Soal Kereta Cepat, Jokowi dan Rini Dinilai Salah Pahami UU

Senin, 01 Februari 2016 - 12:00 WIB
Soal Kereta Cepat, Jokowi dan Rini Dinilai Salah Pahami UU
Soal Kereta Cepat, Jokowi dan Rini Dinilai Salah Pahami UU
A A A
JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) maupun Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno memiliki kesalahan pemikiran terkait rencana pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung buatan China.

Menurutnya, kesalahan tersebut seperti terlihat dalam memahami makna dari Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945. UU tersebut utamanya mengatur tentang perekonomian, pemanfaatan SDA untuk kepentingan rakyat, dan prinsip perekonomian nasional.

"Ada beberapa kesalahan pikiran Presiden Jokowi dan Menteri BUMN Rini Soemarno. Kesalahan pertama adalah kekeliruan memahami, makna pasal 33 yang diturunkan menjadi berbagai UU, termasuk di dalamnya UU BUMN," ujar Fahri dalam rilisnya yang diterima Sindonews, Senin (1/2/2016).

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menjelaskan, makna dari pasal 33 ayat 2 adalah cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara.

Kemudian untuk pasal 33 ayat 3, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini sudah jelas bahwa dalam penguasaan kekayaan negara adalah untuk kesejahteraan rakyat.

"Nah dalam hal ini apakah kerja sama empat BUMN yang tergabung dalam satu konsorsium 4 dengan perusahaan China dalam hubungan Bussines to Bussines atau B to B jelas melanggar pasal tersebut," ucap Fahri.

Fahri menjelaskan, BUMN dibentuk dengan tugas utamanya menyebarkan kesejateraan, menyalurkan kekayaan, sehingga rakyat dapat sejahtera. BUMN menjadi semacam pipa yang menyalurkan kesejahteraan pada rakyat.

"Bisnis yang dilakukan BUMN hanya salah satu saja metodenya, selebihnya bisa dengan CSR, PKBL dan lain-lain. Itu tugas BUMN, jadi bukan semata bisnis," tegasnya.

Dalam kasus kereta China ini, tiba-tiba Presiden Jokowi dan Menteri BUMN Rini Soemarno menyimpulkan pengertian pasal 33 ke sebuah nalar, yakni seolah hal itu hanya bisnis semata yang dituangkan dalam kerja sama B to B.

"BUMN jelas milik negara, karena negara yang menjamin modal, eksistensi dan semua hal yang terkait BUMN," ucap dia.

PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT PP Tbk (PTPP), dan PT Hutama Karya, kata Fahri, adalah perusahaan konstruksi yang memiliki banyak aset seperti jalan tol dan gedung, begitu juga dengan PTPN.

"Kenapa mengambil PTPN, karena yang mereka incar adalah aset lahan PTPN. Kesemua aset milik BUMN itu adalah milik negara, kenapa aset yang tidak bernilai harganya itu tidak dihitung dan tiba-tiba kita hanya memiliki utang kepada perusahaan Cina?" jelasnya.

"Kalau misalnya mereka harus membebaskan lahan bisa mampus mereka, berapa harus mereka keluarkan. Lah ini lahan PTPN diambil begitu saja, tidak dihitung, malah kita yang dibilang berutang pada mereka. Ini kan konyol, ini cara berpikir yang keliru," tandas Fahri.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4175 seconds (0.1#10.140)