Target Pajak Selalu Meleset dalam Dua Tahun Jokowi-JK

Jum'at, 28 Oktober 2016 - 13:39 WIB
Target Pajak Selalu Meleset dalam Dua Tahun Jokowi-JK
Target Pajak Selalu Meleset dalam Dua Tahun Jokowi-JK
A A A
JAKARTA - Sektor pajak sepanjang 2 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dinilai masih perlu adanya perbaikan. Pasalnya menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, perencanaan pemerintah dalam dua tahun terakhir kurang bagus karena terlalu bertahan dengan target pencapaian pajak yang tidak realistis.

Dia menambahkan selama dua tahun Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), secara keseluruhan targetnya tidak realistis sehingga banyak menanggap hal tersebut terlalu sehingga tak tercapai. "Saya kira, ini yang perlu dipahami dan tidak boleh diulang. Bagaimana mungkin lakukan perencanaan yang targetnya tinggi, sementara ekonominya masih melemah, slow down begini. Itu jelas kebijakan yang kontradiktif dengan kebutuhan untuk pulihkan ekonomi," kata Prastowo di Jakarta.

Lebih lanjut dia menerangkan poin kedua yang belum cukup jelas adalah soal roadmap reformasi pajak. Menurutnya kebijakan pajak yang diambil selama dua tahun ini sifatnya masih reaktif, alias hanya merespon dinamika atau gejala dari luar. Tapi bukan merupakan konsepsi yang matang atas apa yang dibutuhkan.

"Jadi misal dalam jangka pendek, menurunkan beberapa tarif pajak, bebaskan, lalu naikkan PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak). Tahun lalu reinventing policy, tahun ini tax amnesty. Jadi karena enggak ada roadmap jangka panjang, pendek yangg jelas, jadinya publik susah paham kemana arah kebijakannya," sambungnya.

Bahkan sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengakui penyusunan APBN selama dua tahun belakangan tidak kredibel. Dia melihat, dalam dua tahun ini, beberapa sektor penerimaan banyak yang meleset terutama penerimaan perpajakan dalam negeri.

Penerimaan perpajakan sepanjang dua tahun terakhir, kata Sri, targetnya selalu meleset. Tahun 2014 terjadi shortfall sebesar Rp100 triliun. Padahal pada waktu itu, harga minyak dunia masih bagus yakni USD100 per barel.

"Selama dua tahun ini, penyusunan APBN terus menerus banyak yang meleset penerimaannya. Padahal dua tahun lalu kondisinya belum separah sekarang. Selain harga minyak yang masih tinggi, beberapa komoditas harganya masih sangat tinggi," terang Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut.

Lebih lanjut dia menerangkan pada tahun 2015, menunjukkan penerimaan pajak shortfall Rp234 triliun. "Jadi sebetulnya sudah dua tahun berturut-turut penerimaan pajak di bawah UU APBN kita," terang dia.

"Ini perlu dievaluasi, apakah basis ini bisa digunakan. Karena kalau basis penghitungannya tidak kredibel, maka akan terus menerus menimbulkan tanda tanya apakah APBN ini realistis. Dan menimbulkan pertanyaan bagaimana pemerintah mengelola APBN-nya apabila terus berasumsi dengan penerimaan yang tinggi tapi sebetulnya tidak tercapai dalam dua tahun terakhir," tandasnya.

Realisasi penerimaan negara sendiri hingga Agustus 2016 tercatat baru mencapai 46,1% atau Rp823,4 triliun dari target Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 sebesar Rp1.786,2 triliun. Meski masih jauh, Sri Mulyani mengatakan akan terus melihat perkembangan penerimaan negara yang berasal dari penerimaan pajak rutin, tax amnesty, penerimaan cukai dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Namun, dia menegaskan tetap pada pernyataan awal, bahwa akan ada kekurangan penerimaan (shortfall) sebesar Rp219 triliun dari APBN-P 2016. "Ini masih sama (shortfall Rp219 triliun), kami tidak memperkirakan perubahan dari rencana outlook dari realisasi akhir tahun ini. Tentu kita akan melihat terus perkembangan yang terjadi," katanya.

Dia mengungkapkan, penerimaan pajak sampai kuartal III tahun 2016 masih jauh dari apa yang diharapkan hingga akhir tahun. Meski begitu Sri Mulyani melihatnya sebagai sebuah tantangan besar.

"Sampai Desember kalau tidak salah jumlahnya, penerimaan Oktober-Desember kami harap Rp486 triliun dan belanja sampai akhir tahun masih ada sekitar Rp600 triliun. Itu yang kami proyeksikan sampai akhir tahun untuk 3 bulan terakhir," paparnya.

Dari angka Rp486 triliun, diharapkan Rp424 triliun target penerimaan pajak yang harus dikumpulkan dalam tiga bulan ini. Menurutnya yang masih menjadi masalah yakni Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 sedang mengalami shortfall Rp219 trliun.

Sementara dari target penerimaan pajak tahun ini yang mencapai Rp1.320 triliun, Sri Mulyani menambahkan masih butuh Rp424 triliun. Sedangkan pada belanja totalnya Rp1.600 triliun, masih ada Rp600 triliun yang masih akan terbelanjakan.

"Jadi neto sampai terakhir total belanja masih lebih besar dari penerimaan, dan tentu saja ekonomi kita lebih positif pada belanja negara yang akan tereksekusi pada akhir tahun," tutupnya.

Meski begitu kehadiran Sri Mulyani menurut Prastowo telah membawa angin segar karena telah meletakkan lagi dasar-dasar untuk reformasi pajak. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut diyakini bisa memulai bicara soal perencanaan yang baik, pentingnya pebenahan kelembagaan, infrastruktur Undang-undang (UU) dan sebagaimana.

Hanya saja, menurut dia yang menjadi persoalan saat ini sejauh mana publik bisa menilai atau memahami kapabilitas Sri Mulyani dan Jokowi. "Saya kira jadi menarik, sejauh mana mereka bisa cocok dan kompetible. Karena kalau dilihat, yang mempengaruhi kebijakan fiskal Jokowi ada beberapa hal bertentangan dengan prinsip Sri Mulyani. Misalnya, ide membentuk tax haven di Batam, itu juga akan kontroversial. Yang seperti ini yang perlu diperjelas," kata dia.

Kemudian dia menerangkan yang menjadi penting yakni perbaikan dari segi administrasi. Lalu pembenahan SDM, menurutnya ini kaitannya dengan reformasi kelembagaan, bagaimana ide pemisahan pajak dari kemenkeu harus dimaknai sebagai momentum untuk membangun suatu institusi yang terpercaya dan kredibel.

"Ini menjadi kesempatan untuk assesmet ke pegawai, rekrutmen pegawai juga, sehingga ada pembaharuan," pungkas dia
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6275 seconds (0.1#10.140)