DPR Ragukan Kemampuan Kereta Cepat China
A
A
A
JAKARTA - Ketua Komisi VI DPR RI Achmad Hafidz Tohir meragukan kemampuan perusahaan konsorsium China yang bekerja sama dalam proyek kereta cepat (high speed train/HST) Jakarta-Bandung. Menurutnya, belum ada pembuktian perusahaan tersebut berhasil membangun kereta cepat selain di negaranya sendiri.
"Kalau dari track record, kita enggak bisa lihat di negara mana dia sudah bangun.Yang ada hanya proposal-proposal. Di Iran, Nigeria, memang waktu itu sempat ada, tapi belum nampak wujudnya sama sekali. Saya dengar di California juga akan dibangun, tapi apa betul? AS juga sangat teliti dalam teknologi," ujarnya kepada Sindonews, Jakarta, Senin (8/2/2016)
Di luar pembangunan kereta cepat di China, Hafidz menyatakan, pihaknya juga meragukan keunggulan teknologi yang digunakan. (Baca: DPR Komplain Proyek Kereta Cepat Pakai Aset Negara)
"Kalau di China memang banyak dibangun kereta cepat. Tapi kalau di negara lain, belum ada hasil China membangun kereta cepat. Entah ada masalah sama teknologinya kah, itu yang harus dicari datanya," tegasnya.
Sebelumnya, Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu menilai, proyek kereta cepat bakal bernasib sama dengan proyek kelistrikan (fast track programme/FTP) 10.000 megawatt (MW) 1 dan 2 di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). (Baca: Kereta Cepat Bisa Senasib dengan Proyek Listrik Era SBY)
Ketua FSP BUMN Bersatu Arief Poyuono mengatakan, kala itu proyek kelistrikan 10.000 MW didanai dari hasil pinjaman Bank Exim China, yang direncanakan akan selesai hingga akhir periode pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I atau selama lima tahun pertama. (Baca: Bappenas: Kereta Cepat Proyek Jangka Panjang)
"Namun yang terjadi? Hingga SBY berakhir pemerintahannya bersama Budiono, proyek pembangkit listrik hasil proyek tahap I, yang dicanangkan sebesar 10 ribu MW tersebut baru diselesaikan sekitar 8.500 MW, sisanya diharapkan selesai 2016," ungkapnya, dalam keterangan tertulis, pekan lalu.
"Kalau dari track record, kita enggak bisa lihat di negara mana dia sudah bangun.Yang ada hanya proposal-proposal. Di Iran, Nigeria, memang waktu itu sempat ada, tapi belum nampak wujudnya sama sekali. Saya dengar di California juga akan dibangun, tapi apa betul? AS juga sangat teliti dalam teknologi," ujarnya kepada Sindonews, Jakarta, Senin (8/2/2016)
Di luar pembangunan kereta cepat di China, Hafidz menyatakan, pihaknya juga meragukan keunggulan teknologi yang digunakan. (Baca: DPR Komplain Proyek Kereta Cepat Pakai Aset Negara)
"Kalau di China memang banyak dibangun kereta cepat. Tapi kalau di negara lain, belum ada hasil China membangun kereta cepat. Entah ada masalah sama teknologinya kah, itu yang harus dicari datanya," tegasnya.
Sebelumnya, Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu menilai, proyek kereta cepat bakal bernasib sama dengan proyek kelistrikan (fast track programme/FTP) 10.000 megawatt (MW) 1 dan 2 di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). (Baca: Kereta Cepat Bisa Senasib dengan Proyek Listrik Era SBY)
Ketua FSP BUMN Bersatu Arief Poyuono mengatakan, kala itu proyek kelistrikan 10.000 MW didanai dari hasil pinjaman Bank Exim China, yang direncanakan akan selesai hingga akhir periode pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I atau selama lima tahun pertama. (Baca: Bappenas: Kereta Cepat Proyek Jangka Panjang)
"Namun yang terjadi? Hingga SBY berakhir pemerintahannya bersama Budiono, proyek pembangkit listrik hasil proyek tahap I, yang dicanangkan sebesar 10 ribu MW tersebut baru diselesaikan sekitar 8.500 MW, sisanya diharapkan selesai 2016," ungkapnya, dalam keterangan tertulis, pekan lalu.
(dmd)