Wilayah Sekitar Blok Masela Rawan Gempa
A
A
A
JAKARTA - Pakar geoteknik dan bencana Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kriyo Sambodho mengatakan, wilayah sekitar Blok Masela di Laut Arafura, Maluku merupakan daerah rawan bencana gempa dan tsunami.
"Dengan risiko tersebut, kami tidak merekomendasikan pengembangan Blok Masela dengan skema 'onshore' (darat)," ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (23/12/2015).
Dia mengatakan, berdasarkan data US Geological Survey (USGS), daerah sekitar Blok Masela di Laut Arafura, Maluku merupakan wilayah dengan frekuensi gempa tinggi.
Sesuai data tersebut, pada periode 1900 hingga 2013 tercatat kejadian gempa di sekitar Masela sebanyak 2.248 kali dengan kekuatan antara skala 5-9 Mw dan kedalaman 300 km.
Sementara, untuk gempa dangkal dengan ciri kedalaman hingga 60 km yang terjadi di lokasi yang sama tercatat sebanyak 1.474 kejadian. Selanjutnya, jika dikelompokkan pada kategori gempa menengah dengan magnitude di atas tujuh Mw, maka terdapat sembilan kejadian dalam rentang periode 1900-2015.
"Data-data itu menunjukkan tingkat aktivitas seismik yang tinggi di sekitar Blok Masela, sehingga harus menjadi pertimbangan dalam memilih sistem eksploitasi yang sesuai," kata dosen Teknik Kelautan ITS tersebut.
Berdasarkan aspek geohazard tersebut, pihaknya tidak merekomendasikan penggunaan sistem perpipaan (onshore) untuk mengembangkan Blok Masela.
Potensi gempa bisa membahayakan sistem perpipaan seperti terangkatnya pipa yang terpendam, rekahan tanah, kelongsoran tanah di dasar laut, serta penurunan tanah.
"Di tambah lagi, jarak pipa yang direncanakan cukup jauh yakni 600 km ke Kepulauan Aru atau 160 km ke Saumlaki, sehingga makin rawan kerusakan akibat gempa," kata dia.
Sebelumnya, Konsorsium Maritim merekomendasikan pengembangan Masela dengan skema gas alam cair terapung atau floating LNG (FLNG) dibandingkan darat (onshore).
Konsorsium terdiri atas lima institusi yakni ITS Surabaya, PT PAL Indonesia (Persero), Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, LHI-BPPT, dan PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero). Konsorsium sudah melakukan kajian teknis dan ekonomis sebelum sampai pada rekomendasi penggunaan skema FLNG Masela tersebut.
Aspek teknis yang dikaji meliputi keselamatan, olah gerak (seakeeping), penanganan dan proses gas, serta geoteknik dan bencana. Ekonomis mencakup waktu konstruksi, fleksibilitas operasi, investasi, pengaruh terhadap pertumbuhan wilayah dan industri, dan kandungan lokal.
Juru Bicara Konsorsium Maritim Ketut Buda Artana yang merupakan Wakil Rektor IV ITS mengatakan, rekomendasi ditujukan memberi masukan obyektif ke pemerintah agar lebih memberi manfaat bagi bangsa dan negara.
"Tidak ada sedikitpun keinginan dari Konsorsium Maritim memperkeruh suasana dan memihak kepada salah satu alternatif teknologi. Ini murni diskusi akademis dan teknis," ujarnya.
Rekomendasi tersebut juga telah sesuai arahan Presiden Joko Widodo yang menyatakan Indonesia sudah lama memunggungi laut dan saatnya berpijak pada kemaritiman.
"Apa yang disampaikan Presiden Jokowi bahwa kita sudah terlalu lama memunggungi laut, perlu kita renungkan bersama. Banyak negara kontinen sudah berkonsepsi maritim dalam perencanaan infrastruktur, termasuk infrastruktur distribusi energi. Sementara kita yang merupakan negara maritim, sudah harus berpindah konsep dari konsepsi kontinen menuju konsepsi maritim," kata Ketut.
"Dengan risiko tersebut, kami tidak merekomendasikan pengembangan Blok Masela dengan skema 'onshore' (darat)," ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (23/12/2015).
Dia mengatakan, berdasarkan data US Geological Survey (USGS), daerah sekitar Blok Masela di Laut Arafura, Maluku merupakan wilayah dengan frekuensi gempa tinggi.
Sesuai data tersebut, pada periode 1900 hingga 2013 tercatat kejadian gempa di sekitar Masela sebanyak 2.248 kali dengan kekuatan antara skala 5-9 Mw dan kedalaman 300 km.
Sementara, untuk gempa dangkal dengan ciri kedalaman hingga 60 km yang terjadi di lokasi yang sama tercatat sebanyak 1.474 kejadian. Selanjutnya, jika dikelompokkan pada kategori gempa menengah dengan magnitude di atas tujuh Mw, maka terdapat sembilan kejadian dalam rentang periode 1900-2015.
"Data-data itu menunjukkan tingkat aktivitas seismik yang tinggi di sekitar Blok Masela, sehingga harus menjadi pertimbangan dalam memilih sistem eksploitasi yang sesuai," kata dosen Teknik Kelautan ITS tersebut.
Berdasarkan aspek geohazard tersebut, pihaknya tidak merekomendasikan penggunaan sistem perpipaan (onshore) untuk mengembangkan Blok Masela.
Potensi gempa bisa membahayakan sistem perpipaan seperti terangkatnya pipa yang terpendam, rekahan tanah, kelongsoran tanah di dasar laut, serta penurunan tanah.
"Di tambah lagi, jarak pipa yang direncanakan cukup jauh yakni 600 km ke Kepulauan Aru atau 160 km ke Saumlaki, sehingga makin rawan kerusakan akibat gempa," kata dia.
Sebelumnya, Konsorsium Maritim merekomendasikan pengembangan Masela dengan skema gas alam cair terapung atau floating LNG (FLNG) dibandingkan darat (onshore).
Konsorsium terdiri atas lima institusi yakni ITS Surabaya, PT PAL Indonesia (Persero), Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, LHI-BPPT, dan PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero). Konsorsium sudah melakukan kajian teknis dan ekonomis sebelum sampai pada rekomendasi penggunaan skema FLNG Masela tersebut.
Aspek teknis yang dikaji meliputi keselamatan, olah gerak (seakeeping), penanganan dan proses gas, serta geoteknik dan bencana. Ekonomis mencakup waktu konstruksi, fleksibilitas operasi, investasi, pengaruh terhadap pertumbuhan wilayah dan industri, dan kandungan lokal.
Juru Bicara Konsorsium Maritim Ketut Buda Artana yang merupakan Wakil Rektor IV ITS mengatakan, rekomendasi ditujukan memberi masukan obyektif ke pemerintah agar lebih memberi manfaat bagi bangsa dan negara.
"Tidak ada sedikitpun keinginan dari Konsorsium Maritim memperkeruh suasana dan memihak kepada salah satu alternatif teknologi. Ini murni diskusi akademis dan teknis," ujarnya.
Rekomendasi tersebut juga telah sesuai arahan Presiden Joko Widodo yang menyatakan Indonesia sudah lama memunggungi laut dan saatnya berpijak pada kemaritiman.
"Apa yang disampaikan Presiden Jokowi bahwa kita sudah terlalu lama memunggungi laut, perlu kita renungkan bersama. Banyak negara kontinen sudah berkonsepsi maritim dalam perencanaan infrastruktur, termasuk infrastruktur distribusi energi. Sementara kita yang merupakan negara maritim, sudah harus berpindah konsep dari konsepsi kontinen menuju konsepsi maritim," kata Ketut.
(izz)