Sri Mulyani Ungkap Panama Papers Bukti Sistem Pajak RI Lemah
A
A
A
JAKARTA - Mantan Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Sri Mulyani Indrawati ikut mengomentari skandal Panama Papers yang dalam daftarnya juga memunculkan nama-nama pengusaha hingga pejabat di Indonesia. Diduga mereka yang termasuk dalam list berupa menyembunyikan kekayaan di negara surga pajak (tax haven) untuk menghindar dari kewajiban bayar pajak.
Managing Director World Bank ini menilai, kebocoran data tersebut berpotensi mengikis kepercayaan masyarakat dalam membayar pajak. Sebab, jika pelanggaran tersebut terus dilakukan maka masyarakat yang tidak memiliki uang untuk disembunyikan di tax haven akan enggan membayar pajak.
"Sebagai Menteri Keuangan di negara asal saya Indonesia, saya melihat langsung bagaimana sistem pajak yang lemah mengikis kepercayaan publik," katanya seperti dikutip dalam akun LinkedIn resmi Sri Mulyani di Jakarta, Senin (18/4/2016).
Namun di sisi lain, sambung dia, lemahnya sistem pajak di Tanah Air menumbuhkan kapitalisme kroni, dengan munculnya pasar gelap bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, nepotisme untuk mendapatkan pekerjaan, hingga praktik suap di kalangan pegawai negeri sipil (PNS). Menurutnya, penghindaran pajak yang dilakukan kaum elit tersebut adalah hal yang umum terjadi di Tanah Air.
"Sehingga negara tidak bisa memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur, menciptakan lapangan kerja, dan memerangi kemiskinan," imbuh dia.
Dia juga menilai, memperkenalkan konsep transparansi dan akuntabilitas dalam sistem yang sudah rusak tersebut lebih sulit daripada menghadapi perlawanan dari pihak oposisi politik. Padahal, saat menjabat dulu dirinya telah berusaha memperbaiki hal teknis yang mendasar, seperti audit yang lebih baik, penguatan pengendalian internal, dan sistem teknologi informasi yang lebih baru guna meminimalkan interaksi pribadi dan peluang menerima suap.
"Kami juga menciptakan insentif bagi PNS untuk meningkatkan semangat dan kedisiplinan mereka. Indonesia adalah salah satu contoh bagaimana sebuah kontrak sosial yang rusak telah menghambat pembangunan," tandasnya.
Managing Director World Bank ini menilai, kebocoran data tersebut berpotensi mengikis kepercayaan masyarakat dalam membayar pajak. Sebab, jika pelanggaran tersebut terus dilakukan maka masyarakat yang tidak memiliki uang untuk disembunyikan di tax haven akan enggan membayar pajak.
"Sebagai Menteri Keuangan di negara asal saya Indonesia, saya melihat langsung bagaimana sistem pajak yang lemah mengikis kepercayaan publik," katanya seperti dikutip dalam akun LinkedIn resmi Sri Mulyani di Jakarta, Senin (18/4/2016).
Namun di sisi lain, sambung dia, lemahnya sistem pajak di Tanah Air menumbuhkan kapitalisme kroni, dengan munculnya pasar gelap bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, nepotisme untuk mendapatkan pekerjaan, hingga praktik suap di kalangan pegawai negeri sipil (PNS). Menurutnya, penghindaran pajak yang dilakukan kaum elit tersebut adalah hal yang umum terjadi di Tanah Air.
"Sehingga negara tidak bisa memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur, menciptakan lapangan kerja, dan memerangi kemiskinan," imbuh dia.
Dia juga menilai, memperkenalkan konsep transparansi dan akuntabilitas dalam sistem yang sudah rusak tersebut lebih sulit daripada menghadapi perlawanan dari pihak oposisi politik. Padahal, saat menjabat dulu dirinya telah berusaha memperbaiki hal teknis yang mendasar, seperti audit yang lebih baik, penguatan pengendalian internal, dan sistem teknologi informasi yang lebih baru guna meminimalkan interaksi pribadi dan peluang menerima suap.
"Kami juga menciptakan insentif bagi PNS untuk meningkatkan semangat dan kedisiplinan mereka. Indonesia adalah salah satu contoh bagaimana sebuah kontrak sosial yang rusak telah menghambat pembangunan," tandasnya.
(akr)