Perpanjangan Ekspor Konsentrat Disebut Bencana bagi Investasi
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan Pelaksana tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan yang memperpanjang relaksasi atau memberikan kelonggaran ekspor konsentrat (mineral mentah) dinilai sebagai bencana untuk investasi. Menurut Politikus Partai Nasdem Ahmad M Ali komitmen pemerintah yang mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter juga diragukan.
"Ini merupakan kebijakan yang hanya akan memberikan malapetaka bagi investor yang berinvestasi di bidang pertambangan nikel, emas, batu bara, dan energi lainnya di negeri ini," kata Anggota DPR tersebut di Jakarta, Kamis (6/9/2016).
Menurut politisi dari Dapil Sulawesi Tengah itu, adanya kebijakan perpanjangan ekspor tersebut menandakan bahwa pemerintah saat ini tidak siap, serta tidak komitmen, bahkan menjebak investor yang telah membangun smelter. Seperti diketahui dalam Undang-undang (UU) Minerba dijelaskan bahwa perusahaan pengelola tambang harus melakukan pemurnian di dalam negeri dengan membangun smelter.
Ditambah Pasal 170 UU Minerba tahun 2009 mengatur bahwa terhitung lima tahun setelah diundangkan, tidak boleh lagi ada aktivitas ekspor konsentrat. "Jika kebijakan pemerintah lewat Plt Menteri ESDM dipaksakan untuk tetap diterapkan, maka hal itu akan memberikan dampak buruk kepada pemerintah, dikarenakan surutnya kepercayaan investor terhadap pemerintah," jelasnya.
Lebih lanjut dia menerangkan perencanaan pemerintah untuk membangun kerangka dasar industri nasional berbasis pada partisipasi investor, seringkali tidak laku dalam pergaulan dunia internasional, karena kita tidak konsisten.
"Sebaiknya pemerintah meninjau kembali rencana kebijakan tersebut, sebab hal itu bukan jalan keluar, malahan memperburuk iklim investasi yang sedang berusaha diperbaiki," ungkapnya.
Dia berharap, pemerintah dapat memikirkan kembali skema tersebut untuk menjaga kewibawaan hukum nasional, dengan alasan selama masa perpanjangan relaksasi pemerintah memaksakan perusahaan-perusahaan tambang memenuhi kewajibannya.
"Yaitu melakukan hilirisasi mineral di dalam negeri, dengan menyelesaikan pembangunan smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral)," pungkasnya.
"Ini merupakan kebijakan yang hanya akan memberikan malapetaka bagi investor yang berinvestasi di bidang pertambangan nikel, emas, batu bara, dan energi lainnya di negeri ini," kata Anggota DPR tersebut di Jakarta, Kamis (6/9/2016).
Menurut politisi dari Dapil Sulawesi Tengah itu, adanya kebijakan perpanjangan ekspor tersebut menandakan bahwa pemerintah saat ini tidak siap, serta tidak komitmen, bahkan menjebak investor yang telah membangun smelter. Seperti diketahui dalam Undang-undang (UU) Minerba dijelaskan bahwa perusahaan pengelola tambang harus melakukan pemurnian di dalam negeri dengan membangun smelter.
Ditambah Pasal 170 UU Minerba tahun 2009 mengatur bahwa terhitung lima tahun setelah diundangkan, tidak boleh lagi ada aktivitas ekspor konsentrat. "Jika kebijakan pemerintah lewat Plt Menteri ESDM dipaksakan untuk tetap diterapkan, maka hal itu akan memberikan dampak buruk kepada pemerintah, dikarenakan surutnya kepercayaan investor terhadap pemerintah," jelasnya.
Lebih lanjut dia menerangkan perencanaan pemerintah untuk membangun kerangka dasar industri nasional berbasis pada partisipasi investor, seringkali tidak laku dalam pergaulan dunia internasional, karena kita tidak konsisten.
"Sebaiknya pemerintah meninjau kembali rencana kebijakan tersebut, sebab hal itu bukan jalan keluar, malahan memperburuk iklim investasi yang sedang berusaha diperbaiki," ungkapnya.
Dia berharap, pemerintah dapat memikirkan kembali skema tersebut untuk menjaga kewibawaan hukum nasional, dengan alasan selama masa perpanjangan relaksasi pemerintah memaksakan perusahaan-perusahaan tambang memenuhi kewajibannya.
"Yaitu melakukan hilirisasi mineral di dalam negeri, dengan menyelesaikan pembangunan smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral)," pungkasnya.
(akr)