Kadin Pertanyakan Kewenangan KPPU Terkait Kartel
A
A
A
JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengkritik kewenangan yang dimiliki Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam menindak pelaku usaha yang dituding melakukan kartel ataupun persaingan usaha tidak sehat. Pasalnya, KPPU dinilai tidak bisa terlibat di seluruh proses penindakan yang ada.
"KPPU yang mengusulkan adanya pelanggaran, mereka yang menuntut, menyidang, lalu mereka pula yang memberi sanksi. Hal ini dinilai tidak benar. Dalam kasus korupsi yang ditangani KPK saja, tetap pengadilan tindak pidana korupsi yang menyatakan bersalah atau tidak," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Suryani S. Motik dalam keterangan tertulis di Jakarta.
Dia menambahkan sebenarnya sangat mendukung penguatan KPPU, tapi menurutnya harus disertai dengan mekanisme yang tepat. Saat ini diterangkam ada beberapa pasal yang berpotensi terjadinya abuse of power. Selain itu Suryani juga mengkritisi pasal yang mengatur denda maksimum hingga 30% dari nilai penjualan bagi pelaku usaha yang melanggar.
"Aturan ini bisa membuat pelaku usaha bangkrut, banyak perusahaan yang memiliki income yang besar, tapi profitnya justru kecil. Aturan lain yang dikritik yaitu keharusan untuk membayar 10% bagi pelaku usaha yang ingin melakukan banding atas putusan KPPU, denda Rp 2 triliun bagi pihak terlapor yang tidak melaksanakan putusan KPPU," sambungnya.
Hingga peraturan merger dari post notifikasi menjadi pre notifikasi. Sementara itu Ketua Gabungan Pengusaha Pembibitan Unggas Krissantono menyebutkan KPPU bukanlah pengadilan, namun semua hukum tata caranya mengikuti lembaga peradilan.
Dijelaskan olehnya dalam hukum tata cara pengadilan, majelis hakim umumnya terdiri dari 3 orang, dan bisa memiliki pendapat masing-masing dalam perkara yang sedang disidangkan. Sementara Krissantono melihat majelis hakim di KPPU terkadang hanya 2 atau bahkan 1 orang saja, sehingga dirinya mempertanyakan apakah pendapat hakim yang tidak hadir dapat diwakilkan.
"Mengenai pelaporan, pemeriksaan, penyidikkan dan penghakiman yang semuanya dilakukan oleh KPPU, sehingga kalau UU Persaingan Usaha Tidak Sehat mau direvisi, maka hal itulah yang harus dirubah," tutup Krissantono.
"KPPU yang mengusulkan adanya pelanggaran, mereka yang menuntut, menyidang, lalu mereka pula yang memberi sanksi. Hal ini dinilai tidak benar. Dalam kasus korupsi yang ditangani KPK saja, tetap pengadilan tindak pidana korupsi yang menyatakan bersalah atau tidak," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Suryani S. Motik dalam keterangan tertulis di Jakarta.
Dia menambahkan sebenarnya sangat mendukung penguatan KPPU, tapi menurutnya harus disertai dengan mekanisme yang tepat. Saat ini diterangkam ada beberapa pasal yang berpotensi terjadinya abuse of power. Selain itu Suryani juga mengkritisi pasal yang mengatur denda maksimum hingga 30% dari nilai penjualan bagi pelaku usaha yang melanggar.
"Aturan ini bisa membuat pelaku usaha bangkrut, banyak perusahaan yang memiliki income yang besar, tapi profitnya justru kecil. Aturan lain yang dikritik yaitu keharusan untuk membayar 10% bagi pelaku usaha yang ingin melakukan banding atas putusan KPPU, denda Rp 2 triliun bagi pihak terlapor yang tidak melaksanakan putusan KPPU," sambungnya.
Hingga peraturan merger dari post notifikasi menjadi pre notifikasi. Sementara itu Ketua Gabungan Pengusaha Pembibitan Unggas Krissantono menyebutkan KPPU bukanlah pengadilan, namun semua hukum tata caranya mengikuti lembaga peradilan.
Dijelaskan olehnya dalam hukum tata cara pengadilan, majelis hakim umumnya terdiri dari 3 orang, dan bisa memiliki pendapat masing-masing dalam perkara yang sedang disidangkan. Sementara Krissantono melihat majelis hakim di KPPU terkadang hanya 2 atau bahkan 1 orang saja, sehingga dirinya mempertanyakan apakah pendapat hakim yang tidak hadir dapat diwakilkan.
"Mengenai pelaporan, pemeriksaan, penyidikkan dan penghakiman yang semuanya dilakukan oleh KPPU, sehingga kalau UU Persaingan Usaha Tidak Sehat mau direvisi, maka hal itulah yang harus dirubah," tutup Krissantono.
(akr)