Pertumbuhan Seret, Perbarindo Rangkul Empat Perusahaan
A
A
A
YOGYAKARTA - Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) melakukan penandatanganan nota Kesepahaman (MoU) dengan PT Bank Mandiri Tbk, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Asuransi Kredit Indonesia dan PT Veda Praxis. Penandatanganan ini untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat.
Ketua Umum Perbarindo Joko Suyanto mengatakan, BPR di seluruh Indonesia termasuk BPRS sedang menghadapi situasi dan kondisi ekonomi sulit. Di tengah kondisi makro ekonomi sulit 2015 hingga 2016, persaingan lembaga keuangan semakin ketat.
Akibatnya, BPR mengalami kesulitan meningkatkan pertumbuhan bisnis dibanding tahun-tahun sebelumnya.
"Saat ini, sangat sulit untuk mengejar pertumbuhan seperti sebelum 2015," tuturnya saat penandatangan MOu di Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta, Kamis (25/8/2016).
Dia mengakui, pertumbuhan BPR dua tahun terakhir memang sulit. Sebelum 2015 pertumbuhan BPR masih mampu double digit. Namun, sejak 2015 hingga pertengahan 2016, pertumbuhan BPR melambat, hanya di angka singgle digit, dan hingga pertengahan Agustus 2016 pertumbuhan BPR hanya 8,2% dan akhir tahun lalu 9,7%.
Memang, lanjut dia, indikator perlambatan sudah banyak terlihat sejak akhir 2014. Kualitas BPR sudah mulai terasa seret, seperti terlihat dari angka gross Net Performance Loan (NPL) di angka 4%-5% gross. Dan akhir tahun lalu angka NPL BPR menyentuh level 6%.
Hal tersebut menunjukkan secara makro prudential isu nasional berpengaruh pada perkembangan industri keuangan khususnya BPR. "Kita mencoba memecahkan masalah kelangsungan hidup BPR," ujarnya.
Menurutnya, BPR didirikan pada 1989-2000 selalu bersanding dengan rakyat. Karena regulasi saat itu memungkinkan hanya di ibu kota, kecamatan. Bahkan BPR bisa didirikan dengan modal kecil hanya Rp50 juta.
Mandat pendirian untuk mensejahterakan masyarakat, maka BPR harus bisa memberdayakan masyarakat yang menginginkan pelayanan keuangan yang cepat tetapi dengan akuntabilitas terjaga.
Karena itu, tandas Joko, BPR harus membuat terobosan untuk menyikapi perubahan. Apalagi saat ini, masyarakat sekarang sudah banyak yang berubah. 1.640 BPR dan 150 BPRS harus berubah mengikuti tuntutan masyarakat.
Atas dasar itu, mau tidak mau maka BPR harus berubah dan melakukan perubahan agar dipercaya masyarakat di tengah dinamika industri lembaga keuangan yang terjadi belakangan ini. "Kalau tidak berubah mengikuti perkembangan dan perubahan masyarakat maka akan ditinggalkan," tuturnya.
Ketua Perbarindo DIY Ascar Setiyono mengatakan, Perbarindo pusat sudah membukakan pintu kerja sama dengan pihak lain. Maka, Perbarindo juga harus mengikuti jejak kerja sama tersebut.
Dia mengatakan, anggota Perbarindo DIY harus menyesuaikan kerja sama tersebut. Meski ia mengakui jika tidak semua BPR di DIY masih belum memenuhinya. "Kemampuan BPR di DIY itu bermacam-macam," ujarnya.
Ketua Umum Perbarindo Joko Suyanto mengatakan, BPR di seluruh Indonesia termasuk BPRS sedang menghadapi situasi dan kondisi ekonomi sulit. Di tengah kondisi makro ekonomi sulit 2015 hingga 2016, persaingan lembaga keuangan semakin ketat.
Akibatnya, BPR mengalami kesulitan meningkatkan pertumbuhan bisnis dibanding tahun-tahun sebelumnya.
"Saat ini, sangat sulit untuk mengejar pertumbuhan seperti sebelum 2015," tuturnya saat penandatangan MOu di Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta, Kamis (25/8/2016).
Dia mengakui, pertumbuhan BPR dua tahun terakhir memang sulit. Sebelum 2015 pertumbuhan BPR masih mampu double digit. Namun, sejak 2015 hingga pertengahan 2016, pertumbuhan BPR melambat, hanya di angka singgle digit, dan hingga pertengahan Agustus 2016 pertumbuhan BPR hanya 8,2% dan akhir tahun lalu 9,7%.
Memang, lanjut dia, indikator perlambatan sudah banyak terlihat sejak akhir 2014. Kualitas BPR sudah mulai terasa seret, seperti terlihat dari angka gross Net Performance Loan (NPL) di angka 4%-5% gross. Dan akhir tahun lalu angka NPL BPR menyentuh level 6%.
Hal tersebut menunjukkan secara makro prudential isu nasional berpengaruh pada perkembangan industri keuangan khususnya BPR. "Kita mencoba memecahkan masalah kelangsungan hidup BPR," ujarnya.
Menurutnya, BPR didirikan pada 1989-2000 selalu bersanding dengan rakyat. Karena regulasi saat itu memungkinkan hanya di ibu kota, kecamatan. Bahkan BPR bisa didirikan dengan modal kecil hanya Rp50 juta.
Mandat pendirian untuk mensejahterakan masyarakat, maka BPR harus bisa memberdayakan masyarakat yang menginginkan pelayanan keuangan yang cepat tetapi dengan akuntabilitas terjaga.
Karena itu, tandas Joko, BPR harus membuat terobosan untuk menyikapi perubahan. Apalagi saat ini, masyarakat sekarang sudah banyak yang berubah. 1.640 BPR dan 150 BPRS harus berubah mengikuti tuntutan masyarakat.
Atas dasar itu, mau tidak mau maka BPR harus berubah dan melakukan perubahan agar dipercaya masyarakat di tengah dinamika industri lembaga keuangan yang terjadi belakangan ini. "Kalau tidak berubah mengikuti perkembangan dan perubahan masyarakat maka akan ditinggalkan," tuturnya.
Ketua Perbarindo DIY Ascar Setiyono mengatakan, Perbarindo pusat sudah membukakan pintu kerja sama dengan pihak lain. Maka, Perbarindo juga harus mengikuti jejak kerja sama tersebut.
Dia mengatakan, anggota Perbarindo DIY harus menyesuaikan kerja sama tersebut. Meski ia mengakui jika tidak semua BPR di DIY masih belum memenuhinya. "Kemampuan BPR di DIY itu bermacam-macam," ujarnya.
(izz)