Kasus Lion Air dan AirAsia Cermin Budaya Kerja di RI Lemah
A
A
A
JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menilai kasus salah antar penumpang yang dilakukan Lion Air dan AirAsia menjadi cerminan lemahnya budaya kerja di Indonesia (RI). Apalagi, dua insiden tersebut terjadi dalam waktu yang dekat.
Ketua Komite Tetap Kadin, Amir Karamoy mengatakan, di sebuah bandara sejatinya banyak terdiri dari berbagai sektor perusahaan seperti maskapai, jasa bandara (groundhandling), perusahaan makanan (catering), dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selain itu, bandara juga diisi oleh otoritas terkait, seperti imigrasi, bea cukai, kepolisian maupun pemerintah daerah (pemda).
Namun, kejadian serupa bisa terjadi di waktu yang hampir bersamaan. Hal ini, kata dia, menunjukkan bahwa seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) yang ada di bandara sudah tidak memiliki filosofi budaya kerja yang baik.
"Jadi saya melihat ini betul-betul memberikan kesan kepada saya ini jangan-jangan pencerminan lemahnya budaya kerja bangsa kita. Peristiwa yang tadi itu kan terjadi tidak terlalu lama hanya hitungan hari. Ini ada sesuatu yang salah," ujarnya, dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta, Sabtu (21/5/2016).
Menurut Amir, ada arogansi dan kesombongan dari para birokrat dan pengusaha yang ada di sana sehingga menganggap konsumen tidak terlalu penting. Konsumen, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi sehingga bisa diperlakukan seenaknya.
"Misalnya nih, walaupun delay empat jam itu enggak ada tuh orang-orang yang bisa jelaskan kenapa delay. Mereka enggak peduli. Ini harus diubah. Kita enggak bisa lagi mengelola bandara dengan cara kerja seperti itu," imbuhnya.
Mantan Tim Sukses Rachmat Gobel ini menambahkan, pola kerja di bandara harus diubah seperti di perusahaan kebanyakan. Konsumen harus dianggap sebagai raja, karena mereka yang mendatangkan pundi-pundi rupiah.
"Lebih banyak meladeni dengan baik, lebih meningkat kesejahteraan Anda. Saya khawatir sudah tidak ada filosofi seperti itu. Kita tidak punya budaya kerja yang menganggap publik itu stakeholder penting. Artinya, posisi tawar pelanggan, customer, publik, masyarakat itu sangat rendah," tandasnya.
Ketua Komite Tetap Kadin, Amir Karamoy mengatakan, di sebuah bandara sejatinya banyak terdiri dari berbagai sektor perusahaan seperti maskapai, jasa bandara (groundhandling), perusahaan makanan (catering), dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selain itu, bandara juga diisi oleh otoritas terkait, seperti imigrasi, bea cukai, kepolisian maupun pemerintah daerah (pemda).
Namun, kejadian serupa bisa terjadi di waktu yang hampir bersamaan. Hal ini, kata dia, menunjukkan bahwa seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) yang ada di bandara sudah tidak memiliki filosofi budaya kerja yang baik.
"Jadi saya melihat ini betul-betul memberikan kesan kepada saya ini jangan-jangan pencerminan lemahnya budaya kerja bangsa kita. Peristiwa yang tadi itu kan terjadi tidak terlalu lama hanya hitungan hari. Ini ada sesuatu yang salah," ujarnya, dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta, Sabtu (21/5/2016).
Menurut Amir, ada arogansi dan kesombongan dari para birokrat dan pengusaha yang ada di sana sehingga menganggap konsumen tidak terlalu penting. Konsumen, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi sehingga bisa diperlakukan seenaknya.
"Misalnya nih, walaupun delay empat jam itu enggak ada tuh orang-orang yang bisa jelaskan kenapa delay. Mereka enggak peduli. Ini harus diubah. Kita enggak bisa lagi mengelola bandara dengan cara kerja seperti itu," imbuhnya.
Mantan Tim Sukses Rachmat Gobel ini menambahkan, pola kerja di bandara harus diubah seperti di perusahaan kebanyakan. Konsumen harus dianggap sebagai raja, karena mereka yang mendatangkan pundi-pundi rupiah.
"Lebih banyak meladeni dengan baik, lebih meningkat kesejahteraan Anda. Saya khawatir sudah tidak ada filosofi seperti itu. Kita tidak punya budaya kerja yang menganggap publik itu stakeholder penting. Artinya, posisi tawar pelanggan, customer, publik, masyarakat itu sangat rendah," tandasnya.
(dmd)