Pemerintah Diharapkan Pangkas Target Penerimaan Negara 2016

Kamis, 24 Desember 2015 - 06:24 WIB
Pemerintah Diharapkan...
Pemerintah Diharapkan Pangkas Target Penerimaan Negara 2016
A A A
JAKARTA - Pemerintah diharapkan dapat merevisi target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, serta memotong target penerimaan tahun depan. Realisasi pajak tahun ini menjadi patokan, bukan asumsi.

Ekonom Bank BNI Ryan Kiryanto mengatakan, sebaiknya target APBN pemerintah di sisi penerimaan direvisi ke bawah. Hal ini mengingat prognosis perolehan pajak tahun ini maksimal hanya 85% dari target pajak.

“Jadi yang dipakai sebagai baseline atau patokan adalah realisasi pajak tahun ini, bukan asumsinya. Dengan demikian asumsi penerimaan APBN via pajak lebih realistis,” ujar Ryan di Jakarta, Rabu (23/12/2015).

Dia mengatakan masalah defisit APBN 2016 yang berkisar 2,5% dari PDB. Namun, secara langsung tidak mempengaruhi likuiditas bank karena BI membolehkan perbankan terbitkan surat utang (obligasi, MTN) sebagai komponen LFR dan bukan lagi LDR).

Menurutnya, justru yang harus diperhatikan perbankan ialah kupon obligasi pemerintah. “Tren likuiditas 2016 longgar dengan catatan penetapan kupon obligasi pemerintah setara dengan bunga simpanan bank,” jelasnya.

Sebelumnya, Kepala Riset Fixed Income PT Mandiri Sekuritas Handy Yunianto memprediksi imbal hasil (yield) SBN pada tahun depan berada pada kisaran 7,89%. Estimasi tersebut lebih rendah dari perkiraan yield pada akhir tahun ini sebesar 8,59%.

Dia menyebutkan pada 2015 yield SBN bergerak relatif cepat dari waktu ke waktu. Sementara pada 2016 yield akan cenderung stabil dan menurun. "Pada akhir 2016 diperkirakan yield akan berada di kisaran 7,89%, untuk SBN dengan tenor 10 tahun, turun dari tahun ini," kata Handy.

Dia menuturkan penurunan ini didorong oleh peluang penurunan inflasi, BI Rate, rupiah dan credit debt swap (CDS). BI rate tahun depan diperkirakan turun sekitar 50 basis poin dan inflasi di kisaran 5%. "Melihat obligasi ini sangat tergantung dari dua faktor inflasi dan BI Rate. Kalau BI Rate naik jangan beli obligasi, begitu juga inflasi," terangnya.

Sementara Ekonom Bank Mandiri Andri Asmoro memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan sekitar 5%, lantaran masih ada beberapa tantangan domestik yakni pelemahan harga ekspor berbasis komoditas, masih tingginya impor, tantangan fiskal berupa shortfall pajak, dan belanja yang tidak terserap, serta minimnya dorongan industrialisasi.

“Tahun depan kami perkirakan masih di bawah proyeksi pemerintah 5,3% lantaran beberapa tantangan tadi,” kata Andri.

Tahun depan, desentralisasi fiskal menjadi tantangan sendiri mengingat transfer ke daerah tahun depan naik 10,4% menjadi Rp 700,4 triliun. Padahal tren menunjukkan realisasi belanja daerah belum optimal, terbukti dengan dana idle (nganggur) pemda di BPD yang terus naik dari Rp 39,1 triliun per 2014 menjadi Rp 67 triliun per September lalu.

“Tahun ini ruang defisit pemerintah diperlebar menjadi 2,9% namun perlu diperhatikan juga tantangan tahun depan, bagaimana kalau belanja daerah belum maksimal, tren APBNP yang biasanya surplus di akhir tahun dan defisit di awal tahun bisa berubah,” kata dia.

Dari sisi moneter, BI juga diharapkan melonggarkan BI rate 50 basis poin menjadi 7% pada tahun depan demi mendorong kinerja pertumbuhan ekonomi. Meski BI rate turun, sementara FFR naik ke level 1-1,25% tahun depan, interest rate differential tetap akan sama di kisaran 600 basis poin. Lagi pula, nominal (7,1%) maupun real interest rate (2,1%) Indonesia masih menjadi 3 yang paling kompetitif setelah Brasil dan Turki.

“Brasil dan Turki memang harus menjaga interest rate mereka karena premium risk yang tinggi menyusul rating kredit mereka diturunkan oleh Fitch,” tambahnya.

Namun demikian, kata Andri, masih ada peluang kenaikan ekspor tahun depan ke India dan AS meski tidak signifikan, terutama melihat peluang pertumbuhan ekonomi kedua negara. Ekspor Indonesia ke India mencapai 7% utamanya untuk bahan bakar nabati (46%) dan minyak nabati (30%). Sementara ke AS ekspor Indonesia mencapai 9,4% dengan produk utama apparel dan karet. “Produsen karet meski melihat tren harga lemah masih akan berlanjut tapi masih melihat ada peluang,” kata dia.

Ekspor Indonesia kedua negara tersebut secara share mencapai 14%, salah satu yang terbesar setelah Tiongkok. Namun dampak net ekspor terhadap PDB masih sekitar 10%. “Meski peningkatan nggak sedrastis sektor lain tapi dampak positifnya akan berasa di sektor ekspor tekstil, misalnya bagi industri manufaktur berbasis tekstil di Jateng dan Jatim,” tandasnya.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0770 seconds (0.1#10.140)