BI Waspadai Dampak Devaluasi Yuan
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menyatakan, akan terus mewaspadai dampak yang terjadi akibat devaluasi yuan. Pasalnya, kebijakan pemerintah China untuk mendevaluasi yuan membuat pasar uang global bergejolak dan berimbas ke aliran modal di Indonesia.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus D.W. Martowardojo mengatakan, langkah devaluasi yuan yang dilakukan China membuat pasar modal negera dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut sempat dihentikan sementara (suspend) hingga dua kali dalam satu pekan.
Hal tersebut menurutnya berdampak pada bergejolaknya aliran dana di dunia yang dikenal dengan periode risk-off, yakni dana-dana yang ada di dunia akan lari mencari negara yang dianggap memiliki aset aman.
"Itu devaluasi yang tajam karena terakhir kali yuan didevaluasi dengan sangat besar pada Agustus 2015. Tapi kami bisa sampaikan, bahwa Indonesia harus bersyukur karena di tengah gejolak dunia, kita bisa atasi dan masih bisa bertahan,” jelasnya di Jakarta, Senin (11/1/2015).
Menurut Dia, tekanan tersebut berimbas pada nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD), dimana beberapa hari lalu rupiah sempat melemah ke level Rp13.800 hingga Rp13.900/USD.
Dia menambahkan otoritas moneter juga akan tetap menerapkan kebijakan ketat. Hal tersebut disebabkan kenaikan suku bunga The Fed bisa membuat terjadinya arus pembalikan modal (capital reversal) keluar dari Indonesia. "Capital reversal biasanya berdampak kepada negara berkembang yang transaksinya berjalan defisit," tutupnya.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus D.W. Martowardojo mengatakan, langkah devaluasi yuan yang dilakukan China membuat pasar modal negera dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut sempat dihentikan sementara (suspend) hingga dua kali dalam satu pekan.
Hal tersebut menurutnya berdampak pada bergejolaknya aliran dana di dunia yang dikenal dengan periode risk-off, yakni dana-dana yang ada di dunia akan lari mencari negara yang dianggap memiliki aset aman.
"Itu devaluasi yang tajam karena terakhir kali yuan didevaluasi dengan sangat besar pada Agustus 2015. Tapi kami bisa sampaikan, bahwa Indonesia harus bersyukur karena di tengah gejolak dunia, kita bisa atasi dan masih bisa bertahan,” jelasnya di Jakarta, Senin (11/1/2015).
Menurut Dia, tekanan tersebut berimbas pada nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD), dimana beberapa hari lalu rupiah sempat melemah ke level Rp13.800 hingga Rp13.900/USD.
Dia menambahkan otoritas moneter juga akan tetap menerapkan kebijakan ketat. Hal tersebut disebabkan kenaikan suku bunga The Fed bisa membuat terjadinya arus pembalikan modal (capital reversal) keluar dari Indonesia. "Capital reversal biasanya berdampak kepada negara berkembang yang transaksinya berjalan defisit," tutupnya.
(akr)