Mendapatkan Keadilan di Jalan Tol

Jum'at, 11 November 2016 - 06:46 WIB
Mendapatkan Keadilan...
Mendapatkan Keadilan di Jalan Tol
A A A
FIRMAN, 40 tahun, warga Kavling Pemda Tangerang adalah buruh kasar di kawasan Tanah Abang Jakarta. Saban hari ke tempat kerja, Firman menggunakan bus AC34 milik operator bus swasta Mayasari Bakti. Berangkat pukul 05.00 WIB ketika adzan subuh usai berkumandang. Firman menempuh perjalanan bus sekitar 26 kilometer dari ruko Pinangsia Karawaci menuju Slipi dengan waktu tempuh setengah jam melintasi jalur tol Jakarta-Tangerang. Setelah itu, ia naik angkot menuju kawasan Tanah Abang.

"Kalau berangkat subuh hari, perjalanan paling cepat itu setengah jam. Kalau berangkat di atas jam tujuh pagi, perjalanan bisa sampai dua jam. Itu pun belum tentu dapat tempat duduk, harus berjuang bersabar di atas bus menahan pegal," ujar dia kepada KORAN SINDO, Jumat (11/11/2016).

Belum adanya transportasi alternatif memaksa Firman naik bus AC34. "Selain Bus AC34, memang ada bus APTB Poris Plawad Tangerang. Tapi jarang dan hanya berangkat di jam tertentu," ungkap Firman. Jalur tol Jakarta-Tangerang menjadi jalan utama bagi warga Tangerang seperti Firman yang beraktivitas di Jakarta. Begitu pula Ali (38 tahun), pegawai swasta di Jakarta, sehari-hari memanfaatkan jalur tol Jakarta-Tangerang dengan mobil pribadi menuju tempat kerja di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Sejatinya, jalur tol adalah jalur alternatif, bukan jalur utama. Namun pilihan transportasi memadai dari Tangerang ke Jakarta belum banyak tersedia. Jalur ke stasiun kereta api harus ditempuh 20-30 menit lama perjalanan. "Ada stasiun kereta tapi lumayan jauh. Stasiun kereta commuter di Tangerang adanya di Serpong dan di Rawa Buntu. Kemudian yang paling dekat sebenarnya di Tangerang (Pasar Anyar), tapi itu pun bagi saya masih cukup jauh," ujar Ali.

Waktu perjalanan lebih dari satu jam yang dilakoni Firman dan Ali di jam sibuk, dirasa tidak adil dengan penyesuaian tarif yang dilakukan regulator setiap dua tahun sekali. Namun pengelola jalan tol beralasan, penyesuaian tarif mengacu pada standar pelayanan minimum dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Penyesuaian tarif tol selalu identik dengan kenaikan tarif tol. Artinya, setiap kali ada penyesuaian tarif, berarti tarif tol akan naik. Dalam sejarah jalan tol di Indonesia, tak pernah ada kebijakan menurunkan tarif tol. Wakil Ketua Komisi V DPR bidang transportasi, Muhidin Said bahkan mengakui peraturan jalan tol sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada. "Makanya setiap dua tahun selalu naik. Padahal secara pelayanan juga sudah tidak memenuhi. Apa yang salah? Saya kira ada undang-undangnya yang seharusnya sudah perlu diubah," kata dia, Kamis (10/11/2016).

Penyesuaian tarif tol setiap dua tahun sekali diatur dalam Pasal 48 dari Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 Tentang Jalan. Adapun penyesuaian tarif tol harus mengacu pada Standar Pelayanan Minimum yang ditetapkan BPJT Kementerian PUPR, berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 16 Tahun 2014. Standar tersebut mencakup delapan poin, antara lain: kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, unit pertolongan dan bantuan pelayanan, lingkungan serta ketersediaan tempat istirahat dan pelayanan (TIP). Dengan kata lain, penyesuaian tarif diteken Kepala BPJT jika memenuhi sebanyak delapan poin SPM tersebut.

Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna mengakui masih banyak kekurangan dalam hal pelayanan jalan tol. Meski begitu, Herry mengatakan operator jalan tol sudah maksimal memberi pelayanan sebagaimana aturan yang berlaku selama ini. "Kami akui memang masih ada kekurangan, terutama ketika jam-jam padat, operator terkadang serba salah. Jalan tol macet, jalan dalam kota juga macet. Adapun penyesuaian tarif tol dua tahun sekali itu dimaksudkan dalam rangka investasi baru," kata dia.

Herry beralasan, karena volume jalan tol yang sudah jauh melebihi kapasitas, maka diperlukan investasi baru terkait pengembangan jalan tol sekitarnya. "Makanya penyesuaian tarif itu berlaku karena dihitung dengan investasi baru. Contohnya, Jakarta-Cikampek yang sudah stagnan, setelah dievaluasi dan memenuhi delapan poin SPM, maka diberlakukan tarif baru. Nanti keuntungan dari kenaikan tarif tersebut diinvestasikan untuk jalan tol baru. Saat ini, ada investasi Jalan tol baru yakni Jakarta-Cikampek Elevated atau Jakarta-Cikampek II yang diharapkan mengurai jalan tol Jakarta-Cikampek yang eksisting saat ini".

Herry menambahkan, bahwa Jasa Marga, telah diperintahkan membangun sejumlah ruas tol lain dari keuntungan yang didapat selama ini. “Misalnya, mengoperasikan ruas tol Bali-Mandara, Belawan-Medan, Semarang-Solo hingga ruas Bogor Ring Road. Jadi investasinya jalan terus, termasuk pada ruas dengan Internal Rate of Return atau tingkat pengembalian yang rendah,” pungkas dia.

Anggota BPJT Kementerian PUPR dari unsur profesional, Koentjahjo Pambudi mengatakan, bahwa pemenuhan SPM bagi operator jalan tol dilakukan setiap saat. Dia menyebutkan pemenuhan SPM tidak ada kaitan langsung dengan penyesuaian atau kenaikan tarif tol. “Jadi sebenarnya yang namanya SPM itu setiap saat dilakukan. Kita bisa bilang SPM itu tidak ada kaitan langsung dengan tarif. Setiap ada laporan, teman-teman operator pasti turun,” kata dia.

Sedangkan Direktur Operasi II PT Jasa Marga (Persero) Tbk, Subakti Syukur mengatakan pelayanan kepada pengguna jalan tol merupakan kewajiban operator. “Cara paling mudah merangkul pelanggan melalui survei. Apa yang kurang, kami upayakan semaksimal mungkin,” ujar dia.

Dia mengakui, untuk ruas tol Jakarta-Cikampek, rasio volume kendaraan dengan kapasitas jalan sudah melebihi batas. “Kami melakukan apa yang sebisa mungkin kami berikan. Misalnya memperbanyak gardu atau membuat tempat peristirahatan. Jadi sebenarnya memang sudah tidak hubungan antara tarif dengan SPM, di mana SPM sudah merupakan hal yang wajib.

Berdasarkan Kondisi Normal
Penelusuran KORAN SINDO, Kamis (10/11) menunjukkan bahwa operator jalan tol tidak selalu memenuhi delapan poin SPM tersebut. Misalnya, pada poin kecepatan tempuh rata-rata, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri No 16 tahun 2014. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa kecepatan kendaraan tol dalam kota maksimal di atas 40 kilometer per jam, sedangkan untuk tol luar kota maksimal 60 kilometer per jam. Keduanya dihitung dalam kondisi normal. Faktanya, kerap kali kecepatan rata-rata tersebut terpenuhi.

Misalnya, pengendara yang ingin masuk ke jalan tol Jakarta-Cikampek, mau tak mau masuk melalui jalan tol dalam kota Cawang-Tomang. Pada kondisi puncak di waktu sore atau pagi hari, jalan tol ini menumpuk di pintu tol dalam kota. Imbasnya jalan nasional seperti Jalan Gatot Subroto menjadi sesak oleh kendaraan, saling berebut dan berhimpit menuju pintu tol Cawang-Tomang.

Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyatno mengatakan, belum terpenuhinya kecepatan rata-rata yang merupakan salah satu dari unsur SPM, dirasa tak adil bagi pengguna jalan tol. Menurut dia, kenaikan tarif yang dihitung berdasarkan SPM idealnya berbanding lurus dengan pelayanan. “Jadi memang tidak ada solusi yang ditawarkan oleh pihak operator. Justru mereka membayar untuk macet,” ucap dia.

Menurut dia, pemerintah bersama operator harus adil melihat standar pelayanan minimum. Itu berarti, pemenuhan SPM tidak seharusnya dinilai sepihak. “Kondisi normal itu hanya dilihat ketika jalur tol dalam kondisi lancar. Sedangkan kondisi lancar itu hanya bisa didapati di waktu tengah malam atau subuh hari. Jadi pemahaman kondisi normal itu hanya dilihat sepihak saja,” ungkap dia.

Sebagai jalan berbayar, operator jalan tol harus tegas menutup bukaan pintuk keluar jalan tol yang berpotensi mengalami kondisi macet. Sehingga kecepatan maksimum bisa terpenuhi. Namun, ketika kondisi tertentu, tindakan tegas dengan penutupan pintu keluar sering kali juga tidak menyelesaikan masalah. “Sering kali kondisi penutupan pintuk luar tol semisal tol dalam kota juga tidak menyelesaikan masalah. Karena terkesan diskriminatif mengorbankan pengguna jalur arteri atau jalan nasional maupun jalan daerah,” jelas Agus.

Pemerintah, sudah seharusnya memikirkan permasalahan jalan tol dengan melibatkan semua unsur kepentingan. Salah satunya, berani membatasi jumlah kendaraan. “Sehingga, ketika ada pembangunan jalan baru, baik itu jalan nasional maupun jalan berbayar (tol) bisa dihitung dan terkontrol. Jakarta bisa menjadi pilot project melihat kondisi kepadatan yang sudah melebihi batas kapasitas jalan,” pungkasnya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1380 seconds (0.1#10.140)