Faisal Basri Ungkap Konflik Kepentingan Skema Blok Masela
A
A
A
JAKARTA - Polemik mengenai cara pembangunan apa yang terbaik untuk kilang di Blok Masela, Maluku masih belum menemukan titik terang. Saat ini ada perbedaan pendapat terkait opsi pembangunan kilang yakni kapal di tengah laut (offshore) atau menggunakan pipanisasi (onshore).
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menilai, skema pipanisasi yang diajukan Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman Rizal Ramli untuk pengembangan Blok Masela sangat sarat kepentingan. Selain itu menurutnya skema tersebut sangat tidak efisien karena kontraktor diharuskan membangun pipa sepanjang 800 kilometer (km).
"Sekarang muncul onshore (laut), tapi harus membangun pipa 800 km," katanya di Kantor Pusat PLN, Jakarta, Jumat (22/1/2016). (Baca Juga: Konsultan Rekomendasikan Kilang Blok Masela Dibangun di Laut)
Menurutnya, jika skema pipanisasi diputuskan pemerintah maka hal tersebut akan jadi proyek pipa terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Bahkan, jika pembangunan pipanya tersebut baru selesai 10 tahun mendatang tetap akan mendatangkan untung besar bagi pabrik pipa.
"Perusahaan pipanya siapa? Dia lagi kan. Proyek ini adalah proyek pipa terbesar sepanjang sejarah Indonesia, yang barangkali Anda butuh 10 tahun menyelesaikan pipa itu yang untungnya sudah gede. Siapa yang punya pabrik pipa? Nah, urut orang-orang yang ngomong tentang onshore itu siapa. Yang ada korelasinya dengan pabrik pipa ini," tuturnya.
Tak hanya itu, mantan Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini juga membeberkan akan adanya kepentingan dalam pembebasan lahan. Skema pipanisasi membutuhkan lahan sekitar 600 hektare (ha) sementara skema floating LNG (offshore) hanya 40 ha.
"Untuk 40 ha aja yang dibutuhkan kalau offshore itu susahnya setengah mati. Dan Anda tunjukkan disitu, siapa penguasa tanah yang ada di sana sekarang. Bergabung lah mereka atas nama nasionalisme, nasionalisme jadi murah sekali di negeri ini," ungkapnya berang.
Ekonom senior Indef ini juga menyinggung sikap Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro yang menyetujui skema onshore untuk pengembangan kilang di Lapangan Abadi. Menurutnya, keputusan tersebut sejatinya bukan atas nama Menkeu sendiri. "Semua sudah rusak. Saya bocorkan isi rapat terbatasnya. Jadi ini kepentingan semua karena para pihak ini punya kepentingan," terangnya.
Dia berharap, hal ini dapat terbuka dengan sendirinya. Karena menurutnya, skema pipanisasi bukan berlandaskan semangat nasionalisme. "Intinya bukan nasionalisme atau tidak nasionalisme. Tapi siapa dapat berapa. Nah, mudah-mudahan Pak Jokowi mengerti banget dan dapat informasi yang cukup sebelum memutuskan. Karena tekanannya makin berat," pungkasnya.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menilai, skema pipanisasi yang diajukan Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman Rizal Ramli untuk pengembangan Blok Masela sangat sarat kepentingan. Selain itu menurutnya skema tersebut sangat tidak efisien karena kontraktor diharuskan membangun pipa sepanjang 800 kilometer (km).
"Sekarang muncul onshore (laut), tapi harus membangun pipa 800 km," katanya di Kantor Pusat PLN, Jakarta, Jumat (22/1/2016). (Baca Juga: Konsultan Rekomendasikan Kilang Blok Masela Dibangun di Laut)
Menurutnya, jika skema pipanisasi diputuskan pemerintah maka hal tersebut akan jadi proyek pipa terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Bahkan, jika pembangunan pipanya tersebut baru selesai 10 tahun mendatang tetap akan mendatangkan untung besar bagi pabrik pipa.
"Perusahaan pipanya siapa? Dia lagi kan. Proyek ini adalah proyek pipa terbesar sepanjang sejarah Indonesia, yang barangkali Anda butuh 10 tahun menyelesaikan pipa itu yang untungnya sudah gede. Siapa yang punya pabrik pipa? Nah, urut orang-orang yang ngomong tentang onshore itu siapa. Yang ada korelasinya dengan pabrik pipa ini," tuturnya.
Tak hanya itu, mantan Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini juga membeberkan akan adanya kepentingan dalam pembebasan lahan. Skema pipanisasi membutuhkan lahan sekitar 600 hektare (ha) sementara skema floating LNG (offshore) hanya 40 ha.
"Untuk 40 ha aja yang dibutuhkan kalau offshore itu susahnya setengah mati. Dan Anda tunjukkan disitu, siapa penguasa tanah yang ada di sana sekarang. Bergabung lah mereka atas nama nasionalisme, nasionalisme jadi murah sekali di negeri ini," ungkapnya berang.
Ekonom senior Indef ini juga menyinggung sikap Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro yang menyetujui skema onshore untuk pengembangan kilang di Lapangan Abadi. Menurutnya, keputusan tersebut sejatinya bukan atas nama Menkeu sendiri. "Semua sudah rusak. Saya bocorkan isi rapat terbatasnya. Jadi ini kepentingan semua karena para pihak ini punya kepentingan," terangnya.
Dia berharap, hal ini dapat terbuka dengan sendirinya. Karena menurutnya, skema pipanisasi bukan berlandaskan semangat nasionalisme. "Intinya bukan nasionalisme atau tidak nasionalisme. Tapi siapa dapat berapa. Nah, mudah-mudahan Pak Jokowi mengerti banget dan dapat informasi yang cukup sebelum memutuskan. Karena tekanannya makin berat," pungkasnya.
(akr)