PLN: Pertamina Tawarkan Harga Uap Panas Bumi Tak Wajar
A
A
A
JAKARTA - PT PLN (Persero) mengungkapkan semangat penggunaan energi baru terbarukan (EBT) terus ditunjukkan perseroan, dengan pemanfaatan EBT baik yang dikelola PLN maupun dari pengembang perusahaan lain. Hal tersebut menanggapi pernyataan PT Pertamina (Persero) yang mengancam akan menyetop pasokan uap gas bumi untuk PLTP Kamojang 1, 2, dan 3, yang dikelola anak usaha PLN, PT Indonesia Power.
Manajer Senior PLN Agung Murdifi mengatakan, PLN pun baru saja menyetujui pembelian listrik dari pembangkit baru Kamojang 5 yang dikelola oleh Pertamina sebesar USD9,4 cent/ kWh untuk jangka 25 tahun ke depan. (Baca: Pertamina Ancam Stop Pasokan Panas Bumi terhadap PLN)
"Kesepakatan ini sebagai tindakan nyata dukungan PLN untuk penggunaan EBT sebagai tenaga listrik. Hal ini sejalan dengan semangat pemerintah dalam conference of parties (COP) 21 untuk mengurangi emisi hingga 29%," ujarnya dalam rilis yang diterima Sindonews di Jakarta, Rabu (6/1/2016).
Khusus terkait dengan kondisi PLTP Kamojang 1,2,3, lanjut dia, perseroan hingga saat ini masih mengkaji tarif yang ditawarkan Pertamina. Namun, dia menilai penawaran harga uap yang ditawarkan BUMN minyak dan gas tersebut terlalu tinggi.
Sebelumnya, PLN dan Pertamina telah melakukan kerja sama pemanfaatan panas bumi di Kamojang 1,2,3 lebih dari 30 tahun. Namun menginjak 2015, Pertamina selaku penyedia uap panas bumi memberikan penawaran harga uap yang tinggi untuk jangka waktu 5 tahun.
"Kalau harga uap yang ditawarkan wajar, kami mungkin akan beli, karena selama ini kami sudah kerja sama selama 32 tahun dengan Pertamina. Namun yang membuat kami bingung, kenapa tiba-tiba Pertamina menawarkan harga mahal hanya untuk jangka waktu lima tahun," tegasnya.
Agung menuturkan, setelah melakukan verifikasi internal dan melihat harga uap di lapangan panas bumi yang dimiliki oleh PLN yakni di PLTP Mataloko, PLTP Ulumbu Flores, serta di Tulehu Ambon, Maluku, maka PLN memperkirakan harga uap di Kamojang seharusnya tidak akan melebihi estimasi harga uap yang telah ada, yakni sebesar Rp535 per kwh atau sebesar USD4 cent.
"Namun agaknya Pertamina selaku pengelola Kamojang tetap bertahan di harga jual yang terlalu tinggi. Hal inilah yang kemudian menjadi pertimbangan PLN untuk menunda perpanjangan pembelian uap dari Kamojang 1, 2 dan 3," tandasnya.
Manajer Senior PLN Agung Murdifi mengatakan, PLN pun baru saja menyetujui pembelian listrik dari pembangkit baru Kamojang 5 yang dikelola oleh Pertamina sebesar USD9,4 cent/ kWh untuk jangka 25 tahun ke depan. (Baca: Pertamina Ancam Stop Pasokan Panas Bumi terhadap PLN)
"Kesepakatan ini sebagai tindakan nyata dukungan PLN untuk penggunaan EBT sebagai tenaga listrik. Hal ini sejalan dengan semangat pemerintah dalam conference of parties (COP) 21 untuk mengurangi emisi hingga 29%," ujarnya dalam rilis yang diterima Sindonews di Jakarta, Rabu (6/1/2016).
Khusus terkait dengan kondisi PLTP Kamojang 1,2,3, lanjut dia, perseroan hingga saat ini masih mengkaji tarif yang ditawarkan Pertamina. Namun, dia menilai penawaran harga uap yang ditawarkan BUMN minyak dan gas tersebut terlalu tinggi.
Sebelumnya, PLN dan Pertamina telah melakukan kerja sama pemanfaatan panas bumi di Kamojang 1,2,3 lebih dari 30 tahun. Namun menginjak 2015, Pertamina selaku penyedia uap panas bumi memberikan penawaran harga uap yang tinggi untuk jangka waktu 5 tahun.
"Kalau harga uap yang ditawarkan wajar, kami mungkin akan beli, karena selama ini kami sudah kerja sama selama 32 tahun dengan Pertamina. Namun yang membuat kami bingung, kenapa tiba-tiba Pertamina menawarkan harga mahal hanya untuk jangka waktu lima tahun," tegasnya.
Agung menuturkan, setelah melakukan verifikasi internal dan melihat harga uap di lapangan panas bumi yang dimiliki oleh PLN yakni di PLTP Mataloko, PLTP Ulumbu Flores, serta di Tulehu Ambon, Maluku, maka PLN memperkirakan harga uap di Kamojang seharusnya tidak akan melebihi estimasi harga uap yang telah ada, yakni sebesar Rp535 per kwh atau sebesar USD4 cent.
"Namun agaknya Pertamina selaku pengelola Kamojang tetap bertahan di harga jual yang terlalu tinggi. Hal inilah yang kemudian menjadi pertimbangan PLN untuk menunda perpanjangan pembelian uap dari Kamojang 1, 2 dan 3," tandasnya.
(dmd)