Sudirman Said Akan Akhiri Subsidi Listrik
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah menjanjikan akses listrik tidak hanya dinikmati masyarakat di kota besar tapi juga wajib hadir di desa terpencil di seluruh Indonesia. Namun keinginan itu tidak mudah karena butuh pendanaan besar sehingga harus menggeser subsidi listrik agar tepat sasaran.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said mengatakan, subsidi listrik yang selama ini dinikmati oleh masyarakat mampu harus diakhiri. Porsi subsidi seharusnya hanya dinikmati oleh masyarakat tidak mampu dan membutuhkan.
“Banyak sekali masyarakat di pelosok negeri khususnya di Indonesia bagian timur tidak mendapatkan akses listrik. Saya minta ini segera diselesaikan dengan menyesuaikan tarif listrik bagi masyarakat mampu dan korporasi juga harus membayar tarif listrik yang wajar,” ujarnya di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Rabu (27/4/2016).
Berdasarkan data Kementerian ESDM terdapat 12.659 desa tertinggal belum terakses listrik dari jaringan PLN. Sedangkan sebesar 2.519 desa masih gelap gulita dengan mayoritas di Papua dan Indonesia Timur. Sementara rasio elektrifikasi nasional saat ini diangka 87% ditargetkan tercapai 97% pada 2019.
Masih terdapat 56 Pemerintah Kabupaten yang rasio elektrifikasinya di bawah 50%. Sebesar 46% di Indonesia bagian timur dan selebihnya di Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Kepulauan Riau, Nias, dan Mentawai.
Sementara berdasarkan hasil verifikasi data subsidi, hanya 3,94 juta dari 22,7 juta pelanggan listrik 900 volt ampere yang berhak menerima subsidi. Selebihnya 18,7 juta pelanggan tidak berhak menerima subsidi listrik dari pemerintah.
“Itu semua menjadi tugas pemerintah dan tugas bersama menyelesaikan krisis listrik di daerah-daerah terpencil. Karena itu pemerintah mencanangkan program Indonesia Terang untuk memberikan akses listrik bagi mereka,” terang Sudirman.
Pengembangan lsitrik di kawasan terpencil akan banyak menggunakan energi terbarukan diantaranya tenaga bayu, matahari dan mikrohidro. Hal itu sesuai dengan kondisi dan potensi wilayah tersebut.
“Negara harus hadir secara substantif guna memastikan bahwa listrik akan segara menjangkau daerah-daerah yang belum terlaliri lsitrik hingga hari ini,” ujarnya.
Kepala Divisi Niaga PLN, Benny Marbun menambahkan, bahwa subsidi listrik yang dinikmati oleh masyarakat mampu sebesar 18,7 juta pelanggan. Padahal rata-rata subsidi yang diberikan kepada pelanggan 900 VA sebesar 101.000 per bulan dengan tagihan pembayaran listrik rata-rata sebesar Rp74.000 per bulan.
Konsumsi listriknya rata-rata 124 kilo watt hour (kWh) per bulan dengan tarif listrik Rp585 per kWh. Jika dibandingkan dengan non subsidi pembayarannya sebesar Rp1.352 per kWh. Sehingga subsidi yang dinikmati masyarakat mampu sebesar Rp101.000 per bulan.
“Ini tidak adil karena setiap bulannya saja pulsa handphone bisa lebih dari Rp150.000 per bulan. Sedangkan mereka bayar listrik subsidi hanya Rp74.000 per bulan,” katanya.
Pelanggan 900 VA, kata Benny, lebih besar dinikmati orang mampu dibandingkan masyarakat kurang mampu. Maka itu perlu adanya penggeseran subsidi guna melistriki masyarakat yang tidak mampu.
Pakar ketenagalistrikan, Fabby Tumiwa beranggapan melistriki daerah terpencil tidak semudah membalikan telapak tangan karena perlu biaya fantastis mengembangkan energi baru dan terbarukan. Sebab itu pemerintah perlu memberikan insentif bagi pengembang.
Selain itu pemerintah perlu swadaya masyarakat atau semacam koperasi untuk membangun transmisi distribusi bagi penyediaan yang tidak terhubung dengan PLN. Pengembangan energi baru terbarukan, kata dia, harus dijalankan meski harga minyak dunia rendah.
Tahun ini alokasi anggaran melistriki daerah terpencil sebesar Rp441 miliar untuk enam provinsi. Diantaranya Papua, Papua Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku Utara. Adapun total anggaran untuk menerangi 12.659 desa terpencil ditaksir mencapai Rp100 triliun dengan porsi APBN sebesar Rp20 triliun, selebihnya mengandalkan investasi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said mengatakan, subsidi listrik yang selama ini dinikmati oleh masyarakat mampu harus diakhiri. Porsi subsidi seharusnya hanya dinikmati oleh masyarakat tidak mampu dan membutuhkan.
“Banyak sekali masyarakat di pelosok negeri khususnya di Indonesia bagian timur tidak mendapatkan akses listrik. Saya minta ini segera diselesaikan dengan menyesuaikan tarif listrik bagi masyarakat mampu dan korporasi juga harus membayar tarif listrik yang wajar,” ujarnya di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Rabu (27/4/2016).
Berdasarkan data Kementerian ESDM terdapat 12.659 desa tertinggal belum terakses listrik dari jaringan PLN. Sedangkan sebesar 2.519 desa masih gelap gulita dengan mayoritas di Papua dan Indonesia Timur. Sementara rasio elektrifikasi nasional saat ini diangka 87% ditargetkan tercapai 97% pada 2019.
Masih terdapat 56 Pemerintah Kabupaten yang rasio elektrifikasinya di bawah 50%. Sebesar 46% di Indonesia bagian timur dan selebihnya di Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Kepulauan Riau, Nias, dan Mentawai.
Sementara berdasarkan hasil verifikasi data subsidi, hanya 3,94 juta dari 22,7 juta pelanggan listrik 900 volt ampere yang berhak menerima subsidi. Selebihnya 18,7 juta pelanggan tidak berhak menerima subsidi listrik dari pemerintah.
“Itu semua menjadi tugas pemerintah dan tugas bersama menyelesaikan krisis listrik di daerah-daerah terpencil. Karena itu pemerintah mencanangkan program Indonesia Terang untuk memberikan akses listrik bagi mereka,” terang Sudirman.
Pengembangan lsitrik di kawasan terpencil akan banyak menggunakan energi terbarukan diantaranya tenaga bayu, matahari dan mikrohidro. Hal itu sesuai dengan kondisi dan potensi wilayah tersebut.
“Negara harus hadir secara substantif guna memastikan bahwa listrik akan segara menjangkau daerah-daerah yang belum terlaliri lsitrik hingga hari ini,” ujarnya.
Kepala Divisi Niaga PLN, Benny Marbun menambahkan, bahwa subsidi listrik yang dinikmati oleh masyarakat mampu sebesar 18,7 juta pelanggan. Padahal rata-rata subsidi yang diberikan kepada pelanggan 900 VA sebesar 101.000 per bulan dengan tagihan pembayaran listrik rata-rata sebesar Rp74.000 per bulan.
Konsumsi listriknya rata-rata 124 kilo watt hour (kWh) per bulan dengan tarif listrik Rp585 per kWh. Jika dibandingkan dengan non subsidi pembayarannya sebesar Rp1.352 per kWh. Sehingga subsidi yang dinikmati masyarakat mampu sebesar Rp101.000 per bulan.
“Ini tidak adil karena setiap bulannya saja pulsa handphone bisa lebih dari Rp150.000 per bulan. Sedangkan mereka bayar listrik subsidi hanya Rp74.000 per bulan,” katanya.
Pelanggan 900 VA, kata Benny, lebih besar dinikmati orang mampu dibandingkan masyarakat kurang mampu. Maka itu perlu adanya penggeseran subsidi guna melistriki masyarakat yang tidak mampu.
Pakar ketenagalistrikan, Fabby Tumiwa beranggapan melistriki daerah terpencil tidak semudah membalikan telapak tangan karena perlu biaya fantastis mengembangkan energi baru dan terbarukan. Sebab itu pemerintah perlu memberikan insentif bagi pengembang.
Selain itu pemerintah perlu swadaya masyarakat atau semacam koperasi untuk membangun transmisi distribusi bagi penyediaan yang tidak terhubung dengan PLN. Pengembangan energi baru terbarukan, kata dia, harus dijalankan meski harga minyak dunia rendah.
Tahun ini alokasi anggaran melistriki daerah terpencil sebesar Rp441 miliar untuk enam provinsi. Diantaranya Papua, Papua Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku Utara. Adapun total anggaran untuk menerangi 12.659 desa terpencil ditaksir mencapai Rp100 triliun dengan porsi APBN sebesar Rp20 triliun, selebihnya mengandalkan investasi.
(ven)