Konsep Merger PLN-PGE Tak Jelas, Rini Disebut Tanam Bom Waktu
A
A
A
JAKARTA - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dinilai menanam bom waktu ketika tidak menjelaskan secara rinci seputar konsep dan latar belakang penyatuan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) saat menemui serikat pekerja. Wakil Ketua Serikat Pekerja (SP) Pertamina Geothermal Energy (PGE) Sentot Yulianugroho menyayangkan sikap Menteri BUMN tersebut.
“Pertemuan berlangsung sangat singkat. Bu Menteri menyampaikan tentang rencana sinergi dari sisi pemerintah. Namun mengenai konsep itu sendiri, justru tidak terjawab. Ini hanya menanam bom waktu,” ucap Sentot di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Kamis (10/11/2016).
Lebih lanjut dia mengingatkan bahwa pengambilalihan PGE oleh PLN merupakan langkah gegabah yang dilakukan permintah. Menurutnya rencana ini bisa sangat berbahaya dan bahkan menjadi bom waktu seperti halnya kasus Geodipa Energy dan Karaha Bodas.
"Seharusnya pemerintah belajar dari banyak kasus di masa lalu. Misalnya, tersanderanya Geodipa Energy. Geodipa tersandera, karena proses pengalihan Geodipa untuk melakukan pengelolaan panas bumi dari bekas Kontraktor Kontrak Operasi Bersama di Dieng dan Patuha tidak dilakukan secara matang, sehingga Geodipa sekarang tersandera dengan permasalahan hukum,” kata dia.
Bom waktu seperti itu, menurut dia bisa terjadi jika pemerintah memaksakan merger PGE oleh PLN. “Bom waktu itu adalah, potensi gugatan arbitrase yang dilakukan para Kontraktor Kontrak Operasi Bersama terhadap Pertamina dan PGE, karena tidak bisa mempertahankan WKP Eksisting yang sekarang dikelola. Jika itu terjadi, tidak bisa dibayangkan betapa besar harga yang harus dibayar,” paparnya.
Pertemuan Menteri Rini dengan para pekerja menurut Ketua Serikat Pekerja Pertamina Geothermal Energy (SPPGE) Bagus Bramantio, hanya berlangsung singkat sehingga tidak cukup waktu untuk dialog. Dia menerangkan dalam pertemuan tersebut Rini mengatakan, karena hanya PLN yang menjadi single off taker, sehingga perlu kerja sama.
"Tetapi metode kerja sama itu sendiri, tidak dijelaskan dalam pertemuan tersebut. Bahkan, mengapa kerja sama itu sampai menghasilkan harga yang baik pun tidak dijelaskan. Sangat abu-abu yang disampaikan, Bu Menteri hanya bilang bahwa apa salahnya PLN masuk di PGE?” terang Bagus.
Dia menegaskan sikap SPPGE sangat jelas yakni menolak semua bentuk pengambilalihan PGE oleh PLN. Alasannya konsep pengambilalihan kepemilikan saham di PGE oleh pihak manapun (termasuk oleh PLN), diyakini olehnya bukan solusi yang tepat untuk melakukan percepatan pengembangan panas bumi di Indonesia.
Beberapa alasan yang menjadikan konsep tersebut tidak tepat, menurut Bagus, pertama, karena tindakan tersebut merupakan bentuk Un-Bundling Pertamina dan upaya pengkerdilan bisnis Pertamina. Padahal, lanjut dia, Pertamina sudah sejak tahun 1974 bergerak di bidang panas bumi dan akan terus berkomitmen melakukan pengembangan panas bumi di Indonesia.
Alasan lain di antaranya lanjut Bagus, karena pengambilalihan PGE tidak akan mengakselerasi dan menambah kapasitas terpasang panas bumi yang telah direncanakan dan ditargetkan oleh PGE, yakni sekitar 2,3 GW pada tahun 2025 di WKP Eksisting.
“Sehingga tindakan pengambilalihan PGE tersebut tidak akan mendukung pencapaian target bauran energi 2025 yang telah dicanangkan oleh Pemerintah (target sekitar 7,2 GW),” tutup Bagus.
“Pertemuan berlangsung sangat singkat. Bu Menteri menyampaikan tentang rencana sinergi dari sisi pemerintah. Namun mengenai konsep itu sendiri, justru tidak terjawab. Ini hanya menanam bom waktu,” ucap Sentot di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Kamis (10/11/2016).
Lebih lanjut dia mengingatkan bahwa pengambilalihan PGE oleh PLN merupakan langkah gegabah yang dilakukan permintah. Menurutnya rencana ini bisa sangat berbahaya dan bahkan menjadi bom waktu seperti halnya kasus Geodipa Energy dan Karaha Bodas.
"Seharusnya pemerintah belajar dari banyak kasus di masa lalu. Misalnya, tersanderanya Geodipa Energy. Geodipa tersandera, karena proses pengalihan Geodipa untuk melakukan pengelolaan panas bumi dari bekas Kontraktor Kontrak Operasi Bersama di Dieng dan Patuha tidak dilakukan secara matang, sehingga Geodipa sekarang tersandera dengan permasalahan hukum,” kata dia.
Bom waktu seperti itu, menurut dia bisa terjadi jika pemerintah memaksakan merger PGE oleh PLN. “Bom waktu itu adalah, potensi gugatan arbitrase yang dilakukan para Kontraktor Kontrak Operasi Bersama terhadap Pertamina dan PGE, karena tidak bisa mempertahankan WKP Eksisting yang sekarang dikelola. Jika itu terjadi, tidak bisa dibayangkan betapa besar harga yang harus dibayar,” paparnya.
Pertemuan Menteri Rini dengan para pekerja menurut Ketua Serikat Pekerja Pertamina Geothermal Energy (SPPGE) Bagus Bramantio, hanya berlangsung singkat sehingga tidak cukup waktu untuk dialog. Dia menerangkan dalam pertemuan tersebut Rini mengatakan, karena hanya PLN yang menjadi single off taker, sehingga perlu kerja sama.
"Tetapi metode kerja sama itu sendiri, tidak dijelaskan dalam pertemuan tersebut. Bahkan, mengapa kerja sama itu sampai menghasilkan harga yang baik pun tidak dijelaskan. Sangat abu-abu yang disampaikan, Bu Menteri hanya bilang bahwa apa salahnya PLN masuk di PGE?” terang Bagus.
Dia menegaskan sikap SPPGE sangat jelas yakni menolak semua bentuk pengambilalihan PGE oleh PLN. Alasannya konsep pengambilalihan kepemilikan saham di PGE oleh pihak manapun (termasuk oleh PLN), diyakini olehnya bukan solusi yang tepat untuk melakukan percepatan pengembangan panas bumi di Indonesia.
Beberapa alasan yang menjadikan konsep tersebut tidak tepat, menurut Bagus, pertama, karena tindakan tersebut merupakan bentuk Un-Bundling Pertamina dan upaya pengkerdilan bisnis Pertamina. Padahal, lanjut dia, Pertamina sudah sejak tahun 1974 bergerak di bidang panas bumi dan akan terus berkomitmen melakukan pengembangan panas bumi di Indonesia.
Alasan lain di antaranya lanjut Bagus, karena pengambilalihan PGE tidak akan mengakselerasi dan menambah kapasitas terpasang panas bumi yang telah direncanakan dan ditargetkan oleh PGE, yakni sekitar 2,3 GW pada tahun 2025 di WKP Eksisting.
“Sehingga tindakan pengambilalihan PGE tersebut tidak akan mendukung pencapaian target bauran energi 2025 yang telah dicanangkan oleh Pemerintah (target sekitar 7,2 GW),” tutup Bagus.
(akr)