Sudirman Said: Indonesia Masih Terjebak Ketergantungan Impor
A
A
A
JAKARTA - Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menilai penyakit Indonesia yang masih tergantung impor belum sembuh. Bahkan kata dia, Indonesia kini terjebak terhadap ketergantungan impor yang begitu besar. Alhasil kecanduan ini menggerus kapasitas nasional.
Dia pun mencontohkan soal kesenjangan antara kebutuhan minyak dan gas di Tanah Air yang demikian besar. Ketergantungan impor migas ini membuat produksi migas di dalam negeri kian hari kian tergerus.
Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia mencapai 1,5 juta barel per hari (bph). Namun produksi migas di dalam negeri hanya mampu sebesar 800 bph.
"Energi makin hari kesenjangannya semakin lebar. Betapa seringnya kita terperangkap pada cara pandang dan sikap kerja yang gampang. Kalau kurang ya impor saja," katanya dalam Forum Diskusi Ketahaan Energi untuk Masa Depan Indonesia di Jakarta, Sabtu (24/9/2016).
Baca: Mantan Menteri ESDM Sudirman Said Kembali Muncul
Tak hanya itu, sambung mantan Bos PT Pindad (Persero) ini, pada 10 tahun pemerintahan Susilo bambang Yudhoyono (SBY), pemerintah telah menghabiskan Rp100 triliun untuk mengimpor alat utama sistem persenjataan (alutsista). Namun hanya sekitar Rp20 triliun belanja alutsista tersebut yang masuk ke industri dalam negeri.
"Artinya Rp80 triliun pergi keluar. Artinya lagi memang daya mampu kita itu sangat rendah dan ketergantungan pada impor dan kapasitas luar sangat tinggi," imbuh dia.
Menurutnya, secanggih-canggihnya senjata yang diimpor dari luar negeri, namun akan terlihat biasa saja lantaran tidak diproduksi di dalam negeri. Sementara, meskipun senjata yang diproduksi di dalam negeri tidak terlalu canggih, namun akan terlihat luar biasa karena diikuti dengan pembangunan kapasitas nasional (national capacity).
"Betapa seringnya kita terperangkap pada cara pandang dan sikap kerja yang gampang. Kalau kurang impor saja, kan lebih murah. Tapi sebetulnya kita sedang membunuh national capacity," tandasnya.
Dia pun mencontohkan soal kesenjangan antara kebutuhan minyak dan gas di Tanah Air yang demikian besar. Ketergantungan impor migas ini membuat produksi migas di dalam negeri kian hari kian tergerus.
Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia mencapai 1,5 juta barel per hari (bph). Namun produksi migas di dalam negeri hanya mampu sebesar 800 bph.
"Energi makin hari kesenjangannya semakin lebar. Betapa seringnya kita terperangkap pada cara pandang dan sikap kerja yang gampang. Kalau kurang ya impor saja," katanya dalam Forum Diskusi Ketahaan Energi untuk Masa Depan Indonesia di Jakarta, Sabtu (24/9/2016).
Baca: Mantan Menteri ESDM Sudirman Said Kembali Muncul
Tak hanya itu, sambung mantan Bos PT Pindad (Persero) ini, pada 10 tahun pemerintahan Susilo bambang Yudhoyono (SBY), pemerintah telah menghabiskan Rp100 triliun untuk mengimpor alat utama sistem persenjataan (alutsista). Namun hanya sekitar Rp20 triliun belanja alutsista tersebut yang masuk ke industri dalam negeri.
"Artinya Rp80 triliun pergi keluar. Artinya lagi memang daya mampu kita itu sangat rendah dan ketergantungan pada impor dan kapasitas luar sangat tinggi," imbuh dia.
Menurutnya, secanggih-canggihnya senjata yang diimpor dari luar negeri, namun akan terlihat biasa saja lantaran tidak diproduksi di dalam negeri. Sementara, meskipun senjata yang diproduksi di dalam negeri tidak terlalu canggih, namun akan terlihat luar biasa karena diikuti dengan pembangunan kapasitas nasional (national capacity).
"Betapa seringnya kita terperangkap pada cara pandang dan sikap kerja yang gampang. Kalau kurang impor saja, kan lebih murah. Tapi sebetulnya kita sedang membunuh national capacity," tandasnya.
(ven)