OJK Lembaga Terbaik Respons Tax Amnesty
A
A
A
JAKARTA - Data dashboard Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan, Jakarta menunjukkan nilai pernyataan harta dari Warga Negara Indonesia (WNI) berdasarkan Surat Pernyataan Harta (SPH) menembus Rp3.621 triliun dengan perolehan uang tebusan mencapai Rp89,2 triliun. Angka tersebut berasal dari deklarasi di dalam negeri Rp2.533 triliun dan Rp951 triliun dari luar negeri.
Sementara, repatriasi sebesar Rp137 triliun. Sedangkan uang tebusan berdasarkan SPH yang masuk sebesar Rp89,2 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp76,6 triliun berasal dari Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi Non UMKM, sebesar Rp9,7 triliun dari WP Badan Non UMKM, dan dari WP Orang Pribadi UMKM Rp2,64 triliun, dan WP Badan UMKM Rp260 miliar.
Kemudian uang tebusan berdasarkan Surat Setoran Pajak (SSP) mencapai Rp97,2 triliun. Terdiri dari pembayaran tebusan Rp93,7 triliun, pembayaran bukti permulaan (bukper) Rp354 miliar, dan pembayaran tunggakan Rp3,06 triliun.
Terkait hasil tax amnesty di atas, Center for Banking Crisis (CBC) melihat, lembaga yang paling cepat merespon sehingga tercapainya angka tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan C.q Dirjen Pajak dan Bank Indonesia. Penelitian yang kami lakukan berdasarkan aturan-aturan yang dibuat oleh ketiga lembaga tersebut dalam korelasinya terhadap berhasilnya pencapaian tax amnesty tahap pertama.
"OJK merupakan lembaga yang tercepat pertama merespons Undang-Undang Tax Amnesty," ujar Direktur CBC, Ahmad Deni Daruri di Jakarta, Jumat (7/10/2016).
Deni melanjutkan, hal lain yang membuat OJK dipandang CBC sangat merespons kebijakan ini terlihat setelah beberapa hari setelah disetujui UU Tax Amnesti pada 28 Juni 2016, OJK langsung membuat tim sosialisasi UU Tax Amnesty dan membuat surat edaran keseluruh perbankan di Indonesia dan semua Eminten di Pasar Modal.
Dari beberapa aturan yang dibuat, OJK di antaranya mengeluarkan peraturan No.26/POJK.04/2016 tentang Investasi di Bidang Pasar Modal dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Pengampunan Pajak. Penerbitan aturan ini memberikan landasan hukum yang kokoh serta mampu menjawab beberapa concern masyarakat tentang produk investasi di pasar modal sebagai pelaksanaan UU Pengampunan Pajak.
Deni mengatakan sembilan pokok isi POJK tersebut, empat diantaranya, pertama, penyederhanaan proses pembukaan rekening Efek oleh Wajib Pajak yang telah memperoleh surat keterangan Pengampunan Pajak dengan menggunakan surat keterangan dimaksud sebagai dokumen utama dalam pembukaan rekening.
Kedua, relaksasi berupa penyesuaian nilai minimal investasi untuk setiap nasabah pada Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual (Kontrak Pengelolaan Dana/KPD) dari minimum Rp 10 miliar menjadi Rp 5 miliar. Hal ini untuk mengantisipasi Wajib Pajak yang melakukan repatriasi dana dalam jumlah kurang dari Rp10 miliar agar dapat diinvestasikan pada KPD.
Ketiga, penyederhanaan dokumen dalam Pernyataan Pendaftaran Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA), Kontrak Investasi Kolektif Efek Dana Investasi Real Estate, Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi (EBA SP), sehingga Manajer Investasi dan Bank Kustodian dapat menyiapkan produk investasi dalam waktu yang selaras dengan batasan waktu pada UU Pengampunan Pajak.
Penyederhanaan dokumen tersebut dilakukan dengan tetap mempertahankan kualitas informasi yang harus diketahui oleh pemodal.
Keempat, produk investasi di Bidang Pasar Modal yang diatur dalam POJK ini tidak hanya dapat digunakan sebagai instrumen investasi konvensional, tetapi dapat juga digunakan sebagai instrumen investasi berbasis syariah.
Sementara, lembaga terbaik kedua setelah OJK adalan Kementerian Keuangan c.q Ditjen Pajak. "Sedangkan lembaga terbaik kedua dan ketiga setelah OJK dan Kementerian Keuangan adalah BI. Karena independensi yang kuat dari BI menyebabkan lambatnya merespons dan berkoordinasi dengan OJK dan Kementerian Keuangan," ucap Deni.
CBC, lanjutnya sangat mengapresiasi kinerja ketiga lembaga tersebut yang telah berusaha semaksimal mungkin untuk mensukseskan program tax amnesty.
Sementara, repatriasi sebesar Rp137 triliun. Sedangkan uang tebusan berdasarkan SPH yang masuk sebesar Rp89,2 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp76,6 triliun berasal dari Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi Non UMKM, sebesar Rp9,7 triliun dari WP Badan Non UMKM, dan dari WP Orang Pribadi UMKM Rp2,64 triliun, dan WP Badan UMKM Rp260 miliar.
Kemudian uang tebusan berdasarkan Surat Setoran Pajak (SSP) mencapai Rp97,2 triliun. Terdiri dari pembayaran tebusan Rp93,7 triliun, pembayaran bukti permulaan (bukper) Rp354 miliar, dan pembayaran tunggakan Rp3,06 triliun.
Terkait hasil tax amnesty di atas, Center for Banking Crisis (CBC) melihat, lembaga yang paling cepat merespon sehingga tercapainya angka tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan C.q Dirjen Pajak dan Bank Indonesia. Penelitian yang kami lakukan berdasarkan aturan-aturan yang dibuat oleh ketiga lembaga tersebut dalam korelasinya terhadap berhasilnya pencapaian tax amnesty tahap pertama.
"OJK merupakan lembaga yang tercepat pertama merespons Undang-Undang Tax Amnesty," ujar Direktur CBC, Ahmad Deni Daruri di Jakarta, Jumat (7/10/2016).
Deni melanjutkan, hal lain yang membuat OJK dipandang CBC sangat merespons kebijakan ini terlihat setelah beberapa hari setelah disetujui UU Tax Amnesti pada 28 Juni 2016, OJK langsung membuat tim sosialisasi UU Tax Amnesty dan membuat surat edaran keseluruh perbankan di Indonesia dan semua Eminten di Pasar Modal.
Dari beberapa aturan yang dibuat, OJK di antaranya mengeluarkan peraturan No.26/POJK.04/2016 tentang Investasi di Bidang Pasar Modal dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Pengampunan Pajak. Penerbitan aturan ini memberikan landasan hukum yang kokoh serta mampu menjawab beberapa concern masyarakat tentang produk investasi di pasar modal sebagai pelaksanaan UU Pengampunan Pajak.
Deni mengatakan sembilan pokok isi POJK tersebut, empat diantaranya, pertama, penyederhanaan proses pembukaan rekening Efek oleh Wajib Pajak yang telah memperoleh surat keterangan Pengampunan Pajak dengan menggunakan surat keterangan dimaksud sebagai dokumen utama dalam pembukaan rekening.
Kedua, relaksasi berupa penyesuaian nilai minimal investasi untuk setiap nasabah pada Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual (Kontrak Pengelolaan Dana/KPD) dari minimum Rp 10 miliar menjadi Rp 5 miliar. Hal ini untuk mengantisipasi Wajib Pajak yang melakukan repatriasi dana dalam jumlah kurang dari Rp10 miliar agar dapat diinvestasikan pada KPD.
Ketiga, penyederhanaan dokumen dalam Pernyataan Pendaftaran Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA), Kontrak Investasi Kolektif Efek Dana Investasi Real Estate, Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi (EBA SP), sehingga Manajer Investasi dan Bank Kustodian dapat menyiapkan produk investasi dalam waktu yang selaras dengan batasan waktu pada UU Pengampunan Pajak.
Penyederhanaan dokumen tersebut dilakukan dengan tetap mempertahankan kualitas informasi yang harus diketahui oleh pemodal.
Keempat, produk investasi di Bidang Pasar Modal yang diatur dalam POJK ini tidak hanya dapat digunakan sebagai instrumen investasi konvensional, tetapi dapat juga digunakan sebagai instrumen investasi berbasis syariah.
Sementara, lembaga terbaik kedua setelah OJK adalan Kementerian Keuangan c.q Ditjen Pajak. "Sedangkan lembaga terbaik kedua dan ketiga setelah OJK dan Kementerian Keuangan adalah BI. Karena independensi yang kuat dari BI menyebabkan lambatnya merespons dan berkoordinasi dengan OJK dan Kementerian Keuangan," ucap Deni.
CBC, lanjutnya sangat mengapresiasi kinerja ketiga lembaga tersebut yang telah berusaha semaksimal mungkin untuk mensukseskan program tax amnesty.
(izz)