Jokowi Setujui Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Kelas 1 dan 2
A
A
A
JAKARTA - Ombudsman menyatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan persetujuan kenaikan iuran peserta perorangan BPJS Kesehatan untuk kelas 1 dan 2. Sementara untuk peserta kelas 3 (tetap Rp25.500 per orang per bulan) tidak dikenakan kenaikan iuran.
Peraturan Presiden Nomor 19 tahun 2016 mewajibkan peserta BPJS Kesehatan kelas 1 dan 2, masing-masing menyetor iuran sebesar Rp80.000 (sebelumnya Rp. 59.500) dan Rp51.000 (sebelumnya Rp42.500) per orang per bulan. Kewajiban dari pemerintah ini harus berdampak pula pada kewajiban BPJS Kesehatan menyelenggarakan pelayanannya secara lebih maksimal.
“Kenaikan iuran harus sejalan dengan peningkatan layanan kesehatan bagi masyarakat,” ujar salah satu pimpinan Ombudsman RI, Adrianus Meliala dalam siaran persnya di jakarta, Senin (11/4/2016).
Adrianus menuturkan berbagai persoalan yang melingkupi penyelenggaraan BPJS Kesehatan pada tahun sebelumnya harus diminimalisasi atau bahkan diakhiri. Hal itu seharusnya menjadi kewajiban penyelenggara kepada masyarakat pengguna.
Dia menyebutkan, laporan masyarakat yang masuk ke kantong pengaduan Ombudsman RI terkait BPJS Kesehatan dalam kurun 2014-2015 mencapai 87 laporan. Sebanyak 40 aduan, bahkan terkait tidak diberikannya layanan kesehatan. “Sebagian besar terjadi di daerah,” jelas Adrianus.
Belum lagi, lanjut dia, terkait pola rujukan ke rumah sakit. Menurut Adrianus, kejelasan mengenai rujukan berjenjang masih belum dipahami masyarakat dan praktik di lapangan kerap kali merugikan masyarakat.
Persoalan yang perlu menjadi catatan, adalah proses pengambilan obat yang masih perlu menunggu sangat lama. Keluhan ini disampaikan sebagian masyarakat yang membandingkannya dengan pasein umum lain. Bahkan saat pemeriksaan di laboratorium, biaya pelayanan tidak ditanggung.
Salah satu pimpinan Ombudsman RI lainnya, Alamsyah Saragih, mengatakan, pada 2015, lembaga negara pengawas pelayanan publik ini melakukan sistemik review pelayanan BPJS Kesehatan. Hasil review masih ditemukan persoalan di ranah operasionalisasi pelayanan BPJS Kesehatan.
"Rumah sakit yang memungut biaya pelayanan kesehatan masih saja ada. Kurangnya tenaga verifikator yang berdampak pada tidak seimbangnya data pengajuan klaim juga ditemukan dalam review ini. Dampak dari kekurangan tenaga verifikator adalah pengetahuan yang berbeda-beda dalam menilai diagnosis," Kata Alamsyah.
Permasalahan lainnya, lanjut dia, beberapa biaya tindakan suatu penyakit yang melebihi harga paket dan selisih biaya penambahan rumah sakit yang harus ditanggung oleh pasien menjadi temuan review Ombudsman RI. Oleh karenanya, sejumlah persoalan ini tidak boleh terjadi lagi terlebih iuran BPJS Kesehatan sudah naik pasca Perpres 19/2016 diteken.
Peraturan Presiden Nomor 19 tahun 2016 mewajibkan peserta BPJS Kesehatan kelas 1 dan 2, masing-masing menyetor iuran sebesar Rp80.000 (sebelumnya Rp. 59.500) dan Rp51.000 (sebelumnya Rp42.500) per orang per bulan. Kewajiban dari pemerintah ini harus berdampak pula pada kewajiban BPJS Kesehatan menyelenggarakan pelayanannya secara lebih maksimal.
“Kenaikan iuran harus sejalan dengan peningkatan layanan kesehatan bagi masyarakat,” ujar salah satu pimpinan Ombudsman RI, Adrianus Meliala dalam siaran persnya di jakarta, Senin (11/4/2016).
Adrianus menuturkan berbagai persoalan yang melingkupi penyelenggaraan BPJS Kesehatan pada tahun sebelumnya harus diminimalisasi atau bahkan diakhiri. Hal itu seharusnya menjadi kewajiban penyelenggara kepada masyarakat pengguna.
Dia menyebutkan, laporan masyarakat yang masuk ke kantong pengaduan Ombudsman RI terkait BPJS Kesehatan dalam kurun 2014-2015 mencapai 87 laporan. Sebanyak 40 aduan, bahkan terkait tidak diberikannya layanan kesehatan. “Sebagian besar terjadi di daerah,” jelas Adrianus.
Belum lagi, lanjut dia, terkait pola rujukan ke rumah sakit. Menurut Adrianus, kejelasan mengenai rujukan berjenjang masih belum dipahami masyarakat dan praktik di lapangan kerap kali merugikan masyarakat.
Persoalan yang perlu menjadi catatan, adalah proses pengambilan obat yang masih perlu menunggu sangat lama. Keluhan ini disampaikan sebagian masyarakat yang membandingkannya dengan pasein umum lain. Bahkan saat pemeriksaan di laboratorium, biaya pelayanan tidak ditanggung.
Salah satu pimpinan Ombudsman RI lainnya, Alamsyah Saragih, mengatakan, pada 2015, lembaga negara pengawas pelayanan publik ini melakukan sistemik review pelayanan BPJS Kesehatan. Hasil review masih ditemukan persoalan di ranah operasionalisasi pelayanan BPJS Kesehatan.
"Rumah sakit yang memungut biaya pelayanan kesehatan masih saja ada. Kurangnya tenaga verifikator yang berdampak pada tidak seimbangnya data pengajuan klaim juga ditemukan dalam review ini. Dampak dari kekurangan tenaga verifikator adalah pengetahuan yang berbeda-beda dalam menilai diagnosis," Kata Alamsyah.
Permasalahan lainnya, lanjut dia, beberapa biaya tindakan suatu penyakit yang melebihi harga paket dan selisih biaya penambahan rumah sakit yang harus ditanggung oleh pasien menjadi temuan review Ombudsman RI. Oleh karenanya, sejumlah persoalan ini tidak boleh terjadi lagi terlebih iuran BPJS Kesehatan sudah naik pasca Perpres 19/2016 diteken.
(dmd)