Analisis Indef Terkait Penurunan Data Angka Kemiskinan
A
A
A
JAKARTA - Ekonom Indef Dzulfian Syafrian memandang data tingkat kemiskinan pada Maret 2016 cukup aneh. Mengapa? Ketika pertumbuhan ekonomi turun seperti dalam beberapa kuartal terakhir, angka kemiskinan seharusnya merangkak naik.
Menurutnya, dengan asumsi tidak ada kesalahan pengukuran dan data yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), berarti setidaknya ada beberapa penjelasan mengapa fenomena ini terjadi.
"Pertama, orang-orang miskin Indonesia sangat terbantu dengan rendahnya tingkat inflasi selama 2016 ini. Rendahnya inflasi dapat pula diartikan bahwa biaya hidup masyarakat Indonesia relatif rendah pula," ujarnya, Senin (18/7/2016).
Kedua, orang-orang miskin sangat terbantu dengan inflasi yang rendah, khususnya inflasi pangan, karena sebagian besar konsumsi orang miskin hanya habis untuk makanan, khususnya beras. Jadi, salah satu kunci utama pengentasan kemiskinan adalah pengendalian harga-harga bahan makanan, khususnya beras.
Menurutnya, di sini peran penting pemerintah (khususnya Kementan dan Kemendag), serta BI dalam mengontrol agar harga-harga bahan makanan tetap terkendali, guna melindungi kehidupan masyarakat yang pendapatannya berada di sekitar garis kemiskinan.
Ketiga, biasanya tingkat kemiskinan dan pengangguran pada Maret lebih kecil dibanding rilis September karena masih termasuk musim panen. Jadi penyerapan tenaga kerja lebih besar ketimbang September. Alhasil, pendapatan masyarakat akan relatif lebih tinggi pada Maret dibanding September.
"Jika kita lihat tren tahunan, signifikansi pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan angka kemiskinan di Indonesia semakin kecil," katanya.
Hal ini, lanjut dia, disebabkan karena pertumbuhan ekonomi saat ini semakin ditopang oleh sektor-sektor padat modal (capital intensive), sedangkan sektor-sektor padat karya (labour intensive) semakin mengecil kontribusinya bagi perekonomian nasional.
Contoh sektor padat modal itu adalah sektor jasa, sedangkan padat karya itu pertanian. Hal ini terkonfirmasi dari kontribusi pertanian yang terus menurun, sedangkan jasa/services trus mengalami kenaikan.
Struktur perekonomian yang tidak pro terhadap orang kecil seperti ini, wajar jika ketimpangan pendapatan yang diukur melalui koefisien gini di Indonesia terus meningkat karena orang-orang kecil sedikit sekali merasakan manisnya kue pembangunan, di sisi lain orang-orang yang memiliki modal besar terus memperkaya dirinya.
Alhasil, jurang antara si Kaya dan si Miskin di Republik ini semakin lebar. "Ironis, padahal dengan jelas ideologi bangsa kita adalah “Keadilan Sosial” sebagaimana tertera pada sila kelima Pancasila. Ini kah pembangunan ekonomi yang kita inginkan? Saya rasa tidak," pungkasnya.
Menurutnya, dengan asumsi tidak ada kesalahan pengukuran dan data yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), berarti setidaknya ada beberapa penjelasan mengapa fenomena ini terjadi.
"Pertama, orang-orang miskin Indonesia sangat terbantu dengan rendahnya tingkat inflasi selama 2016 ini. Rendahnya inflasi dapat pula diartikan bahwa biaya hidup masyarakat Indonesia relatif rendah pula," ujarnya, Senin (18/7/2016).
Kedua, orang-orang miskin sangat terbantu dengan inflasi yang rendah, khususnya inflasi pangan, karena sebagian besar konsumsi orang miskin hanya habis untuk makanan, khususnya beras. Jadi, salah satu kunci utama pengentasan kemiskinan adalah pengendalian harga-harga bahan makanan, khususnya beras.
Menurutnya, di sini peran penting pemerintah (khususnya Kementan dan Kemendag), serta BI dalam mengontrol agar harga-harga bahan makanan tetap terkendali, guna melindungi kehidupan masyarakat yang pendapatannya berada di sekitar garis kemiskinan.
Ketiga, biasanya tingkat kemiskinan dan pengangguran pada Maret lebih kecil dibanding rilis September karena masih termasuk musim panen. Jadi penyerapan tenaga kerja lebih besar ketimbang September. Alhasil, pendapatan masyarakat akan relatif lebih tinggi pada Maret dibanding September.
"Jika kita lihat tren tahunan, signifikansi pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan angka kemiskinan di Indonesia semakin kecil," katanya.
Hal ini, lanjut dia, disebabkan karena pertumbuhan ekonomi saat ini semakin ditopang oleh sektor-sektor padat modal (capital intensive), sedangkan sektor-sektor padat karya (labour intensive) semakin mengecil kontribusinya bagi perekonomian nasional.
Contoh sektor padat modal itu adalah sektor jasa, sedangkan padat karya itu pertanian. Hal ini terkonfirmasi dari kontribusi pertanian yang terus menurun, sedangkan jasa/services trus mengalami kenaikan.
Struktur perekonomian yang tidak pro terhadap orang kecil seperti ini, wajar jika ketimpangan pendapatan yang diukur melalui koefisien gini di Indonesia terus meningkat karena orang-orang kecil sedikit sekali merasakan manisnya kue pembangunan, di sisi lain orang-orang yang memiliki modal besar terus memperkaya dirinya.
Alhasil, jurang antara si Kaya dan si Miskin di Republik ini semakin lebar. "Ironis, padahal dengan jelas ideologi bangsa kita adalah “Keadilan Sosial” sebagaimana tertera pada sila kelima Pancasila. Ini kah pembangunan ekonomi yang kita inginkan? Saya rasa tidak," pungkasnya.
(dmd)