Pemerintah Telantarkan Suntikan Investasi USD50 Miliar
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta untuk lebih mengakomodasi investor yang sudah berkantor dan beroperasi di Indonesia. Wakil Ketua Komisi VII DPR Fadel Muhammad menilai pemerintah tidak memberikan kepastian sehingga menelantarkan investasi yang akan masuk mencapai USD40-50 miliar.
Hal ini mengkhawatirkan karena risiko penurunan pendapatan akibat target produksi serta pendapatan migas sesuai APBN 2016 Rp 30 triliun bakal sulit tercapai. Dia memperkirakan salah satu penyebabnya harga minyak bisa berada di kisaran USD15-20 per barel tahun ini. “Begitu banyak masalah berat di sektor energi dan migas kita. Apalagi harga minyak dunia semakin murah, kita kena dampaknya," ujar Fadel di Jakarta, Kamis (17/3/2016).
Ironisnya, lanjut Fadel, pemerintah terkesan tidak kreatif guna mendorong tingginya produksi migas (lifting) yang berdampak pada penerimaan negara.
Selain itu, Fadel menyebut sejumlah investor migas asing yang tertarik membenamkan modalnya. Hanya mereka batal karena masih banyak kendala di dalam negeri. “Terlalu banyak keraguan sehingga investasi yang ingin masuk jadi telantar. Sebut saja Blok Masela hingga Freeport,” ujarnya.
Selanjutnya, Fadel menyebut Chevron, perusahaan migas asal Amerika Serikat, berniat suntikkan investasi hingga USD25 miliar di Blok Masela. Namun kandas, karena alotnya perizinan. "Sampai saat ini, belum ada kepastian. Karena izinnya belum direvisi," tuturnya.
Seperti diketahui, selama tiga tahun terakhir harga minyak dunia sempat stabil di level USD100 per barel, namun terus mengalami penurunan sejak 2014. Menurutnya, jika harga minyak dunia mengalami penurunan sebesar 20%, maka hal ini positif untuk menekan laju inflasi dan biaya logistik minyak bisa menurun 20%.
“Namun, jika harga minyak menurun hingga 75%, maka kondisi ini akan berpengaruh negatif terhadap perekonomian nasional. Harga minyak itu bisa-bisa berada di USS15-20 per barel. Karena, dampaknya bisa menurunkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor minyak dan gas bumi,” ujar Fadel.
Dia memperkirakan, penerimaan sektor migas akan kembali tercapai sebesar USD12,86 miliar dari target yang ditetapkan senilai USD14,99 miliar. Sehingga, lanjut dia, program-program pemerintah mulai dari infrastruktur hingga energi bisa menjadi landasan bagi laju pertumbuhan ekonomi.
Untuk itu, kata dia, APBN 2016 perlu dikaji ulang agar bisa mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkesinambungan. Faktor lain yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi adalah realisasi pengeluaran belanja APBN yang tepat waktu dan sasaran. Selain itu, faktor lain yang menentukan kualitas pertumbuhan ekonomi adalah kebijakan moneter. “Kami berharap BI Rate diturunkan, Presiden dan Wakil Presiden juga minta diturunkan,” tambahnya.
Hal ini mengkhawatirkan karena risiko penurunan pendapatan akibat target produksi serta pendapatan migas sesuai APBN 2016 Rp 30 triliun bakal sulit tercapai. Dia memperkirakan salah satu penyebabnya harga minyak bisa berada di kisaran USD15-20 per barel tahun ini. “Begitu banyak masalah berat di sektor energi dan migas kita. Apalagi harga minyak dunia semakin murah, kita kena dampaknya," ujar Fadel di Jakarta, Kamis (17/3/2016).
Ironisnya, lanjut Fadel, pemerintah terkesan tidak kreatif guna mendorong tingginya produksi migas (lifting) yang berdampak pada penerimaan negara.
Selain itu, Fadel menyebut sejumlah investor migas asing yang tertarik membenamkan modalnya. Hanya mereka batal karena masih banyak kendala di dalam negeri. “Terlalu banyak keraguan sehingga investasi yang ingin masuk jadi telantar. Sebut saja Blok Masela hingga Freeport,” ujarnya.
Selanjutnya, Fadel menyebut Chevron, perusahaan migas asal Amerika Serikat, berniat suntikkan investasi hingga USD25 miliar di Blok Masela. Namun kandas, karena alotnya perizinan. "Sampai saat ini, belum ada kepastian. Karena izinnya belum direvisi," tuturnya.
Seperti diketahui, selama tiga tahun terakhir harga minyak dunia sempat stabil di level USD100 per barel, namun terus mengalami penurunan sejak 2014. Menurutnya, jika harga minyak dunia mengalami penurunan sebesar 20%, maka hal ini positif untuk menekan laju inflasi dan biaya logistik minyak bisa menurun 20%.
“Namun, jika harga minyak menurun hingga 75%, maka kondisi ini akan berpengaruh negatif terhadap perekonomian nasional. Harga minyak itu bisa-bisa berada di USS15-20 per barel. Karena, dampaknya bisa menurunkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor minyak dan gas bumi,” ujar Fadel.
Dia memperkirakan, penerimaan sektor migas akan kembali tercapai sebesar USD12,86 miliar dari target yang ditetapkan senilai USD14,99 miliar. Sehingga, lanjut dia, program-program pemerintah mulai dari infrastruktur hingga energi bisa menjadi landasan bagi laju pertumbuhan ekonomi.
Untuk itu, kata dia, APBN 2016 perlu dikaji ulang agar bisa mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkesinambungan. Faktor lain yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi adalah realisasi pengeluaran belanja APBN yang tepat waktu dan sasaran. Selain itu, faktor lain yang menentukan kualitas pertumbuhan ekonomi adalah kebijakan moneter. “Kami berharap BI Rate diturunkan, Presiden dan Wakil Presiden juga minta diturunkan,” tambahnya.
(dmd)