewas di offshore Angola.
"Saya ingatkan kepada mereka semua, kita duduk di hotel bintang lima terus berbicara tentang kuota billion dollar penangkapan ikan tuna. Kita bicara tuna segar berharga ribuan dolar. Tapi saat yang sama, ratusan ribu ABK kapal hidup terjatah atas segelas air minum. Sekian ribu bekerja di laut puluhan tahun, mereka kita temukan hanya dengan satu kresek dan celana pendek," ungkapnya di Kantor KKP, Jakarta, Kamis (10/12/2015).
Menurutnya, hal ini sudah tidak pantas dan tidak boleh lagi dilakukan. Selama ini kita mengaku sebagai bangsa beradab dan punya harkat martabat, dan terhubung dengan satu kesatuan ekonomi yang besar dan modern. Namun, melihat praktik perbudakan tetap saja tidak ada tindakan yang dilakukan.
Dia menuturkan, beberapa kejadian dengan pengungsi imigran di Syiria, Aceh, Rohingya, semestinya buat sadar bahwa ada yang salah. Sebagai bangsa modern, seharusnya tidak boleh lihat lagi ada perbudakan.
"Setiap kita makan harusnya ingat bahwa ada sebagian dari orang-orang kita yang bekerja dua puluh jam, minum dibatasi, disiksa, diperlakukan tidak senonoh. Tanpa punya pilihan karena di tengah laut sana mereka hanya bisa dibuang ke laut bila melawan dan membela harkat dan mertabat sebagai manusia," beber Susi.
Dalam pertemuan tersebut, Susi juga menyindir kuota kemanusiaan para pelaku yang membawa dan merealisasikan kuota ikan tuna jutaan dolar saat para awak kapal tersebut diperlakukan secara tidak manusiawi.
"Saya mengingatkan, karena banyak negara berkembang, development country tidak mampu mengelola lautnya. Harus menjual, mengkonsesikan, menyewakan lautnya untuk diambil hasil lautnya kepada negara mampu. Di mana kuota kesejahteraan untuk masyarakat pulau kecil tersebut," tandasnya.
(izz)