Leicester Dadi Ratu

Senin, 09 Mei 2016 - 01:31 WIB
Leicester Dadi Ratu
Leicester Dadi Ratu
A A A
Lukas Setia Atmaja
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School

KEAJAIBAN yang ditunggu selama sembilan bulan terakhir akhirnya tiba. Leicester City FC juara Liga Inggris musim 2015-2016.

Klub Liga Inggris berusia 132 tahun ini tidak pernah juara Liga Inggris sebelumnya. Pada awal musim kompetisi 2015-2016, oleh bandar taruhan sepak bola di Inggris hanya dihargai 1: 5.000. Artinya, jika Leicester juara, petaruh akan memperoleh 5.000 kali lipat dari uang taruhan. Di mata bandar taruhan, dalam 5.000 kompetisi (tahun), diperkirakan Leicester hanya bisa juara sekali. Bagi penggemar berat Leicester City FC, hal ini merupakan sebuah ”peghinaan”.

Untuk juara di tahun 2016, klub mereka harus sudah berdiri sejak tahun 2.984 sebelum Masehi, saat monumen prasejarah Stonehenge di Inggris dibangun. Namun kenyataan bicara lain, hanya dalam waktu 132 tahun Leicester sudah berhasil menjadi juara. Artinya, bandar taruhan terlalu menganggap remeh Leicester City.

Benarkah bandar taruhan yang profesional dan sangat berpengalaman seperti William Hill dan Sky Bet membuat kesalahan? Memang siapa yang bisa menebak Leicester mampu jadi jawara? Bahkan Cludio Ranieri, sang manajer Leicester City FC sendiri, terus terang tidak pernah bermimpi Leicester bisa juara.

”Kami hanya berusaha bermain sebaiknya dari minggu ke minggu,” ungkap Ranieri yang kini mendapat perlakuan bak ”orang suci” di Kota Leicester.

Tahun lalu, Leicester City hampir terdegradasi dari Divisi Utama Liga Inggris. Selama 20 tahun terakhir hanya ada empat klub yang bisa jadi juara Liga Inggris: Manchester United, Arsenal, Chelsea, dan Manchester City.

Semuanya adalah klub besar dan kaya. Klub besar lain seperti Liverpool dan Tottenham Hotspurs saja belum mampu menembus dominasi empat besar klub Liga Inggris tersebut. Apalagi, maaf, Leicester. Total nilai seluruh pemain Leicester hanya 30 juta poundsterling. Sedangkan, harga satu pemain Manchester City seperti Raheem Sterling adalah 50 juta poundstering. Tak ada yang mengenal para pemain Leicester sebelumnya. Mereka adalah pemain kelas kambing yang tidak layak bermain di klub besar.

Manajernya pun baru saja dipecat sebagai kepala tim nasional Yunani karena prestasinya memble. Kemenangan Leicester adalah kemenangan bagi banyak orang, tidak hanya penggemar setianya. Bahkan, aktor tenar Tom Hanks mengaku mengharapkan Leicester juara. Kemenangan Leicester adalah kemenangan ”wong cilik”, rakyat jelata, pihak yang fungsinya hanya sebagai pelengkap penderita.

Leicester dan klub gurem lainnya harus ada agar klub besar seperti Chelsea dan Manchester United bisa mengklaim dirinya sebagai juara. Namun, kini mendadak dunia jadi terbalik. Majikan menjadi pelayan dan pelayan menjadi majikan. Leicester memberi asa bagi mereka yang suka bermimpi menggapai sesuatu yang rasanya mustahil. Leicester adalah Cinderella dalam kehidupan nyata.

Di pewayangan Jawa adalah lakon (cerita) berjudul Petruk Dadi Ratu (Petruk Menjadi Raja). Petruk yang punakawan (pengikut/pelayan kesatria) mendadak punya kesempatan jadi raja, dan ganti nama jadi Prabu Belgeduwel Beh alias Tong Tong Sot alias Kanthong Bolong. Jika dalam legenda, sang Prabu Khantong Bolong bikin dunia pewayangan jadi kacau, Leicester justru membawa keberuntungan. Klub-klub gurem kini sadar bahwa mereka juga punya kans jadi juara.

Sebagian penggemar Leicester mempertaruhkan uangnya untuk Leicester jadi juara. Total ada 128 orang yang memegang taruhannya hingga Leicester menjadi juara. Sisanya sudah tergoda untuk menghentikan taruhannya, dan menikmati imbalan pasti yang lumayan besar namun tidak 5.000 kali. Tercatat jumlah uang taruhan untuk Leicester juara berkisar dari 0,5 hingga 20 poundsterling per orang.

Dalam sejarah industri taruhan, kemenangan 1:5.000 ini adalah yang terbesar sepanjang masa. Sebenarnya fenomena seperti Leicester jadi juara sudah dijelaskan oleh Nassim Nicholas Taleb, pakar keuangan dari New York University dan mantan trader saham di Wall Street. Ia menyebut kejadian yang hampir mustahil tersebut sebagai ”Black Swan.” Istilah ini diambil dari cerita tentang keyakinan bahwa semua angsa berwarna putih. Angsa hitam adalah mustahil.

Orang tidak tahu bahwa di Australia terdapat angsa hitam. Maka, angsa hitam adalah kejadian yang tidak umum (unusual), namun bukan tak mungkin (impossible). Karena probabilitasnya teramat kecil, kejadian angsa hitam sulit diprediksi. Dalam bukunya, The Black Swan: The Impact of Highly Improbable (2007), Nassem Taleb memberi contoh kejadian angsa hitam.

Mulai dari penggunaan internet, komputer pribadi, Perang Dunia I, pecahnya negara Uni Soviet, serangan September 11, market crash di Wall Street 1929, kebangkrutan Lehman Brothers, raksasa keuangan berusia 150 tahun, long term capital management (LTCM), hedge fund terkenal di AS yang dikelola dua pemenang nobel bidang ekonomi. Maka, berhentilah terbelalak melihat fenomena Leicester Dadi Ratu.

Dalam hidup ini, termasuk investasi di bidang apa pun, bermimpilah setinggi-tingginya. Jika kita kukuh dalam usaha keras dan doa, meminjam jargon pelawak Srimulat, Asmuni, ”Tidak ada hil yang mustahal...”
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1079 seconds (0.1#10.140)