Menkeu Sebut Pajak Risiko Fiskal Terbesar Ekonomi RI
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan bahwa saat ini penerimaan pajak merupakan satu-satunya risiko fiskal terbesar untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasalnya subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sudah mulai dikurangi yang biasanya menjadi 'tumbal' dalam merevisi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Hal tersebut dikatakannya saat melantik Ken Dwijugiasteadi sebagai Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, menggantikan Sigit Priadi Pramudito yang mengundurkan diri akhir 2015.
Lanjut dia, di masa lalu risiko fiskal di Tanah Air terbagi antara pengeluaran melalui subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan pemasukan melalui penerimaan pajak. Meskipun penerimaan pajak tidak tercapai, namun yang biasanya dijadikan alasan untuk merevisi APBN adalah subsidi BBM.
"Di masa lalu kita masih punya excuse. Dalam tanda petik bahwa subsidi BBM kalau berlebih akan menjadi alasan untuk merevisi APBN, meskipun pada saat yang sama ada target penerimaan pajak yang tidak tercapai. Akhirnya jadi fokus pemerintah dengan DPR, dibanding penerimaan pajaknya," katanya di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (1/3/2016).
(Baca Juga: Resmi Jabat Dirjen Pajak, Ken Dwijugiasteadi Diminta Tancap Gas)
Namun mulai tahun lalu, sambung mantan Wakil Menteri Keuangan ini, tidak ada lagi cerita risiko fiskal dari pengeluaran. Karena dari sisi pengeluaran semuanya sudah lebih dapat dikendalikan, sementara dari sisi penerimaan masih menjadi tantangan. "Tahun lalu pajak itu, khusus pajak saja 70% beserta bea dan cukai menjadi 85% dari total penerimaan," imbuh dia.
Menurutnya, penerimaan pajak menjadi tantangan sekaligus beban yang sangat berat saat ini. Sebab, tanpa penerimaan yang besar maka tidak akan ada belanja yang dapat menggerakkan ekonomi Indonesia. "Tanpa penerimaan yang besar, tidak akan ada belanja yang ekspansif. Tidak ada anggaran ekspansif yang nantinya diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi," pungkasnya.
Hal tersebut dikatakannya saat melantik Ken Dwijugiasteadi sebagai Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, menggantikan Sigit Priadi Pramudito yang mengundurkan diri akhir 2015.
Lanjut dia, di masa lalu risiko fiskal di Tanah Air terbagi antara pengeluaran melalui subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan pemasukan melalui penerimaan pajak. Meskipun penerimaan pajak tidak tercapai, namun yang biasanya dijadikan alasan untuk merevisi APBN adalah subsidi BBM.
"Di masa lalu kita masih punya excuse. Dalam tanda petik bahwa subsidi BBM kalau berlebih akan menjadi alasan untuk merevisi APBN, meskipun pada saat yang sama ada target penerimaan pajak yang tidak tercapai. Akhirnya jadi fokus pemerintah dengan DPR, dibanding penerimaan pajaknya," katanya di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (1/3/2016).
(Baca Juga: Resmi Jabat Dirjen Pajak, Ken Dwijugiasteadi Diminta Tancap Gas)
Namun mulai tahun lalu, sambung mantan Wakil Menteri Keuangan ini, tidak ada lagi cerita risiko fiskal dari pengeluaran. Karena dari sisi pengeluaran semuanya sudah lebih dapat dikendalikan, sementara dari sisi penerimaan masih menjadi tantangan. "Tahun lalu pajak itu, khusus pajak saja 70% beserta bea dan cukai menjadi 85% dari total penerimaan," imbuh dia.
Menurutnya, penerimaan pajak menjadi tantangan sekaligus beban yang sangat berat saat ini. Sebab, tanpa penerimaan yang besar maka tidak akan ada belanja yang dapat menggerakkan ekonomi Indonesia. "Tanpa penerimaan yang besar, tidak akan ada belanja yang ekspansif. Tidak ada anggaran ekspansif yang nantinya diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi," pungkasnya.
(akr)