Izinkan Freeport Ekspor Konsentrat, RI Dinilai Tak Berdaya
A
A
A
JAKARTA - Mengizinkan PT Freeport Indonesia melakukan ekspor konsentrat tanpa membayar uang jaminan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) sebesar USD530 juta, pemerintah dinilai Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) telah kalah telak tidak berdaya. Apalagi perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu juga diprediksi tidak akan membayar bea keluar sebesar 5%.
“Indonesia kalah pada Freeport, posisi tawar Indonesia lemah, hasil ini menunjukkan karena pengambil kebijakan mengutamakan kepentingan personal dan kelompok sehingga mengalahkan kepentingan bangsa,” ucap Manajer Advokasi FITRA, Apung Widadi di Jakarta, Rabu (17/2/2016).
(Baca Juga: Pembangunan Smelter Molor, Menteri ESDM Sebut Bukan Pembangkangan)
Lebih lanjut, dia juga menyayangkan kebijakan pemerintah yang memberikan keringanan dengan penundaan pembayaran uang jaminan pembangunan smelter. Meski Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) tetap meminta raksasa tambang asal Negeri Paman Sam tersebut untuk bisa menunjukkan kesungguhan yang equivalen dengan persyaratan tersebut.
“Artinya apa, ketika kemaren pemerintah mendorong kasus papa minta saham, sekarang dengan kenyataan ini, anti klimas dan tidak menyentuh akar subtansi, hanya pencitraan saja, dalam subtansi kepentingan tetap kalah, dimana posisi Menteri ESDM ini tidak menjaga kedaulatan,” sambungnya.
Dia juga menekankan dengan kebijakan izin ekspor konsentrat tersebut, pemerintah dinilai telah melanggar karena kewajiban membangun smelter merupakan implementasi UU No 4 tahun 2009. “Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan," tutupnya menirukan bunyi UU pasal 170 itu.
“Indonesia kalah pada Freeport, posisi tawar Indonesia lemah, hasil ini menunjukkan karena pengambil kebijakan mengutamakan kepentingan personal dan kelompok sehingga mengalahkan kepentingan bangsa,” ucap Manajer Advokasi FITRA, Apung Widadi di Jakarta, Rabu (17/2/2016).
(Baca Juga: Pembangunan Smelter Molor, Menteri ESDM Sebut Bukan Pembangkangan)
Lebih lanjut, dia juga menyayangkan kebijakan pemerintah yang memberikan keringanan dengan penundaan pembayaran uang jaminan pembangunan smelter. Meski Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) tetap meminta raksasa tambang asal Negeri Paman Sam tersebut untuk bisa menunjukkan kesungguhan yang equivalen dengan persyaratan tersebut.
“Artinya apa, ketika kemaren pemerintah mendorong kasus papa minta saham, sekarang dengan kenyataan ini, anti klimas dan tidak menyentuh akar subtansi, hanya pencitraan saja, dalam subtansi kepentingan tetap kalah, dimana posisi Menteri ESDM ini tidak menjaga kedaulatan,” sambungnya.
Dia juga menekankan dengan kebijakan izin ekspor konsentrat tersebut, pemerintah dinilai telah melanggar karena kewajiban membangun smelter merupakan implementasi UU No 4 tahun 2009. “Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan," tutupnya menirukan bunyi UU pasal 170 itu.
(akr)