Kecepatan Kereta Cepat China Setiap Tahun Turun
A
A
A
JAKARTA - Ketua Komisi VI DPR RI Achmad Hafidz Tohir menuturkan, pengalaman pribadi saat dirinya menaiki kereta cepat (high speed train/HST) China sewaktu berkunjung ke Negeri Panda. Setiap tahun kecepatan kereta cepat China terus menurun.
"Pengalaman pribadi saya kecepatan kereta itu menurun. Beda dengan Shinkansen milik Jepang. Sekalinya mereka jalan 400km/jam, ya mereka konsisten sampai sekarang. Tapi kalau kereta cepat China, waktu saya ke sana, perjalanan dari Shanghai ke Pudong airport, saat pertama kereta itu dibangun tahun 2006, itu kecepatannya 430 km/jam. Setahun kemudian saya datang ke sana tinggal 340 km/jam, terus sekarang kabarnya hanya 220km/jam," ujarnya kepada Sindonews, Jakarta, Senin (8/2/2016).
(Baca: DPR Ragukan Kemampuan Kereta Cepat China)
Dia mengatakan, bila membaca grafik tersebut ada keraguan dengan teknologi yang ditawarkan China untuk proyek transportasi tersebut. "Jadi lebih baik kita jangan berjudi lah dengan uang triliunan rupiah demi teknologi yang abal-abal. Kita beli teknologi yang benar-benar berkualitas saja," imbuh Hafidz.
"Karena ini betul-betul bukan uang pemerintah, ini uang rakyat meskipun dengan kerja sama B to B (business to business). Tetap saja di sana ada uang rakyat. Rakyat yang akan membayar dalam bentuk karcis kereta. Jadi ini caranya saja lewat swasta. Tapi tetap merupakan beban negara," tandasnya.
(Baca: DPR Komplain Proyek Kereta Cepat Pakai Aset Negara)
Sebelumnya, Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu menilai, proyek kereta cepat bakal bernasib sama dengan proyek kelistrikan (fast track programme/FTP) 10.000 megawatt (MW) 1 dan 2 di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
(Baca: Kereta Cepat Bisa Senasib dengan Proyek Listrik Era SBY)
Ketua FSP BUMN Bersatu Arief Poyuono mengatakan, kala itu proyek kelistrikan 10.000 MW didanai dari hasil pinjaman Bank Exim China, yang direncanakan akan selesai hingga akhir periode pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I atau selama lima tahun pertama.
"Namun yang terjadi? Hingga SBY berakhir pemerintahannya bersama Budiono, proyek pembangkit listrik hasil proyek tahap I, yang dicanangkan sebesar 10 ribu MW tersebut baru diselesaikan sekitar 8.500 MW, sisanya diharapkan selesai 2016," ungkapnya, dalam keterangan tertulis, akhir pekan kemarin.
"Pengalaman pribadi saya kecepatan kereta itu menurun. Beda dengan Shinkansen milik Jepang. Sekalinya mereka jalan 400km/jam, ya mereka konsisten sampai sekarang. Tapi kalau kereta cepat China, waktu saya ke sana, perjalanan dari Shanghai ke Pudong airport, saat pertama kereta itu dibangun tahun 2006, itu kecepatannya 430 km/jam. Setahun kemudian saya datang ke sana tinggal 340 km/jam, terus sekarang kabarnya hanya 220km/jam," ujarnya kepada Sindonews, Jakarta, Senin (8/2/2016).
(Baca: DPR Ragukan Kemampuan Kereta Cepat China)
Dia mengatakan, bila membaca grafik tersebut ada keraguan dengan teknologi yang ditawarkan China untuk proyek transportasi tersebut. "Jadi lebih baik kita jangan berjudi lah dengan uang triliunan rupiah demi teknologi yang abal-abal. Kita beli teknologi yang benar-benar berkualitas saja," imbuh Hafidz.
"Karena ini betul-betul bukan uang pemerintah, ini uang rakyat meskipun dengan kerja sama B to B (business to business). Tetap saja di sana ada uang rakyat. Rakyat yang akan membayar dalam bentuk karcis kereta. Jadi ini caranya saja lewat swasta. Tapi tetap merupakan beban negara," tandasnya.
(Baca: DPR Komplain Proyek Kereta Cepat Pakai Aset Negara)
Sebelumnya, Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu menilai, proyek kereta cepat bakal bernasib sama dengan proyek kelistrikan (fast track programme/FTP) 10.000 megawatt (MW) 1 dan 2 di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
(Baca: Kereta Cepat Bisa Senasib dengan Proyek Listrik Era SBY)
Ketua FSP BUMN Bersatu Arief Poyuono mengatakan, kala itu proyek kelistrikan 10.000 MW didanai dari hasil pinjaman Bank Exim China, yang direncanakan akan selesai hingga akhir periode pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I atau selama lima tahun pertama.
"Namun yang terjadi? Hingga SBY berakhir pemerintahannya bersama Budiono, proyek pembangkit listrik hasil proyek tahap I, yang dicanangkan sebesar 10 ribu MW tersebut baru diselesaikan sekitar 8.500 MW, sisanya diharapkan selesai 2016," ungkapnya, dalam keterangan tertulis, akhir pekan kemarin.
(dmd)