Tantangan dan Transformasi Generasi Kedua Perusahaan
A
A
A
TIDAK mudah pemimpin generasi kedua dalam menyinambungkan perusahaan keluarga dari generasi ke generasi. Namun, bukan tidak mungkin generasi kedua melakukan berbagai transformasi dalam menjalankan bisnis keluarga agar berkelanjutan di masa mendatang.
CEO PT Combiphar Michael Wanandi mengatakan, sebelum bertransformasi, Combiphar dikenal sebagai perusahaan obat yang jarang sekali dikenal konsumen Indonesia kecuali obat batuknya. Sejak memimpin perusahaan, dia mempunyai visi agar Combiphar tidak hanya dikenal sebagai perusahaan obat, namun juga perusahaan health care, di mana membantu memberikan edukasi kepada konsumen mengenai tips-tips hidup sehat.
“Impian kami membantu pemerintah Indonesia, bagaimana membangun Indonesia menjadi lebih sehat. Produk yang kita keluarkan lebih banyak berunsur preventif ke depan,” ujarnya, dalam Indonesia Brand Forum (IBF) 2016 yang dilaksanakan di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Rabu (24/8/2016).
Menurutnya, perubahan yang dilakukan oleh generasi kedua menjadi tantangan tersendiri namun yang paling penting adalah menjalin komunikasi yang transparan kepada generasi pertama. “Setiap generasi pertama punya concern apakah generasi selanjutnya bisa membangun bisnis dari generasi pertama,” katanya.
Sementara itu, CEO PT Niramas Utama Erijanto Djadjasudarma mengatakan, dalam menjalankan bisnis selalu berprinsip pada visi perusahaan, yaitu menjadi pemimpin jajanan sehat untuk Indonesia. “Jadi kita membuat makanan yang sehat untuk generasi berikutnya dan kita sudah tanamkan itu sebagai visi kita ke depan,” ungkapnya.
Erijanto menuturkan, visi tersebut ditanamkan dalam transformasi perusahaan, di mana dari hanya sekadar perusahaan keluarga menjadi perusahaan yang profesional. “Tentunya kita harus mempunyai identitas sendiri. Kita berharap generasi berikutnya sudah semakin kuat secara profesional,” imbuhnya.
Di sisi lain, CEO Sintesa Group Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, setelah 10 tahun bekerja di perusahaan keluarga, dirinya merasa perlu melakukan transformasi terhadap perusahaan yang dipimpin oleh ayahnya meski harus melalui proses panjang.
“Transformasi ini perlu saya lakukan. Kelompok usaha perlu suatu konsolidasi, sektor apa yang digeluti. Makanya kami fokus pada empat pilar,” katanya.
Sementara Vice Chief Executive Officer PT Pan Brothers Tbk, Anne Patricia Sutanto menuturkan, generasi kedua harus memastikan apakah sudah sesuai passion dalam menjalankan bisnis keluarga. “Karena apa yang disukai orang tua belum tentu disukai generasi kedua. Itu tantangan pertama. Kedua, selain mengerti nilai atau value dari bisnis ayahnya, generasi kedua juga perlu maintain company ini menuju era yang berbeda,” ungkapnya.
Menurut Anne, generasi kedua harus mempunyai pola pikir yang berbeda karena memasuki era yang berbeda dengan sebelumnya. Karena itu, dia mempunyai visi menjadikan perusahaannya nomor satu di bisnis pakaian.
“Selain itu, integritas, passion, attitude positif, komitmen, itu harus punya. Kalau tidak, tantangan itu enggak akan bisa dilalui,” terangnya.
Di sisi lain, Direktur Utama PT Martina Berto Tbk Bryan Tilaar mengatakan, generasi kedua memang menikmati hasil dari generasi pertama. Meski demikian, bukan berarti generasi kedua tidak menjalankan bisnis perusahaan dengan baik.
Menurutnya, tantangan dalam bisnis keluarga adalah bagaimana bisa mengembangkan bisnis supaya tumbuh lebih baik ke depan. Selain itu, antar keluarga harus berkolaborasi menjadi tim yang solid. “Jadi harus diputuskan bersama-sama untuk kebijakan yang strategis,” katanya.
Sementara itu, CEO PT Dwi Sapta Pratama Advertising, Maya Carolina Watono menyebutkan, generasi kedua sering kali mendapatkan tekanan untuk membuat perusahaan itu lebih baik dari sebelumnya. “Generasi kedua mengembangkan apa yang sudah dibangun generasi pertama. Itu menjadi tantangan tapi tinggal bagaimana kita menyikapi sebagai pressure atau challenge yang memotivasi kita menjadi lebih baik,” terangnya.
Maya menambahkan, untuk mengembangkan perusahaan yang dipimpinnya perlu dilakukan transformasi. “Dalam meneruskan perusahaan, nilai-nilai yang ditanamkan dari ayah, saya ambil dan ikuti sesuai zamannya. Selain itu, karena kami menjual ide dan servis, maka kami menginvestasi sumber daya manusia,” jelasnya.
CEO PT Combiphar Michael Wanandi mengatakan, sebelum bertransformasi, Combiphar dikenal sebagai perusahaan obat yang jarang sekali dikenal konsumen Indonesia kecuali obat batuknya. Sejak memimpin perusahaan, dia mempunyai visi agar Combiphar tidak hanya dikenal sebagai perusahaan obat, namun juga perusahaan health care, di mana membantu memberikan edukasi kepada konsumen mengenai tips-tips hidup sehat.
“Impian kami membantu pemerintah Indonesia, bagaimana membangun Indonesia menjadi lebih sehat. Produk yang kita keluarkan lebih banyak berunsur preventif ke depan,” ujarnya, dalam Indonesia Brand Forum (IBF) 2016 yang dilaksanakan di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Rabu (24/8/2016).
Menurutnya, perubahan yang dilakukan oleh generasi kedua menjadi tantangan tersendiri namun yang paling penting adalah menjalin komunikasi yang transparan kepada generasi pertama. “Setiap generasi pertama punya concern apakah generasi selanjutnya bisa membangun bisnis dari generasi pertama,” katanya.
Sementara itu, CEO PT Niramas Utama Erijanto Djadjasudarma mengatakan, dalam menjalankan bisnis selalu berprinsip pada visi perusahaan, yaitu menjadi pemimpin jajanan sehat untuk Indonesia. “Jadi kita membuat makanan yang sehat untuk generasi berikutnya dan kita sudah tanamkan itu sebagai visi kita ke depan,” ungkapnya.
Erijanto menuturkan, visi tersebut ditanamkan dalam transformasi perusahaan, di mana dari hanya sekadar perusahaan keluarga menjadi perusahaan yang profesional. “Tentunya kita harus mempunyai identitas sendiri. Kita berharap generasi berikutnya sudah semakin kuat secara profesional,” imbuhnya.
Di sisi lain, CEO Sintesa Group Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, setelah 10 tahun bekerja di perusahaan keluarga, dirinya merasa perlu melakukan transformasi terhadap perusahaan yang dipimpin oleh ayahnya meski harus melalui proses panjang.
“Transformasi ini perlu saya lakukan. Kelompok usaha perlu suatu konsolidasi, sektor apa yang digeluti. Makanya kami fokus pada empat pilar,” katanya.
Sementara Vice Chief Executive Officer PT Pan Brothers Tbk, Anne Patricia Sutanto menuturkan, generasi kedua harus memastikan apakah sudah sesuai passion dalam menjalankan bisnis keluarga. “Karena apa yang disukai orang tua belum tentu disukai generasi kedua. Itu tantangan pertama. Kedua, selain mengerti nilai atau value dari bisnis ayahnya, generasi kedua juga perlu maintain company ini menuju era yang berbeda,” ungkapnya.
Menurut Anne, generasi kedua harus mempunyai pola pikir yang berbeda karena memasuki era yang berbeda dengan sebelumnya. Karena itu, dia mempunyai visi menjadikan perusahaannya nomor satu di bisnis pakaian.
“Selain itu, integritas, passion, attitude positif, komitmen, itu harus punya. Kalau tidak, tantangan itu enggak akan bisa dilalui,” terangnya.
Di sisi lain, Direktur Utama PT Martina Berto Tbk Bryan Tilaar mengatakan, generasi kedua memang menikmati hasil dari generasi pertama. Meski demikian, bukan berarti generasi kedua tidak menjalankan bisnis perusahaan dengan baik.
Menurutnya, tantangan dalam bisnis keluarga adalah bagaimana bisa mengembangkan bisnis supaya tumbuh lebih baik ke depan. Selain itu, antar keluarga harus berkolaborasi menjadi tim yang solid. “Jadi harus diputuskan bersama-sama untuk kebijakan yang strategis,” katanya.
Sementara itu, CEO PT Dwi Sapta Pratama Advertising, Maya Carolina Watono menyebutkan, generasi kedua sering kali mendapatkan tekanan untuk membuat perusahaan itu lebih baik dari sebelumnya. “Generasi kedua mengembangkan apa yang sudah dibangun generasi pertama. Itu menjadi tantangan tapi tinggal bagaimana kita menyikapi sebagai pressure atau challenge yang memotivasi kita menjadi lebih baik,” terangnya.
Maya menambahkan, untuk mengembangkan perusahaan yang dipimpinnya perlu dilakukan transformasi. “Dalam meneruskan perusahaan, nilai-nilai yang ditanamkan dari ayah, saya ambil dan ikuti sesuai zamannya. Selain itu, karena kami menjual ide dan servis, maka kami menginvestasi sumber daya manusia,” jelasnya.
(dmd)