Potensi Infesiensi Layanan BPJS Kesehatan Sampai Rp7 Triliun
A
A
A
YOGYAKARTA - Potensi ketidakefisienan layanan kesehatan menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia mencapai angka yang cukup fantastis setiap tahunnya. Dalam seminar Hasil Kajian Penelitian dan Pengembangan BPJS di Hotel Melia Purosani di Yogyakarta, terungkap inefisiensi layanan tersebut mengakibatkan klaim jaminan ini membengkak hingga Rp7 triliun.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional, Ahmad Anshori mengatakan, dalam layanan kesehatan yang dilalui omasyarakat peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), seringkali belum memiliki standar baku yang sama antarpenyelenggara layanan kesehatan. Seringkali Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) langsung melakukan rujukan pasien meskipun bisa ditangani. "Kebanyakan pasti melakukan rujukan meski sebenarnya tidak perlu," tuturnya, Kamis (17/11/2016).
Karena rujukan tersebut sebagian besar dilakukan FKTP maka secara otomatis tagihan klaim BPJS menjadi membengkak. Tagihan berganda untuk penyakit tertentu memang sering terjadi karena pola rujukan tersebut. Diantaranya tagihan di FKTP dan tagihan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan. Inefisiensi tersebut sebenarnya harus dibenahi dengan menerapkan standar rujukan yang sama di masing-masing fasiltas kesehatan.
Kondisi ini semakin diperparah dengan masih ada ketimpangan antara besaran iuran dengan klaim sesungguhnya yang harus dicairkan BPJS kepada rumah sakit. Sehingga seringkali di akhir tahun terjadi defisit anggaran BPJS. Tunggakan tersebut karena keniscayaan yang bisa diselesaikan mengingat penetapan iuran lebih rendah dari kalkulasi aktual.
Menurutnya, reformasi sistem sangat diperlukan untuk mengatasi inefisiensi tersebut. Saat ini dari capaian kepesertaan, memang peserta BPJS sudah sangat mengembirakan karena sudah di angka 167 juta orang. Hanya saja, jumlah tersebut akan sangat tertinggal ketika dirujuk dari target tahun 2018 mendatang. Terlebih dari tingkat klaim dengan iuran yang saat ini sangat timpang.
"Prosedur layanan terutama di FKTP jika dibenahi maka akan berpengaruh cukup signifikan terutama terkait dengan klaim," ujarnya.
Ia mengakui meski sebenarnya lahirnya JKN sudah melalui proses yang cukup panjang, terutama dalam regulasinya. Hanya saja, sampai saat ini masih ada yang belum masuk dalam regulasi sehingga berpotensi menimbulkan inefisiensi dalam prakteknya. Di level rumah sakit misalnya, seringkali terjadi readmisi pada seorang pasien. Pasien akan disuruh untuk datang kembali dalam kurun waktu tertentu untuk penyakit dan keluhan yang sama.
Harusnya, kata dia, hal tersebut bisa dihindari jika ada kepatuhan terhadap aturan yang ada. Kapitalisasi di FKTP ataupun di tingkat lanjutan seharusnya bisa ditinjau kembali ketika telah terjadi 'penyimpangan' dalam pemberian layanan terutama rujukan. Audit sangat diperlukan untuk memastikan layanan dan klaim yang diberikan rumah sakit kepada pasien sudah sesuai standar. "Kepastian hukum agar transaksi sudah final juga diperlukan," tandasnya.
Peneliti dari Universitas Indonesia, Budi Hidayat mengungkapkan, BPJS seharusnya mengembangkan aplikasi yang mampu menskrining kasus-kasus rujukan. Aplikasi tersebut harus bisa digunakan sampai ke kantor cabang.
Sebab pada kasus rawat inap, implikasi yang terdeteksi adalah rujukan non FKTP 31%, rujukan horisontal umum 30,4%, rujukan horisontal khusus 3,1%, dumping 33,7% dan readmisi bermasalah 4,4%. Apabila ada standar layanan yang dipenuhi maka potensi penghematan biaya klaim bisa dicegah. "Potensinya bisa mencapai Rp7,04 triiun atau 12,6% nilai efisiensi tersebut," paparnya.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional, Ahmad Anshori mengatakan, dalam layanan kesehatan yang dilalui omasyarakat peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), seringkali belum memiliki standar baku yang sama antarpenyelenggara layanan kesehatan. Seringkali Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) langsung melakukan rujukan pasien meskipun bisa ditangani. "Kebanyakan pasti melakukan rujukan meski sebenarnya tidak perlu," tuturnya, Kamis (17/11/2016).
Karena rujukan tersebut sebagian besar dilakukan FKTP maka secara otomatis tagihan klaim BPJS menjadi membengkak. Tagihan berganda untuk penyakit tertentu memang sering terjadi karena pola rujukan tersebut. Diantaranya tagihan di FKTP dan tagihan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan. Inefisiensi tersebut sebenarnya harus dibenahi dengan menerapkan standar rujukan yang sama di masing-masing fasiltas kesehatan.
Kondisi ini semakin diperparah dengan masih ada ketimpangan antara besaran iuran dengan klaim sesungguhnya yang harus dicairkan BPJS kepada rumah sakit. Sehingga seringkali di akhir tahun terjadi defisit anggaran BPJS. Tunggakan tersebut karena keniscayaan yang bisa diselesaikan mengingat penetapan iuran lebih rendah dari kalkulasi aktual.
Menurutnya, reformasi sistem sangat diperlukan untuk mengatasi inefisiensi tersebut. Saat ini dari capaian kepesertaan, memang peserta BPJS sudah sangat mengembirakan karena sudah di angka 167 juta orang. Hanya saja, jumlah tersebut akan sangat tertinggal ketika dirujuk dari target tahun 2018 mendatang. Terlebih dari tingkat klaim dengan iuran yang saat ini sangat timpang.
"Prosedur layanan terutama di FKTP jika dibenahi maka akan berpengaruh cukup signifikan terutama terkait dengan klaim," ujarnya.
Ia mengakui meski sebenarnya lahirnya JKN sudah melalui proses yang cukup panjang, terutama dalam regulasinya. Hanya saja, sampai saat ini masih ada yang belum masuk dalam regulasi sehingga berpotensi menimbulkan inefisiensi dalam prakteknya. Di level rumah sakit misalnya, seringkali terjadi readmisi pada seorang pasien. Pasien akan disuruh untuk datang kembali dalam kurun waktu tertentu untuk penyakit dan keluhan yang sama.
Harusnya, kata dia, hal tersebut bisa dihindari jika ada kepatuhan terhadap aturan yang ada. Kapitalisasi di FKTP ataupun di tingkat lanjutan seharusnya bisa ditinjau kembali ketika telah terjadi 'penyimpangan' dalam pemberian layanan terutama rujukan. Audit sangat diperlukan untuk memastikan layanan dan klaim yang diberikan rumah sakit kepada pasien sudah sesuai standar. "Kepastian hukum agar transaksi sudah final juga diperlukan," tandasnya.
Peneliti dari Universitas Indonesia, Budi Hidayat mengungkapkan, BPJS seharusnya mengembangkan aplikasi yang mampu menskrining kasus-kasus rujukan. Aplikasi tersebut harus bisa digunakan sampai ke kantor cabang.
Sebab pada kasus rawat inap, implikasi yang terdeteksi adalah rujukan non FKTP 31%, rujukan horisontal umum 30,4%, rujukan horisontal khusus 3,1%, dumping 33,7% dan readmisi bermasalah 4,4%. Apabila ada standar layanan yang dipenuhi maka potensi penghematan biaya klaim bisa dicegah. "Potensinya bisa mencapai Rp7,04 triiun atau 12,6% nilai efisiensi tersebut," paparnya.
(ven)