Ini Kata Pengamat soal BI Revisi Pertumbuhan Ekonomi RI
A
A
A
JAKARTA - Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, salah satu faktor yang melatarbelakangi Bank Indonesia (BI) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dalam negeri adalah ketatnya kebijakan fiskal yang ditandai dengan pemangkasan belanja pemerintah pusat yang berpotensi menghambat investasi publik dari pencairan anggaran pemerintah.
Selain itu, dia juga berfikir BI juga melihat bahwa investasi sektor swasta belum akan cukup signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi meski siklus bisnis menunjukkan beberapa sektor ekonomi menunjukkan tanda tanda pemulihan.
"Sementara, dampak tax amnesty khususnya dari repatriasi aset belum akan terlihat tahun ini sehingga investasi secara keseluruhan khususnya investasi pada sektor riil yang daya dongkraknya pada pertumbuhan ekonomi lebih besar, juga belum akan signifikan," kata Josua, Minggu (21/8/2016).
Dari sisi spasial, ekonomi Indonesia masih akan didominasi perekonomian pulau Jawa yang menjadi pusat industri manufaktur. Sementara, Sumatera dan Kalimantan yang masih mengandalkan komoditas alam seperti gas alam, minyak bumi, CPO dan batu bara diperkirakan masih akan cenderung stagnan seiring belum ada sinyal peningkatan harga komoditas global.
"Namun, ekonomi yang mengandalkan pariwisata seperti Bali dan Nusa Tenggara diperkirkan masih akan tumbuh dengan pace yang cukup tinggi, diikuti ekonomi Kawasan Indonesia Timur (Sulawesi)," paparnya.
Sebelumnya, BI merevisi laju pertumbuhan ekonomi 2016 menjadi kisaran 4,9%-5,3% dari yang sebelumnya sebesar 5%-5,4%. Hal tersebut sebagai indikasi penyesuaian fiskal oleh pemerintah, di mana penghematan belanja pemerintah pada semester II/2016 berpotensi menurunkan pertumbuhan.
"Sehingga, dalam konteks ini BI memandang itu sesuatu yang diperlukan untuk memperbaiki atau mendukung kinerja pertumbuhan ekonomi," kata Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo.
Selain itu, dia juga berfikir BI juga melihat bahwa investasi sektor swasta belum akan cukup signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi meski siklus bisnis menunjukkan beberapa sektor ekonomi menunjukkan tanda tanda pemulihan.
"Sementara, dampak tax amnesty khususnya dari repatriasi aset belum akan terlihat tahun ini sehingga investasi secara keseluruhan khususnya investasi pada sektor riil yang daya dongkraknya pada pertumbuhan ekonomi lebih besar, juga belum akan signifikan," kata Josua, Minggu (21/8/2016).
Dari sisi spasial, ekonomi Indonesia masih akan didominasi perekonomian pulau Jawa yang menjadi pusat industri manufaktur. Sementara, Sumatera dan Kalimantan yang masih mengandalkan komoditas alam seperti gas alam, minyak bumi, CPO dan batu bara diperkirakan masih akan cenderung stagnan seiring belum ada sinyal peningkatan harga komoditas global.
"Namun, ekonomi yang mengandalkan pariwisata seperti Bali dan Nusa Tenggara diperkirkan masih akan tumbuh dengan pace yang cukup tinggi, diikuti ekonomi Kawasan Indonesia Timur (Sulawesi)," paparnya.
Sebelumnya, BI merevisi laju pertumbuhan ekonomi 2016 menjadi kisaran 4,9%-5,3% dari yang sebelumnya sebesar 5%-5,4%. Hal tersebut sebagai indikasi penyesuaian fiskal oleh pemerintah, di mana penghematan belanja pemerintah pada semester II/2016 berpotensi menurunkan pertumbuhan.
"Sehingga, dalam konteks ini BI memandang itu sesuatu yang diperlukan untuk memperbaiki atau mendukung kinerja pertumbuhan ekonomi," kata Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo.
(izz)