Balada si Burung Biru

Minggu, 27 Maret 2016 - 15:12 WIB
Balada si Burung Biru
Balada si Burung Biru
A A A
BURUNG biru ditakdirkan menjadi simbol kebahagiaan. Di China kuno, burung biru adalah burung pembawa berita ratu Dinasti Shang (1766-1122 Sebelum Masehi). Di zaman Dinasti Tang (618-906 Masehi), burung biru adalah ratu peri yang melindungi para gadis.

Di Eropa ada dongeng L’Oiseau Bleu (Blue Bird) karya Madame dAulnoy (1650-1705). Burung biru dikisahkan menjadi penyelamat seorang putri raja dan membuatnya live happily ever after bersama sang pangeran. Terinspirasi dongeng tersebut, sebuah perusahaan taksi kecil berdiri di Jakarta tahun 1972 dengan mengambil nama Blue Bird. Perusahaan ini kini telah tumbuh menjadi burung raksasa dengan armada 23.000 kendaraan.

Awal November 2014, Burung Biru resmi menjadi perusahaan publik. Harga saham saat IPO (initial public offering) adalah Rp6.500. Tahun 2013, pendapatan Blue Bird telah menyentuh Rp3,9 triliun. Perusahaan ini memang dibangun dengan nilai-nilai dan tata kelola yang baik. Ketika Jakarta masih dikuasai taksi kuning, Blue Bird menawarkan nilai kepercayaan, kenyamanan, dan keamanan.

Penumpangnya tidak perlu khawatir diajak blusukan Jakarta dengan argo kuda. Sopir Blue Bird dibekali dengan niat baik dan kejujuran. Saya masih ingat pesan ayah saya di tahun 1980-an, “Tiba di Stasiun Gambir, carilah taksi berwarna biru, jangan sekali-kali naik yang kuning.”

Tata kelola perusahaan yang baik ini menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage), faktor yang membedakan dengan kompetitornya.

Lambat laun burung-burung biru ini berkembang biak menggeser taksi berwarna kuning. Saya sering menggunakan contoh si burung biru ini saat berkhotbah tentang manfaat good corporate governance. Maka ketika terjadi demo panas sopir taksi PT Blue Bird Tbk (BIRD) dan kompetitor mereka, PT Express Transindo Utama Tbk (TAXY) selasa silam (22/3) di Jakarta, saya dan masyarakat terkejut.

Mereka memarkir mobil di jalan protokol. Down town Jakarta, yang tanpa demo saja sudah terengah-engah menampung mobil, lumpuh. Masyarakat Jakarta yang tingkat kepo-nya tinggi jadi kerepotan. Penumpang dari dan ke bandara terhambat. Orang sakit tidak bisa ke rumah sakit. Orang sibuk tidak bisa sibuk. Apalagi kemudian terjadi tindak kekerasan oleh pelaku demo.

Mereka melakukan sweeping terhadap taksi rekan mereka yang nekat membawa tamu. Seolah mereka punya hak untuk menghakimi orang, dan tidak ada hukum di negara ini. Mobil rekan mereka ditendang, dikasari, dan dirusak. Wajah pendemo menjadi garang dan bahasa tubuh mereka kasar menakutkan. Mereka lalu bergerak mencari pangkalan pengemudi GoJek dan GrabBike, bak pasukan komando menyerbu markas penjajah.

Helm berwarna hijau dengan tulisan GoJek menjadi sasaran amarah, dibanting berkali-kali hingga ambyar. Hhh ..untung cuma helm. Di lain pihak, sebagian pengemudi ojek berbasis online tidak kalah berani. Dengan semangat berani mati, mereka bergerak untuk meneriakkan aspirasi dan menunjukkan eksistensi mereka. Untunglah bentrok fisik antara dua kubu bisa dicegah oleh yang berwajib.

Jika tidak, makin rusaklah citra si burung biru pembawa kebahagiaan. Foto-foto tindak kekerasan beredar cepat bak virus di dunia maya, menuai citra negatif dan kecaman. Coba simak pernyataan salah seorang Netizen, “Mengerikan sekali. Nggak kebayang kalau naik mobil yang disopiri orang seperti ini...” Di ujung sana, seorang selebriti berkicau, “Saya tidak akan pernah naik taksi lagi. No way.”

Manajemen burung biru mungkin tidak menyangka bahwa demo berjalan serunyam ini. Namun, mereka cukup pandai untuk menyadari dampaknya terhadap citra dan nilai perusahaan secara jangka panjang. Maka keluarlah kebijakan naik Blue Bird gratis selama masih di Jakarta, dan berlaku seharian setelah hari demo (23/3).

Jika kita asumsikan setiap armada Blue Bird menyetor Rp500.000 sehari dan ada 20.000 armada yang jalan pada hari gratisan tersebut, maka dana yang dikeluarkan untuk “say sorry with flowers“ adalah Rp10 miliar. Efektifkah kebijakan ini untuk menghapus kenangan buruk atas kelakuan para pendemo dan mengangkat harga saham BIRD?

Pada hari demo, harga saham BIRD dibuka pada harga Rp6.350, lalu sempat turun di sesi siang ketika demo mulai memanas. Harga BIRD akhirnya ditutup pada Rp6.400. Sehari setelah demo, harga BIRD dibuka pada Rp6.300 dan ditutup pada Rp6.275. Artinya program naik Blue Bird gratis tidak mampu mengangkat harga saham BIRD, setidaknya dalam jangka pendek.

Justru setelah pemerintah pusat memberi batas waktu dua bulan ke perusahaan layanan transportasi online untuk mengurus izin, harga saham BIRD melejit. Harga BIRD pada Kamis (24/3) ditutup Rp6.800, naik 8,4% dari hari sebelumnya. Intinya, sesuai UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas, Uber dan GrabCar, pesaing berat Blue Bird, harus bekerja sama dengan perusahaan transportasi umum yang sah atau mendirikan badan hukum sendiri. Ini adalah berita baik bagi pemegang saham BIRD karena persaingan usaha menjadi lebih wajar (fair).

LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6377 seconds (0.1#10.140)