Ekonomi RI Tergerus Anjloknya Harga Komoditas
A
A
A
JAKARTA - Chief Executive Officer (CEO) MNC Group Hary Tanoesoedibjo (HT) menilai, kondisi perekonomian Indonesia tahun ini masih tergerus dan mengalami ketidakpastian. Karena, harga komoditas di pasar global terus merosot, sementara kekuatan ekonomi Tanah Air salah satunya dari komoditas dan kekayaan sumber daya alam (SDA).
Menurutnya, saat ini tren harga minyak dunia telah berada di bawah USD30 per barel. Artinya, komoditas seperti batu bara, kelapa sawit, karet dan lainnya akan sulit untuk mengalami peningkatan dan bahkan mengalami penurunan.
"Indonesia sangat kuat di komoditas, akibatnya penghasilan di komoditas akan turun terus dan memengaruhi ekspor," katanya di Gedung MNC Tower, Jakarta, Selasa (26/1/2016).
Menurutnya, untuk mengaktifkan pertumbuhan ekonomi nasional dibutuhkan investasi. Namun, untuk mendatangkan investasi dari luar negeri (foreign direct investment/FDI) bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan kiat cerdas bagaimana mengembangkan investasi di Indonesia.
"Bukan hanya dengan memangkas birokrasi perizinan saja, tapi mengubah infrastruktur baik jalan, listrik dan lain-lain. Apalagi ekonomi di luar negeri juga mengalami slowdown. Ekonomi China mengalami pertumbuhan terendah selama 25 tahun terakhir yaitu 6,9%. Eropa dan Amerika Serikat juga sama (slowdown)," imbuh HT.
Karena itu, menarik investasi dari luar negeri ke Indonesia tidak semudah yang dibayangkan. Saat ini, investor kembali ke masa wait and see bagaimana perkembangan ekonomi di Tanah Air ke depannya. "Jadi (investasi) harus tergantung dari dalam, baik BUMN atau swasta," katanya.
Ketua Umum Partai Perindo ini menambahkan, dari sisi perpajakan, pemerintah masih akan menemui banyak tantangan untuk menggenjot penerimaan pajak. Pasalnya, dengan kondisi ekonomi saat ini, penerimaan dari wajib pajak yang sudah rutin pun akan cenderung menurun.
"Tantangannya pemerintah harus memperbesar basis pajak. Jumlah wajib pajak ada 20 juta, tapi yang bayar pajak hanya satu juta. Jadi, saya ingin berikan gambaran bahwa ekonomi kita penuh tantangan," tegasnya.
Apalagi, sambung HT, eksekusi berbagai proyek infrastruktur pemerintah pun dinilai masih lamban. Pemerintah hanya unggul dan cepat dalam penataan birokrasi perizinan, namun dalam eksekusi proyek hingga proyek itu selesai masih lamban.
"2015 pemerintah mencanangkan pembangunan pembangkit listrik sekitar 35 ribu MW untuk lima tahun, tapi sampai hari ini belum. Padahal itu proyek besar sekali, bisa makan USD60 miliar investasinya. Jadi eksekusinya lambat dan masih banyak lagi," tandas dia.
Menurutnya, saat ini tren harga minyak dunia telah berada di bawah USD30 per barel. Artinya, komoditas seperti batu bara, kelapa sawit, karet dan lainnya akan sulit untuk mengalami peningkatan dan bahkan mengalami penurunan.
"Indonesia sangat kuat di komoditas, akibatnya penghasilan di komoditas akan turun terus dan memengaruhi ekspor," katanya di Gedung MNC Tower, Jakarta, Selasa (26/1/2016).
Menurutnya, untuk mengaktifkan pertumbuhan ekonomi nasional dibutuhkan investasi. Namun, untuk mendatangkan investasi dari luar negeri (foreign direct investment/FDI) bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan kiat cerdas bagaimana mengembangkan investasi di Indonesia.
"Bukan hanya dengan memangkas birokrasi perizinan saja, tapi mengubah infrastruktur baik jalan, listrik dan lain-lain. Apalagi ekonomi di luar negeri juga mengalami slowdown. Ekonomi China mengalami pertumbuhan terendah selama 25 tahun terakhir yaitu 6,9%. Eropa dan Amerika Serikat juga sama (slowdown)," imbuh HT.
Karena itu, menarik investasi dari luar negeri ke Indonesia tidak semudah yang dibayangkan. Saat ini, investor kembali ke masa wait and see bagaimana perkembangan ekonomi di Tanah Air ke depannya. "Jadi (investasi) harus tergantung dari dalam, baik BUMN atau swasta," katanya.
Ketua Umum Partai Perindo ini menambahkan, dari sisi perpajakan, pemerintah masih akan menemui banyak tantangan untuk menggenjot penerimaan pajak. Pasalnya, dengan kondisi ekonomi saat ini, penerimaan dari wajib pajak yang sudah rutin pun akan cenderung menurun.
"Tantangannya pemerintah harus memperbesar basis pajak. Jumlah wajib pajak ada 20 juta, tapi yang bayar pajak hanya satu juta. Jadi, saya ingin berikan gambaran bahwa ekonomi kita penuh tantangan," tegasnya.
Apalagi, sambung HT, eksekusi berbagai proyek infrastruktur pemerintah pun dinilai masih lamban. Pemerintah hanya unggul dan cepat dalam penataan birokrasi perizinan, namun dalam eksekusi proyek hingga proyek itu selesai masih lamban.
"2015 pemerintah mencanangkan pembangunan pembangkit listrik sekitar 35 ribu MW untuk lima tahun, tapi sampai hari ini belum. Padahal itu proyek besar sekali, bisa makan USD60 miliar investasinya. Jadi eksekusinya lambat dan masih banyak lagi," tandas dia.
(izz)