BI Ungkap Penyebab RI Rentan Gejolak Ekonomi Global
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, rentannya Indonesia terhadap gejolak perekonomian global karena selama ini Indonesia sangat tergantung pada pendanaan dari luar negeri.
Akibatnya, Tanah Air selalu ketakutan dengan gejolak perekonomian global yang pada akhirnya menyebabkan arus modal yang keluar (capital outflow) dari dalam negeri sangat deras.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, pada 1998 defisit yang terjadi pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) selalu didanai oleh pinjaman dari lembaga multilateral seperti World Bank, Asian Development Bank (ADB) atau dari pinjaman bilateral dan multilateral antar negara.
Namun saat ini, Indonesia tidak lagi dikategorikan sebagai negara miskin dan tidak bisa lagi mengais pinjaman dari lembaga keuangan internasional tersebut.
"Jadi, kita harus pinjam dari capital market. Unfortunately, karena dana di dalam negeri tidak cukup, pemerintah tidak bisa pinjam dari perbankan, perbankan beli SBN tidak bisa terlalu besar. Reksa dana, dana pensiun, dan asuransi di Indonesia juga size-nya kecil. Jadi, mau tidak mau dana datang dari luar negeri," terang dia di Graha Niaga, Jakarta, Jumat (29/1/2016).
Dia menyebutkan, sekitar 38% dari Surat Utang Negara (SUN) di Indonesia dimiliki asing, dan setiap tahun selalu ada penerbitan surat utang baru serta setiap tahun ada utang jatuh tempo. Bahkan, tahun ini total SBN untuk membiayai defisit APBN dan utang jatuh tempo mencapai Rp542 triliun.
"Outstanding 38% dimiliki asing. Jadi kita penting sekali jaga confident dari asing dan stabilitas dari flows," imbuh Mirza.
Selain itu, utang luar negeri (ULN) swasta juga tidak kalah besarnya. Sebab, rasio besarnya kredit (loan to deposit ratio/LDR) perbankan nasional telah mencapai 90%. Artinya, perbankan nasional tidak mampu mendanai seluruh kredit di Indonesia.
"USD167 miliar sekarang ULN swasta termasuk perbankan. Komponen ULN besar sekali dari capital market asing," tuturnya.
Menurutnya, pendanaan dan modal korporasi besar di Tanah Air tidak hanya berasal dari utang namun juga dari modal. Sayangnya, besarnya modal yang dibutuhkan perusahaan di Indonesia membuat mereka tidak hanya 100% mengambil dari modal pemilik perusahaan, namun juga modal dari publik.
"Jadi, jika Bank Mandiri butuh modal, paling tidak publik harus 40%. Nah 40% itu mayoritas asing. Begitu juga di BRI, BTN, Telkom. Semua perusahaan besar kita yang go public ketika butuh modal, lalu ada capital call, ini harus disubscribe oleh publik. Maka penting kalau flows ke Indonesia harus dijaga," tandas dia.
Akibatnya, Tanah Air selalu ketakutan dengan gejolak perekonomian global yang pada akhirnya menyebabkan arus modal yang keluar (capital outflow) dari dalam negeri sangat deras.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, pada 1998 defisit yang terjadi pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) selalu didanai oleh pinjaman dari lembaga multilateral seperti World Bank, Asian Development Bank (ADB) atau dari pinjaman bilateral dan multilateral antar negara.
Namun saat ini, Indonesia tidak lagi dikategorikan sebagai negara miskin dan tidak bisa lagi mengais pinjaman dari lembaga keuangan internasional tersebut.
"Jadi, kita harus pinjam dari capital market. Unfortunately, karena dana di dalam negeri tidak cukup, pemerintah tidak bisa pinjam dari perbankan, perbankan beli SBN tidak bisa terlalu besar. Reksa dana, dana pensiun, dan asuransi di Indonesia juga size-nya kecil. Jadi, mau tidak mau dana datang dari luar negeri," terang dia di Graha Niaga, Jakarta, Jumat (29/1/2016).
Dia menyebutkan, sekitar 38% dari Surat Utang Negara (SUN) di Indonesia dimiliki asing, dan setiap tahun selalu ada penerbitan surat utang baru serta setiap tahun ada utang jatuh tempo. Bahkan, tahun ini total SBN untuk membiayai defisit APBN dan utang jatuh tempo mencapai Rp542 triliun.
"Outstanding 38% dimiliki asing. Jadi kita penting sekali jaga confident dari asing dan stabilitas dari flows," imbuh Mirza.
Selain itu, utang luar negeri (ULN) swasta juga tidak kalah besarnya. Sebab, rasio besarnya kredit (loan to deposit ratio/LDR) perbankan nasional telah mencapai 90%. Artinya, perbankan nasional tidak mampu mendanai seluruh kredit di Indonesia.
"USD167 miliar sekarang ULN swasta termasuk perbankan. Komponen ULN besar sekali dari capital market asing," tuturnya.
Menurutnya, pendanaan dan modal korporasi besar di Tanah Air tidak hanya berasal dari utang namun juga dari modal. Sayangnya, besarnya modal yang dibutuhkan perusahaan di Indonesia membuat mereka tidak hanya 100% mengambil dari modal pemilik perusahaan, namun juga modal dari publik.
"Jadi, jika Bank Mandiri butuh modal, paling tidak publik harus 40%. Nah 40% itu mayoritas asing. Begitu juga di BRI, BTN, Telkom. Semua perusahaan besar kita yang go public ketika butuh modal, lalu ada capital call, ini harus disubscribe oleh publik. Maka penting kalau flows ke Indonesia harus dijaga," tandas dia.
(izz)