Nilai Ekspor Yogyakarta Anjlok
A
A
A
YOGYAKARTA - Nilai ekspor di Daerah Istimewa Yogyakarta selama bulan Juli 2016 anjlok. Dibanding dengan bulan sebelumnya, nilai ekspor Yogyakarta turun sekitar 50,74%. Bulan Juli 2016 lalu, nilai ekspor Yogyakarta ke sejumlah negara mencapai USD16.920.622.
Padahal bulan sebelumnya yaitu bulan Juni, jumlah ekpsor Yogyakarta mencapai angka USD34.351.055. Namun dibanding tahun sebelumnya secara kumulatif dari bulan Januari-Juli naik sekitar 0,48%.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta, Bambang Kristiawan mengungkapkan, anjloknya nilai ekspor di Yogyakarta tersebut imbas dari penurunan ekspor ke sejumlah negara. BPS mencatat, penurunan ekspor terjadi di delapan dari 10 negara. Penurunan ekspor di delapan negara tersebut cukup drastis dengan rata-rata penurunan mencapai 50%.
Dan hanya dua negara yang menunjukkan nilai ekspor Yogyakarta mengalami peningkatan. "Ekspor Yogyakarta yang naik hanya ke Perancis dan Singapura," paparnya, Selasa (6/9/2016).
BPS mencatat, nilai ekspor Yogyakarta ke Singapura mengalami kenaikan sebesar 53,35%. Bulan Juni 2016 lalu, BPS mencatat nilai ekspor ke Singapura mencapai USD428.041. Dan bulan Juli naik menjadi USD 656.413. Ekspor ke negara Perancis juga mengalami kenaikan sebesar 29,1 % dari USD729.323 naik menjadi USD941.527.
Meski turun, tiga besar nilai ekspor Yogyakarta adalah Amerika Serikat, Jerman disusul Jepang. Nilai ekspor ke Amerika Serikat selama bulan Juni mencapai USD13.866.744. Dan bulan Juli turun drastis menjadi USD6.426.136 atau anjlok sekitar 37,98%. Ekspor ke Jerman selama Juli 2016 sebesar USD2.238.736 atau turun sekitar 13,98 % dari bulan sebelumnya yang mencapai USD4.504.661.
Ekspor ke Jepang selama Juni 2016 mencapai USD3.031.503, namun turun di bulan Juli menjadi USD1.307.796 atau menurun sekitar 7,73 % dibanding bulan sebelumnya. Penurunan lain juga terjadi pada ekspor ke Korea Selatan, Australia, Belanda, Inggris dan Kanada.
"Penurunan terendah adalah ekspor ke Kanada, turun sekitar 1,6%. Tetapi ekspor ke Kanada juga terendah karena hanya mencapai USD270.469 selama Juli 2016 kemarin," paparnya.
Bambang menyebutkan, komoditas utama ekspor Yogyakarta masih produk pakaian jadi. BPS mencatat nilai ekspor produk pakaian jadi bukan rajutan selama bulan Juli 2016 menyumbang sebesar 39,23% dari seluruh ekspor wilayah ini. Selanjutnya perabot dan penerangan rumah yang mencapai komposisi 9,58%. Dan komposisi terbesar ketiga ekspor Yogyakarta adalah barang-barang dari kulit yang mencapai 7,25%.
Perubahan nilai ekspor menurut komoditas pada bulan Juli 2016 dibandingkan Juni 2016 menunjukkan penurunan sebesar 50,74%. Dari 10 komoditas utama, enam komoditas mengalami penurunan. Tiga komoditas dengan penurunan terbesar adalah barang-barang rajutan yang turun sebesar 79,03%, perabot dan penerangan rumah turun sebesar 62,62% dan pakaian jadi bukan rajutan sebesar 54,93%.
"Dari sepuluh komoditas utama, komoditas terendah adalah mesin dan peralatan listrik. Hanya 2,37%," sambungnya.
Ketua Dewan Pengurus Daerah Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan (HIMKI) Yogyakarta, Timbul Raharja mengakui ekspor kini tengah mengalami masa sulit. Di samping karena kondisi ekonomi global yang belum pulih, kondisi di dalam negeri juga belum banyak berpihak kepada eksportir.
Salah satu yang mereka rasakan adalah beban pajak yang dikenakan pemerintah kepada pengusaha eksportir masih cukup banyak. "Kami memohon agar pemerintah memikirkan hal tersebut," tandasnya.
Padahal bulan sebelumnya yaitu bulan Juni, jumlah ekpsor Yogyakarta mencapai angka USD34.351.055. Namun dibanding tahun sebelumnya secara kumulatif dari bulan Januari-Juli naik sekitar 0,48%.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta, Bambang Kristiawan mengungkapkan, anjloknya nilai ekspor di Yogyakarta tersebut imbas dari penurunan ekspor ke sejumlah negara. BPS mencatat, penurunan ekspor terjadi di delapan dari 10 negara. Penurunan ekspor di delapan negara tersebut cukup drastis dengan rata-rata penurunan mencapai 50%.
Dan hanya dua negara yang menunjukkan nilai ekspor Yogyakarta mengalami peningkatan. "Ekspor Yogyakarta yang naik hanya ke Perancis dan Singapura," paparnya, Selasa (6/9/2016).
BPS mencatat, nilai ekspor Yogyakarta ke Singapura mengalami kenaikan sebesar 53,35%. Bulan Juni 2016 lalu, BPS mencatat nilai ekspor ke Singapura mencapai USD428.041. Dan bulan Juli naik menjadi USD 656.413. Ekspor ke negara Perancis juga mengalami kenaikan sebesar 29,1 % dari USD729.323 naik menjadi USD941.527.
Meski turun, tiga besar nilai ekspor Yogyakarta adalah Amerika Serikat, Jerman disusul Jepang. Nilai ekspor ke Amerika Serikat selama bulan Juni mencapai USD13.866.744. Dan bulan Juli turun drastis menjadi USD6.426.136 atau anjlok sekitar 37,98%. Ekspor ke Jerman selama Juli 2016 sebesar USD2.238.736 atau turun sekitar 13,98 % dari bulan sebelumnya yang mencapai USD4.504.661.
Ekspor ke Jepang selama Juni 2016 mencapai USD3.031.503, namun turun di bulan Juli menjadi USD1.307.796 atau menurun sekitar 7,73 % dibanding bulan sebelumnya. Penurunan lain juga terjadi pada ekspor ke Korea Selatan, Australia, Belanda, Inggris dan Kanada.
"Penurunan terendah adalah ekspor ke Kanada, turun sekitar 1,6%. Tetapi ekspor ke Kanada juga terendah karena hanya mencapai USD270.469 selama Juli 2016 kemarin," paparnya.
Bambang menyebutkan, komoditas utama ekspor Yogyakarta masih produk pakaian jadi. BPS mencatat nilai ekspor produk pakaian jadi bukan rajutan selama bulan Juli 2016 menyumbang sebesar 39,23% dari seluruh ekspor wilayah ini. Selanjutnya perabot dan penerangan rumah yang mencapai komposisi 9,58%. Dan komposisi terbesar ketiga ekspor Yogyakarta adalah barang-barang dari kulit yang mencapai 7,25%.
Perubahan nilai ekspor menurut komoditas pada bulan Juli 2016 dibandingkan Juni 2016 menunjukkan penurunan sebesar 50,74%. Dari 10 komoditas utama, enam komoditas mengalami penurunan. Tiga komoditas dengan penurunan terbesar adalah barang-barang rajutan yang turun sebesar 79,03%, perabot dan penerangan rumah turun sebesar 62,62% dan pakaian jadi bukan rajutan sebesar 54,93%.
"Dari sepuluh komoditas utama, komoditas terendah adalah mesin dan peralatan listrik. Hanya 2,37%," sambungnya.
Ketua Dewan Pengurus Daerah Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan (HIMKI) Yogyakarta, Timbul Raharja mengakui ekspor kini tengah mengalami masa sulit. Di samping karena kondisi ekonomi global yang belum pulih, kondisi di dalam negeri juga belum banyak berpihak kepada eksportir.
Salah satu yang mereka rasakan adalah beban pajak yang dikenakan pemerintah kepada pengusaha eksportir masih cukup banyak. "Kami memohon agar pemerintah memikirkan hal tersebut," tandasnya.
(ven)