Megaproyek Listrik 35.000 MW Diperkirakan Meleset
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahaean mengatakan target Pemerintahan Jokowi mengoperasikan megaproyek listrik 35.000 MW, bakal meleset dari jadwal semula, yaitu tahun 2019.
Salah satu penyebabnya, imbuh Ferdinand, adalah pola PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dalam mencari investor atau pengembang. Selama ini, PLN selalu mempergunakan pola pra kualifikasi dalam mencari pengembang sehingga membutuhkan waktu sangat lama.
Seharusnya menggunakan pola beauty contest yang lebih singkat namun tetap efektif dalam menjaga kualitas pemenang. Kondisi tersebut, imbuhnya, diperparah dengan kualitas dan kemampuan tim kerja yang dimiliki PLN. Seperti membuat dokumen data tender saja perlu waktu sangat lama, sekitar 2-3 tahun.
"PLN sebagai eksekutor tidak melakukan pola-pola yang menurut kami tidak akan mampu memenuhi target 35 ribu MW,” kata dia dalam keterangan yang diterima Sindonews, Jakarta, Rabu (31/8/2016).
Beberapa contoh kegagalan PLN itu sendiri, bisa dilihat dari beberapa proyek yang ada. Yang gagal tender misalnya PLTU Jawa 5 (2.000 MW), PLTU Sumsel 9 (1.200 MW) dan Sumsel 10 (600 MW), PLTMG Pontianak (100 MW), serta PLTG Scattered (180 MW). Sedangkan PLTU Jawa 7 (1.200 MW) dihadang isu GCG, yaitu pelanggaran proses tender, dimana saat penawaran, pemenang tidak memasukkan harga EPC.
Sementara yang mengalami penundaan adalah PLTGU Riau (250 MW), PLTGU Jawa Bali 3 (500 MW), dan PLTGU Jawa 1 (1.600 MW). Untuk proyek PLTGU Jawa 1, PLN telah melakukan perpanjangan jadwal bid submission dua kali. Yaitu 5 Mei 2016 menjadi 25 Juli 2016 dan kemudian menjadi 25 Agustus 2016.
Pengamat kebijakan energi Institut Teknologi Bandung (ITB) Agung Wicaksono juga memastikan, akibat carut marut tersebut, megaproyek pembangkit 35.000 MW tidak akan tercapai. Paling tidak terdapat 12 ribu MW pembangkit yang tidak akan tepat waktu. Hal itu terjadi, antara lain karena pengadaan yang tidak terencana dengan baik.
“Misalnya ada lelang yang tiba-tiba dibatalkan padahal prosesnya sudah memakan waktu sangat lama,” kata Agung yang juga mantan Wakil Ketua Unit Pelaksana Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional (UKP3N) Kementerian ESDM.
Kegagalan dalam lelang tentu berdampak luas. Pasalnya, urai Agung, pada proyek ini sebenarnya terdapat dua jenis fase yang berbeda karakteristiknya. Pertama adalah pekerjaan yang fasenya bisa pendek, yaitu fase pelelangan dan fase perizinan. Dan, kedua adalah pekerjaan yang fasenya sudah pasti, yaitu fase konstruksi. Misalnya untuk membangun PLTU sudah pasti membutuhkan waktu minimal 40 bulan, sedangkan PLTG mungkin lebih cepat yaitu satu tahun.
“Jadi kalau untuk fase pelelangan saja ternyata sudah sangat terlambat seperti sekarang akibatnya semua proyek akan terlambat,” kata Agung.
Dari berbagai ketidakmampuan PLN itulah maka menurut Agung sangat aneh, ketika tiba-tiba PLN justru ingin mengakuisisi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE).
“Lebih baik PLN fokus pada tugas pokoknya. Juga fokus pada transmisi, distribusi, atau juga fokus pada transformasi perusahaan agar lebih fokus pada pelanggan,” katanya.
Salah satu penyebabnya, imbuh Ferdinand, adalah pola PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dalam mencari investor atau pengembang. Selama ini, PLN selalu mempergunakan pola pra kualifikasi dalam mencari pengembang sehingga membutuhkan waktu sangat lama.
Seharusnya menggunakan pola beauty contest yang lebih singkat namun tetap efektif dalam menjaga kualitas pemenang. Kondisi tersebut, imbuhnya, diperparah dengan kualitas dan kemampuan tim kerja yang dimiliki PLN. Seperti membuat dokumen data tender saja perlu waktu sangat lama, sekitar 2-3 tahun.
"PLN sebagai eksekutor tidak melakukan pola-pola yang menurut kami tidak akan mampu memenuhi target 35 ribu MW,” kata dia dalam keterangan yang diterima Sindonews, Jakarta, Rabu (31/8/2016).
Beberapa contoh kegagalan PLN itu sendiri, bisa dilihat dari beberapa proyek yang ada. Yang gagal tender misalnya PLTU Jawa 5 (2.000 MW), PLTU Sumsel 9 (1.200 MW) dan Sumsel 10 (600 MW), PLTMG Pontianak (100 MW), serta PLTG Scattered (180 MW). Sedangkan PLTU Jawa 7 (1.200 MW) dihadang isu GCG, yaitu pelanggaran proses tender, dimana saat penawaran, pemenang tidak memasukkan harga EPC.
Sementara yang mengalami penundaan adalah PLTGU Riau (250 MW), PLTGU Jawa Bali 3 (500 MW), dan PLTGU Jawa 1 (1.600 MW). Untuk proyek PLTGU Jawa 1, PLN telah melakukan perpanjangan jadwal bid submission dua kali. Yaitu 5 Mei 2016 menjadi 25 Juli 2016 dan kemudian menjadi 25 Agustus 2016.
Pengamat kebijakan energi Institut Teknologi Bandung (ITB) Agung Wicaksono juga memastikan, akibat carut marut tersebut, megaproyek pembangkit 35.000 MW tidak akan tercapai. Paling tidak terdapat 12 ribu MW pembangkit yang tidak akan tepat waktu. Hal itu terjadi, antara lain karena pengadaan yang tidak terencana dengan baik.
“Misalnya ada lelang yang tiba-tiba dibatalkan padahal prosesnya sudah memakan waktu sangat lama,” kata Agung yang juga mantan Wakil Ketua Unit Pelaksana Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional (UKP3N) Kementerian ESDM.
Kegagalan dalam lelang tentu berdampak luas. Pasalnya, urai Agung, pada proyek ini sebenarnya terdapat dua jenis fase yang berbeda karakteristiknya. Pertama adalah pekerjaan yang fasenya bisa pendek, yaitu fase pelelangan dan fase perizinan. Dan, kedua adalah pekerjaan yang fasenya sudah pasti, yaitu fase konstruksi. Misalnya untuk membangun PLTU sudah pasti membutuhkan waktu minimal 40 bulan, sedangkan PLTG mungkin lebih cepat yaitu satu tahun.
“Jadi kalau untuk fase pelelangan saja ternyata sudah sangat terlambat seperti sekarang akibatnya semua proyek akan terlambat,” kata Agung.
Dari berbagai ketidakmampuan PLN itulah maka menurut Agung sangat aneh, ketika tiba-tiba PLN justru ingin mengakuisisi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE).
“Lebih baik PLN fokus pada tugas pokoknya. Juga fokus pada transmisi, distribusi, atau juga fokus pada transformasi perusahaan agar lebih fokus pada pelanggan,” katanya.
(ven)