RI Dibayangi Ancaman Kekurangan Pasokan Energi

Minggu, 30 Oktober 2016 - 14:06 WIB
RI Dibayangi Ancaman...
RI Dibayangi Ancaman Kekurangan Pasokan Energi
A A A
JAKARTA - Ancaman kekurangan pasokan energi pada 2025 menurut Kepala Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Taslim Z Yunus akan membayangi Indonesia. Dia menerangkan pemerintah melalui Dewan Energi Nasional telah menetapkan kebutuhan energi pada 2025 sebesar 7,49 juta barrel oil equivalent.

Lanjut dia dari jumlah itu, 47% di antaranya adalah dari sektor minyak dan gas bumi. "Artinya pada tahun 2025 kita butuh produksi 3,5 juta barrel oil equivalent," terang Taslim di Jakarta.

(Baca Juga: Pengamat Ungkap Dua Poin Penting dalam Revisi UU Migas)

Dia menambahkan saat ini nilai produksi Indonesia sekitar 2,1 juta barrel oil equivalent, sehingga Indonesia harus menghadapi kekurangan supply sekitar 1,5 juta barrel oil equivalent. Menurutnya, kekurangan pasokan itu akan terjadi jika tidak ada terobosan dan perubahan dalam meningkatkan produksi.

Ditegaskan olehnya terobosan di sini bukan hanya aturan terkait minyak dan gas, tapi juga harus ada perubahan besar dalam mengelola industri ini ."Itu yang paling mendasar ke depan menurut kami yang harus kita lihat dan harus disadari. Dan kita harus ada sense of crisis untuk migas ini ke depan," sambungnya.

Seperti diketahui pemerintah dan DPR saat ini tengah menggodok revisi Undang-undang (UU) nomor 22 tahun 2001 tentang Migas, karena dipandang memiliki kelemahan dan sudah berkali-kali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Contohnya, MK pernah membatalkan pasal-pasal dalam UU Migas yang dianggap sebagai penyebab liberalisasi penentuan harga minyak di dalam negeri. Bahkan MK juga membatalkan pasal tentang BP Migas.

Sementara itu pengamat energi Fahmy Radhi menilai UU Migas yang ada sekarang terlalu liberal karena melepaskan sepenuhnya kegiatan eksplorasi migas ke pasar. Hal itu membuat PT Pertamina sulit untuk bersaing memperebutkan blok migas di negaranya sendiri

"Kalau misalnya komoditas selain migas, barangkali tidak masalah kalau liberal. Tapi kalau migas menurut UUD 45 itu diamanatkan dikelola negara untuk sepenuhnya kepada rakyat. Saat ini 87 persen blok migas dikuasai asing. Dulu perebutan. Blok Cepu Pertamina kalah diserahkan Exxon," tutur Fahmy.

Namun hal itu langsung ditepis oleh Taslim yang menjelaskan saat ini masih belum ada perusahaan migas nasional baik BUMN (Badan Usaha Milik Negara) maupun swasta yang memiliki kemampuan dana untuk melakukan eksplorasi. Alasannya menurut dia untuk melakukan eksplorasi membutuhkan waktu yang sangat lama dengan biaya yang cukup tinggi.

"Banyak juga perusahaan multi nasional melakukan eksplorasi di laut dalam, seperti Exxon Mobil dari 2002 mereka eksplorasi saat ini baru bisa. Dia menghabiskan dana USD3,99 miliar hanya untuk cari migas. Artinya segitu risiko yang ditanggung mereka. Kan kita tidak punya yang kemampuan dana seperti itu," paparnya

Untuk itu, lanjut dia, SKK Migas memandang perusahaan migas asing masih dibutuhkan untuk mengelola blok migas di Indonesia. Akan tetapi penunjukan jatah eksplorasi harus dilihat berdasarkan tingkat risikonya.

"Jadi kita tetap mengikutsertakan perusahaan internasional, tapi harus lihat kondisi, kalau risiko rendah dan menengah tidak apa-apa. Tapi kalau risikonya tinggi masa kita kasih ke yang nggak punya uang. Harus dipilih mana yang bisa dikasih ke perusahaan swasta dan BUMN nasional, atau swasta internasional," tutup Taslim.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7424 seconds (0.1#10.140)