Aturan Ini Tak Bisa Jadi Acuan Pemerintah Pungut Dana Energi
A
A
A
JAKARTA - Dewan Energi Nasional (DEN) menekankan dua aturan yang kerap dijadikan bantalan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, tidak bisa dijadikan acuan untuk melakukan pungutan dana ketahanan energi dari penjualan harga bahan bakar minyak (BBM) premiun dan solar.
Anggota DEN Rinaldy Dalimi menjelaskan dua aturan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Undang-undang (UU) Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi.
"Dasar hukum dalam konteks kata-kata dana ketahanan energi yang dimaksud memang tidak disebutkan (dalam PP 79/2014 dan UU 30/2007)," katanya di Gedung DEN, Jakarta, Rabu (30/12/2015).
Dia menambahkan dalam PP tersebut hanya disebutkan mengenai pelaksanaan premi pengurasan (depletion premium) yang disisihkan dari eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang tidak terbarukan. Namun, pelaksanaan premi pengurasan tersebut hanya pada sisi hulu dalam proses industri energi fosil yang dibebankan kepada produsen.
"Sedangkan dana ketahanan energi yang direncanakan pemerintah dipungut pada sisi hilir yang dibebankan kepada masyarakat. Oleh karena itu, dana ketahanan energi cakupannya lebih luas dari depletion premium," jelasnya.
(Baca Juga: Bensin di SPBU Asing Tak Luput Dipotong Dana Ketahanan Energi)
Karena itu Dia menyarankan jika pemerintah tetap bersikeras memungut dana ketahanan energi dari masyarakat, maka perlu aturan baru untuk memperkuat landasan hukumnya.
"Kita tidak mengusulkan revisi (PP dan UU), tapi harus ada aturan baru untuk memperkuat. Memang tidak disebutkan di sana dana ketahanan energi. Jadi harus ada dukungan peraturan tambahan supaya lebih rinci," pungkasnya.
Anggota DEN Rinaldy Dalimi menjelaskan dua aturan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Undang-undang (UU) Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi.
"Dasar hukum dalam konteks kata-kata dana ketahanan energi yang dimaksud memang tidak disebutkan (dalam PP 79/2014 dan UU 30/2007)," katanya di Gedung DEN, Jakarta, Rabu (30/12/2015).
Dia menambahkan dalam PP tersebut hanya disebutkan mengenai pelaksanaan premi pengurasan (depletion premium) yang disisihkan dari eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang tidak terbarukan. Namun, pelaksanaan premi pengurasan tersebut hanya pada sisi hulu dalam proses industri energi fosil yang dibebankan kepada produsen.
"Sedangkan dana ketahanan energi yang direncanakan pemerintah dipungut pada sisi hilir yang dibebankan kepada masyarakat. Oleh karena itu, dana ketahanan energi cakupannya lebih luas dari depletion premium," jelasnya.
(Baca Juga: Bensin di SPBU Asing Tak Luput Dipotong Dana Ketahanan Energi)
Karena itu Dia menyarankan jika pemerintah tetap bersikeras memungut dana ketahanan energi dari masyarakat, maka perlu aturan baru untuk memperkuat landasan hukumnya.
"Kita tidak mengusulkan revisi (PP dan UU), tapi harus ada aturan baru untuk memperkuat. Memang tidak disebutkan di sana dana ketahanan energi. Jadi harus ada dukungan peraturan tambahan supaya lebih rinci," pungkasnya.
(akr)