Menteri Rini Didesak Jelaskan Soal Pengambilalihan PGE
A
A
A
JAKARTA - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno didesak oleh Serikat Pekerja PT Pertamina Geothermal Energy (SPPGE) untuk menjelaskan rencana pengambilalihan PGE oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Pasalnya hingga saat ini informasi terkait konsep penggabungan, apakah itu akuisisi, sinergi, maupun chip in masih simpang siur.
“Untuk itu kami meminta Ibu Rini Soemarno, agar dalam waktu satu minggu ini menjelaskan kepada kami mengenai rencana tersebut. Sebelum Ibu Menteri bisa menjelaskan dengan terang benderang, kami dengan tegas meminta Kementerian BUMN untuk menghentikan proses dan isu pengambilalihan PGE oleh PLN dalam bentuk apapun,” kata Ketua SPPGE Bagus Bramantio lewat keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (27/10/2016).
Dia menambahkan jika dalam tempo satu minggu Menteri BUMN belum memberikan respons positif, maka SPPGE siap melakukan aksi yang lebih besar. "Kami sangat memahami kesibukan Ibu Menteri. Tetapi akan sangat kami sayangkan bila hanya untuk bisa berdiskusi saja dengan Ibu Menteri, kami harus turun ke jalan terlebih dahulu" lanjut dia.
Menurutnya SPPGE dan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu, sejak awal September 2016 telah melayangkan dua kali surat permohonan agar bisa bertemu Menteri BUMN dan meminta penjelasan. Namun hingga saat ini, permohonan tersebut sama sekali tidak mendapat respons yang positif.
Bahkan, dalam pertemuan kemarin, SPPGE hanya diterima staf Kementerian BUMN, termasuk Kepala Bidang Energi, Logistik, Kawasan Industri dan Pariwisata (ELKP) 1B, Kementerian BUMN Ruspen Saragih. Selain SPPGE, hadir pula dalam kesempatan itu, beberapa pengurus FSPPB dan SP di Pertamina yang merupakan konstituen FSPPB.
Menurut Bagus, wacana akuisisi tersebut telah membuat resah para pekerja dan mengganggu fokus kerja para pekerja PGE. Jika semula PGE ingin mempercepat usaha geothermal di Indonesia, wacana tersebut justru menjadi faktor penghambat dan membuat kontraproduktif terhadap kinerja.
Lanjut dia menerangkan berubah-ubahnya konsep pengambilalihan, semakin memperjelas bahwa konsep tersebut belum matang. “Itu sebabnya, kami siap beraudiensi dan memberikan hasil kajian kami, bahwa pengambilalihan PGE oleh PLN bukan merupakan solusi yang tepat untuk percepatan panas bumi di Indonesia,” sambungnya.
(Baca Juga: Rencana Gabung PGE-PLN Diminta Pakai Sistem Join Venture)
Sementara Wakil Ketua SPPGE Sentot Yulianugroho mengatakan, pengambilalihan tersebut akan memiliki dampak buruk bagi geothermal Indonesia. Dari aspek hukum, misalnya, kata dia adalah potensi terlepasnya 12 WKP Eksisting yang saat ini dikelola PGE, sehingga operasional pengembangan panas bumi pada WKP Eksisting tersebut menjadi terkendala dan pencapaian target bauran energi yang dicanangkan Pemerintah menjadi terancam.
“Ketika PGE tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anak perusahaan Pertamina, maka PGE berpotensi akan kehilangan kendali dan tidak bisa mempertahankan WKP Eksisting. Jika itu terjadi, maka hal ini dapat memicu potensi gugatan arbitrase dari mitra joint operation contract (JOC)," terang Sentot.
Diingatkan juga olehnya, bahwa pengambilalihan PGE oleh PLN akan memperburuk iklim investasi sehingga menjadi kontraproduktif dengan semangat percepatan pengembangan panas bumi, sebagaimana diamanahkan UU Nomor 21 Tahun 2014 UU tentang Panas Bumi.
“Kami tahu, saat ini para investor masih menunggu tentang kejelasan isu ini. Jika PGE yang merupakan pemain besar saja bisa dipermainkan, apalagi investor lain,” tutupnya.
“Untuk itu kami meminta Ibu Rini Soemarno, agar dalam waktu satu minggu ini menjelaskan kepada kami mengenai rencana tersebut. Sebelum Ibu Menteri bisa menjelaskan dengan terang benderang, kami dengan tegas meminta Kementerian BUMN untuk menghentikan proses dan isu pengambilalihan PGE oleh PLN dalam bentuk apapun,” kata Ketua SPPGE Bagus Bramantio lewat keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (27/10/2016).
Dia menambahkan jika dalam tempo satu minggu Menteri BUMN belum memberikan respons positif, maka SPPGE siap melakukan aksi yang lebih besar. "Kami sangat memahami kesibukan Ibu Menteri. Tetapi akan sangat kami sayangkan bila hanya untuk bisa berdiskusi saja dengan Ibu Menteri, kami harus turun ke jalan terlebih dahulu" lanjut dia.
Menurutnya SPPGE dan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu, sejak awal September 2016 telah melayangkan dua kali surat permohonan agar bisa bertemu Menteri BUMN dan meminta penjelasan. Namun hingga saat ini, permohonan tersebut sama sekali tidak mendapat respons yang positif.
Bahkan, dalam pertemuan kemarin, SPPGE hanya diterima staf Kementerian BUMN, termasuk Kepala Bidang Energi, Logistik, Kawasan Industri dan Pariwisata (ELKP) 1B, Kementerian BUMN Ruspen Saragih. Selain SPPGE, hadir pula dalam kesempatan itu, beberapa pengurus FSPPB dan SP di Pertamina yang merupakan konstituen FSPPB.
Menurut Bagus, wacana akuisisi tersebut telah membuat resah para pekerja dan mengganggu fokus kerja para pekerja PGE. Jika semula PGE ingin mempercepat usaha geothermal di Indonesia, wacana tersebut justru menjadi faktor penghambat dan membuat kontraproduktif terhadap kinerja.
Lanjut dia menerangkan berubah-ubahnya konsep pengambilalihan, semakin memperjelas bahwa konsep tersebut belum matang. “Itu sebabnya, kami siap beraudiensi dan memberikan hasil kajian kami, bahwa pengambilalihan PGE oleh PLN bukan merupakan solusi yang tepat untuk percepatan panas bumi di Indonesia,” sambungnya.
(Baca Juga: Rencana Gabung PGE-PLN Diminta Pakai Sistem Join Venture)
Sementara Wakil Ketua SPPGE Sentot Yulianugroho mengatakan, pengambilalihan tersebut akan memiliki dampak buruk bagi geothermal Indonesia. Dari aspek hukum, misalnya, kata dia adalah potensi terlepasnya 12 WKP Eksisting yang saat ini dikelola PGE, sehingga operasional pengembangan panas bumi pada WKP Eksisting tersebut menjadi terkendala dan pencapaian target bauran energi yang dicanangkan Pemerintah menjadi terancam.
“Ketika PGE tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anak perusahaan Pertamina, maka PGE berpotensi akan kehilangan kendali dan tidak bisa mempertahankan WKP Eksisting. Jika itu terjadi, maka hal ini dapat memicu potensi gugatan arbitrase dari mitra joint operation contract (JOC)," terang Sentot.
Diingatkan juga olehnya, bahwa pengambilalihan PGE oleh PLN akan memperburuk iklim investasi sehingga menjadi kontraproduktif dengan semangat percepatan pengembangan panas bumi, sebagaimana diamanahkan UU Nomor 21 Tahun 2014 UU tentang Panas Bumi.
“Kami tahu, saat ini para investor masih menunggu tentang kejelasan isu ini. Jika PGE yang merupakan pemain besar saja bisa dipermainkan, apalagi investor lain,” tutupnya.
(akr)