Ratifikasi FCTC Dinilai Matikan Industri Hasil Tembakau
A
A
A
JAKARTA - Pelaku usaha sektor industri hasil tembakau di Indonesia ramai-ramai menolak wacana agar pemerintah meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Pasalnya, FCTC dinilai sebagai agenda asing untuk mematikan industri hasil tembakau yang menjadi tumpuan penghidupan bagi enam juta masyarakat Indonesia.
Ketua Umum Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI), Djoko Wahyudi menuturkan, salah satu pedoman dalam FCTC adalah melarang penggunaan bahan tambahan dalam rokok, termasuk cengkih. Sedangkan 95% rokok di Indonesia merupakan rokok kretek yang menggunakan cengkih.
"FCTC akan mematikan rokok kretek yang merupakan produk asli Indonesia. Kami berharap dan meminta pemerintah tetap berkomitmen melindungi industri hasil tembakau nasional secara keseluruhan, yang mencakup petani, pekerja, dan pelaku industri," katanya dalam rilis yang diterima Sindonews di Jakarta, Kamis (26/5/2016).
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Soeseno menyebutkan, beberapa ketentuan eksesif lainnya yang diatur dalam pedoman FCTC dan selalu didorong untuk diterapkan oleh negara-negara anggotanya adalah penerapan kemasan polos rokok, larangan menampilkan produk rokok di tempat-tempat penjualan. Selain itu, larangan total kegiatan iklan, promosi, dan sponsor rokok, pembatasan lahan dan pengalihan tanaman tembakau, serta larangan berinteraksi antara pemerintah dan pemangku kepentingan industri tembakau.
"Jika Indonesia meratifikasi FCTC dan kami harus beralih tanam dari tembakau, kesejahteraan sekitar dua juta petani dan pekerja tembakau di seluruh Indonesia terancam. Hingga saat ini tidak ada komoditas lain yang keuntungannya dapat melebihi tembakau. Dan umumnya hanya tembakau yang dapat tumbuh di tanah yang kering semasa musim kemarau," tutur dia.
Menurutnya, negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Swiss, Maroko, dan Argentina bahkan tidak memiliki niat meratifikasi FCTC. Mereka justru menerapkan peraturan negara masing-masing untuk mengatur industri hasil tembakaunya.
Indonesia sendiri telah memiliki peraturan pengendalian tembakau sendiri yaitu Peraturan Pemerintah No.109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Dalam beleid tersebut, telah mencakup pasal terkait perlindungan kesehatan masyarakat sekaligus perlindungan anak dari rokok.
"Bahkan beberapa ketentuan dalam peraturan tersebut sudah lebih ketat dibandingkan dengan FCTC," ungkapnya.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman, Sudarto menambahkan, PP tersebut sejatinya sudah mencakup pasal perlindungan kesehatan masyarakat dan anak. Di saat bersamaan mempertimbangkan kelangsungan industri dan penghidupan jutaan orang yang terlibat di dalamnya dari hulu hingga hilir.
Dia berharap, pemerintah dapat fokus dalam menerapkan peraturan tersebut dan tidak meratifikasi produk hukum asing yang tidak sesuai untuk Indonesia. "Pada dasarnya kami tidak anti regulasi. Karena kami sadar bahwa rokok memiliki risiko kesehatan sehingga produk ini harus diatur," tandasnya.
Ketua Umum Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI), Djoko Wahyudi menuturkan, salah satu pedoman dalam FCTC adalah melarang penggunaan bahan tambahan dalam rokok, termasuk cengkih. Sedangkan 95% rokok di Indonesia merupakan rokok kretek yang menggunakan cengkih.
"FCTC akan mematikan rokok kretek yang merupakan produk asli Indonesia. Kami berharap dan meminta pemerintah tetap berkomitmen melindungi industri hasil tembakau nasional secara keseluruhan, yang mencakup petani, pekerja, dan pelaku industri," katanya dalam rilis yang diterima Sindonews di Jakarta, Kamis (26/5/2016).
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Soeseno menyebutkan, beberapa ketentuan eksesif lainnya yang diatur dalam pedoman FCTC dan selalu didorong untuk diterapkan oleh negara-negara anggotanya adalah penerapan kemasan polos rokok, larangan menampilkan produk rokok di tempat-tempat penjualan. Selain itu, larangan total kegiatan iklan, promosi, dan sponsor rokok, pembatasan lahan dan pengalihan tanaman tembakau, serta larangan berinteraksi antara pemerintah dan pemangku kepentingan industri tembakau.
"Jika Indonesia meratifikasi FCTC dan kami harus beralih tanam dari tembakau, kesejahteraan sekitar dua juta petani dan pekerja tembakau di seluruh Indonesia terancam. Hingga saat ini tidak ada komoditas lain yang keuntungannya dapat melebihi tembakau. Dan umumnya hanya tembakau yang dapat tumbuh di tanah yang kering semasa musim kemarau," tutur dia.
Menurutnya, negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Swiss, Maroko, dan Argentina bahkan tidak memiliki niat meratifikasi FCTC. Mereka justru menerapkan peraturan negara masing-masing untuk mengatur industri hasil tembakaunya.
Indonesia sendiri telah memiliki peraturan pengendalian tembakau sendiri yaitu Peraturan Pemerintah No.109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Dalam beleid tersebut, telah mencakup pasal terkait perlindungan kesehatan masyarakat sekaligus perlindungan anak dari rokok.
"Bahkan beberapa ketentuan dalam peraturan tersebut sudah lebih ketat dibandingkan dengan FCTC," ungkapnya.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman, Sudarto menambahkan, PP tersebut sejatinya sudah mencakup pasal perlindungan kesehatan masyarakat dan anak. Di saat bersamaan mempertimbangkan kelangsungan industri dan penghidupan jutaan orang yang terlibat di dalamnya dari hulu hingga hilir.
Dia berharap, pemerintah dapat fokus dalam menerapkan peraturan tersebut dan tidak meratifikasi produk hukum asing yang tidak sesuai untuk Indonesia. "Pada dasarnya kami tidak anti regulasi. Karena kami sadar bahwa rokok memiliki risiko kesehatan sehingga produk ini harus diatur," tandasnya.
(ven)