Kaya di Bumi dan Surga

Senin, 22 Agustus 2016 - 07:14 WIB
Kaya di Bumi dan Surga
Kaya di Bumi dan Surga
A A A
Lukas Setia Atmaja
Financial Expert Prasetiya Mulya Business School

SIAPA orang terkaya di Indonesia saat ini? Keluarga Hartono, pemilik Djarum Group dan Bank BCA. Menurut majalah Forbes, Keluarga Hartono diperkirakan memiliki kekayaan USD15,4 miliar (setara Rp200 triliun).

Kadang saya terpikir, berapa jumlah uang yang harus kita miliki sampai saat kita meninggalkan dunia yang hiruk pikuk ini? Jika ditanya apakah ingin jadi orang kaya, hampir semua orang menjawab "Ya"”.

Bukankah dengan uang kita bisa membeli segalanya? Benarkah demikian? Ingat, ada pepatah mengatakan demikian, seseorang tidak bisa tidur di dua ranjang. Walaupun kita bisa membeli ribuan ranjang, hanya satu ranjang yang bisa ditiduri.

Artinya, uang memiliki keterbatasan dalam membahagiakan seseorang. Warren Buffett ternyata lebih kaya dari Keluarga Hartono. Menurut majalah Forbes, Buffett memiliki USD67 miliar (setara Rp870 triliun). Maka, saya makin tidak bisa membayangkan, bagaimana Buffett memanfaatkan uang sebanyak itu.

Untungnya Buffett sendiri tidak pusing. Ia adalah pribadi yang sederhana dan suka bederma. Sepertiga hartanya sudah didermakan bagi mereka yang kurang beruntung, antara lain melalui Bill and Melinda Gates Foundation.

Maka, ketika kita bicara investasi, seharusnya kita tidak hanya bicara investasi di bumi, tetapi juga di surga. Lantas apa kaitannya dengan investasi saham? Ternyata seorang investor saham bisa memiliki peran untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik.

Ia bisa mencari saham yang memberikan keuntungan bagus (untuk menjadi kaya di bumi), sekaligus mendorong perusahaan tersebut untuk menjalankan bisnis secara bertanggung jawab (untuk mengumpulkan harta di surga). Saya beri sebuah contoh nyata. Seorang sahabat saya pemilik perusahaan yang memasok cenderamata ke sebuah perusahaan hiburan ternama di Amerika bercerita.

Proses produksi perusahaannya secara berkala diaudit perusahaan ternama tersebut, menyangkut aspek-aspek environmental, social dan corporate governance (ESG). Salah satu perubahan yang harus ia lakukan adalah mengubah tempat duduk para karyawan bagian pengecatan cenderamata yang tidak ada sandaran punggungnya.

Secara jangka panjang hal ini dianggap bisa membahayakan kesehatan karyawan. Kepedulian terhadap kesehatan karyawan ini termasuk aspek penting dalam berbisnis. Masyarakat atau investor bisa mengawasi maupun mendorong perusahaan dalam hal penerapan ESG.

Salah satu caranya adalah dengan menerapkan konsep socially responsible investment (SRI), sebuah konsep investasi yang mempunyai tanggung jawab sosial.

Sebuah investasi dianggap socially responsible responsible dilihat dari produk/jasa yang ditawarkan dan cara berbisnis sebuah perusahaan. Socially responsible investor menyukai perusahaan yang menjunjung tinggi good corporate governance dan hak asasi manusia, bersahabat dengan lingkungan, memperhatikan komunitas lokal dan keselamatan produk serta memiliki praktik bisnis yang berkomitmen pada kelangsungan hidup perusahaan.

Perusahaan yang praktik bisnisnya merusak lingkungan dan menyusahkan komunitas lokal, produknya merusak masyarakat serta dikelola dengan prinsip ketidakjujuran bakalan tidak mendapat tempat. Intinya, social responsible investor hanya mau berinvestasi pada perusahaan yang memiliki hati dan perbuatan yang bersih dan mulia.

Investasi yang bertanggung jawab sosial dapat dilakukan melalui investor institusional seperti pengelola reksa dana, dana pensiun dan asuransi, maupun investor retail yang memiliki horizon investasi jangka panjang.

Prinsipnya adalah investor memberikan penghargaan (reward) kepada perusahaan yang dianggap mendukung aspek ESG dalam berbisnis, dan memberikanhukuman (punishment) kepada perusahaan yang tidak mendukung.

Ambil contoh, investor bisa menjalankan fungsi SRI saat proses initial public offering (IPO) dengan menerapkan strategi negative screening. Mereka hanya bersedia membeli saham baru perusahaan yang dianggap menerapkan aspek ESG. Ini akan memengaruhi permintaan atas saham baru perusahaan tersebut, dan kesuksesan IPO perusahaan tersebut. Hal ini berlaku juga di pasar sekunder.

Sikap investor menghindari perusahaan yang tidak menerapkan aspek ESG akan menekan harga saham, dan membuat saham tersebut tidak likuid. Kedua hal ini akan menyulitkan perusahaan publik yang di masa mendatang masih membutuhkan pasar modal sebagai sumber pendanaan ekuitas.

Negative screening bisa dikombinasi dengan strategi positive investing, yakni membeli saham perusahaan yang diyakini memiliki dampak sosial yang positif namun juga memiliki masa depan yang cerah alias sustainable.

Investor di Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat menggunakan indeks harga saham yang mengacu pada tata cara SRI yang diberi nama Indeks SRI-KEHATI. Cukup banyak saham-saham yang masuk indeks SRI-KEHATI dan memiliki kinerja keuangan yang bagus. Saham tidak hanya bicara soal harta di bumi, tetapi juga di surga.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3825 seconds (0.1#10.140)