Holding BUMN Energi Berdampak Negatif bagi Keuangan PGN
A
A
A
JAKARTA - Rencana PT Pertamina (Persero) mencaplok PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN) dengan skema holding energi bakal berimbas negatif bagi balance sheet atau neraca keuangan PGN.
Analis Pasar Modal dari Samuel Sekuritas Adrianus Bias mengatakan, dampak negatif tersebut disebabkan karena saat ini Pertamina hanya memiliki peringkat utang Baa3 atau level terendah layak investasi (investment grade) versi Moody. Sedangkan peringkat utang PGN ada di AAA (idn) atau kategori stabil.
"Memang akuisisi ini relatif akan memberikan negative impact, karena kondisi sekarang PGAS itu peringkat Nasional Jangka Panjang di 'AAA(idn)' dengan outlook stabil. Kalau PGN berada di bawah Pertamina, yang notabene Pertamina memiliki peringkat utang yang tidak baik, maka PGAS akan terkena impact-nya," terangnya di Jakarta, Selasa (21/6/2016).
Menurutnya, PGN sangat mudah untuk mendapatkan dana dari market seperti berjualan bond. Ke depan, balance sheet perusahaan berkode saham PGAS tersebut akan terpengaruh kondisi keuangan majority shareholder bila Pertamina sebagai induk perusahaan. "Jualan bond PGAS nanti bisa susah kalau outlook utang majority shareholder buruk," katanya.
Adrianus menuturkan, sejauh ini PGAS selalu memberikan setoran dividen ke kas Negara dengan baik dan dalam jumlah besar. Jika nanti PGAS tak lagi menjadi BUMN, maka tidak ada kewajiban setor ke nNegara.
"PGAS itu BUMN kedua non Bank yang bagi dividen besar ke pemerintah. Bagaimana ke depan, kalau dilihat dari makro ekonomi, negara akan kehilangan penerimaan yang lumayan dari proses akuisisi tersebut," ujar dia.
Sementara, Ekonom Dradjad Wibowo mengatakan, rencana pencaplokan PGAS oleh Pertamina harus diketahui DPR. Jangan sampai ada penolakan setelah rencana pemerintah tidak melalui meja DPR. Proses akuisisi pun harus transparan agar publik yang memegang saham PGAS juga mengetahui secara jelas.
"Sisi politiknya jangan diabaikan kalau diblokir di DPR bagaimana? Kemudian DPR melakukan penolakan dan kemudian dilakukan audit oleh BPK. Nah ini bisa jadi kasus berkepanjangan," tuturnya.
Sementara, lanjut Drajad, saham publik di PGN harus jelas dan transparan bagaimana mekanisme pemindahan saham mayoritas milik pemerintah. Di harga berapa dan bagaimana strukturnya. Jika tidak ada transparansi, pemegang saham publik bisa menggugat ke meja pengadilan. "Kalau ada keributan maka pemegang saham publik bisa melakukan gugatan. Ini berbahaya," ucapnya.
Analis Pasar Modal dari Samuel Sekuritas Adrianus Bias mengatakan, dampak negatif tersebut disebabkan karena saat ini Pertamina hanya memiliki peringkat utang Baa3 atau level terendah layak investasi (investment grade) versi Moody. Sedangkan peringkat utang PGN ada di AAA (idn) atau kategori stabil.
"Memang akuisisi ini relatif akan memberikan negative impact, karena kondisi sekarang PGAS itu peringkat Nasional Jangka Panjang di 'AAA(idn)' dengan outlook stabil. Kalau PGN berada di bawah Pertamina, yang notabene Pertamina memiliki peringkat utang yang tidak baik, maka PGAS akan terkena impact-nya," terangnya di Jakarta, Selasa (21/6/2016).
Menurutnya, PGN sangat mudah untuk mendapatkan dana dari market seperti berjualan bond. Ke depan, balance sheet perusahaan berkode saham PGAS tersebut akan terpengaruh kondisi keuangan majority shareholder bila Pertamina sebagai induk perusahaan. "Jualan bond PGAS nanti bisa susah kalau outlook utang majority shareholder buruk," katanya.
Adrianus menuturkan, sejauh ini PGAS selalu memberikan setoran dividen ke kas Negara dengan baik dan dalam jumlah besar. Jika nanti PGAS tak lagi menjadi BUMN, maka tidak ada kewajiban setor ke nNegara.
"PGAS itu BUMN kedua non Bank yang bagi dividen besar ke pemerintah. Bagaimana ke depan, kalau dilihat dari makro ekonomi, negara akan kehilangan penerimaan yang lumayan dari proses akuisisi tersebut," ujar dia.
Sementara, Ekonom Dradjad Wibowo mengatakan, rencana pencaplokan PGAS oleh Pertamina harus diketahui DPR. Jangan sampai ada penolakan setelah rencana pemerintah tidak melalui meja DPR. Proses akuisisi pun harus transparan agar publik yang memegang saham PGAS juga mengetahui secara jelas.
"Sisi politiknya jangan diabaikan kalau diblokir di DPR bagaimana? Kemudian DPR melakukan penolakan dan kemudian dilakukan audit oleh BPK. Nah ini bisa jadi kasus berkepanjangan," tuturnya.
Sementara, lanjut Drajad, saham publik di PGN harus jelas dan transparan bagaimana mekanisme pemindahan saham mayoritas milik pemerintah. Di harga berapa dan bagaimana strukturnya. Jika tidak ada transparansi, pemegang saham publik bisa menggugat ke meja pengadilan. "Kalau ada keributan maka pemegang saham publik bisa melakukan gugatan. Ini berbahaya," ucapnya.
(izz)