BI Pastikan Gejala Rush Money Tak Sentuh Daerah
A
A
A
SOLO - Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Solo Bandoe Widiarto menerangkan, isu gerakan penarikan dana secara besar-besaran (rush money) pada 25 November 2016 tidak berpengaruh terhadap masyarakat Kota Solo dan Kabupaten di sekitarnya. Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPBI) Solo mencatat penarikan uang masih stabil dan tidak ada gejolak.
Lebih lanjut dia menerangkan tidak ada gejolak penarikan uang, meski isu gerakan rush money telah beredar luas. Tercatat pada November, penarikan uang baru mencapai Rp322 miliar atau di level normal. Jumlah itu sangat jauh dibanding saat Lebaran yang penarikannya mencapai Rp1-2 triliun. “Setiap tahun, penarikan terbesar saat Lebaran karena masyarakat membutuhkan uang untuk keperluan hari raya,” ungkap Bandoe Widiarto.
(Baca Juga: Sri Mulyani Sebut Isu Rush Money 25 November Hasutan Berbahaya)
BI Solo juga telah berkoordinasi dengan kalangan perbankan dan tidak ada gejala adanya rush money. Sehingga masyarakat di Kota Bengawan dan kabupaten sekitarnya dinilai cerdas dalam menyikapi isue yang beredar secara viral tersebut. Pihaknya menghimbau masyarakat tidak perlu terpancing dengan isue ajakan menarik uang dari bank secara serentak. “Sebab hal itu berisiko uang dicuri atau dirampok,” paparnya.
Dia menambahkan rumor gerekan rush money sama sekali tidak berdasar karena perekonomian Indonesia cukup kuat. Hal itu dapat terlihat dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,02%, inflasi 3,31%, dan kredit bermasalah hanya 3,2%. Sedangkan kondisi di regional Surakarta jauh lebih baik karena di bawah nasional. Yakni inflasi 2,56%, dan kredit bermasalah 1,71%. Pertumbuhan ekonomi jauh lebih tinggi daripada inflasi. “Sehingga tidak ada alasan melakukan rush money,” tegasnya.
Kondisi saat ini menurutnya beda halnya ketika terjadi rush money di tahun 1998. Sebab kala itu pertumbuhan ekonomi minus 13,1%, inflasi mencapai 82,40%, dan kredit bermasalah di level 30%. Rush money ditegaskan akan berisiko berdampak terhadap perekonomian, dan pembangunan mengalami hambatan. Sebab dana pihak ketiga yang disimpan di bank, di antaranya disalurkan dalam bentuk kredit ke sektor produktif.
Apabila terjadi penarikan uang secara besar besaran dan bersamaan, maka sektor itu akan mengalami goncangan. Deputi Kepala Bidang Advisori dan Pengembangan Ekonomi Daerah BI Solo Taufik Amrozy melanjutkan, rush money merupakan isu sensitif yang harus disikapi dengan bijak. Dengan demikian, masyarakat perlu menyikapinya dengan kepala dingin dan rasional. “Isu yang beredar tidak memiliki argumentasi kuat karena tidak ada tanda tanda krisis,” terang Taufik.
Lebih lanjut dia menerangkan tidak ada gejolak penarikan uang, meski isu gerakan rush money telah beredar luas. Tercatat pada November, penarikan uang baru mencapai Rp322 miliar atau di level normal. Jumlah itu sangat jauh dibanding saat Lebaran yang penarikannya mencapai Rp1-2 triliun. “Setiap tahun, penarikan terbesar saat Lebaran karena masyarakat membutuhkan uang untuk keperluan hari raya,” ungkap Bandoe Widiarto.
(Baca Juga: Sri Mulyani Sebut Isu Rush Money 25 November Hasutan Berbahaya)
BI Solo juga telah berkoordinasi dengan kalangan perbankan dan tidak ada gejala adanya rush money. Sehingga masyarakat di Kota Bengawan dan kabupaten sekitarnya dinilai cerdas dalam menyikapi isue yang beredar secara viral tersebut. Pihaknya menghimbau masyarakat tidak perlu terpancing dengan isue ajakan menarik uang dari bank secara serentak. “Sebab hal itu berisiko uang dicuri atau dirampok,” paparnya.
Dia menambahkan rumor gerekan rush money sama sekali tidak berdasar karena perekonomian Indonesia cukup kuat. Hal itu dapat terlihat dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,02%, inflasi 3,31%, dan kredit bermasalah hanya 3,2%. Sedangkan kondisi di regional Surakarta jauh lebih baik karena di bawah nasional. Yakni inflasi 2,56%, dan kredit bermasalah 1,71%. Pertumbuhan ekonomi jauh lebih tinggi daripada inflasi. “Sehingga tidak ada alasan melakukan rush money,” tegasnya.
Kondisi saat ini menurutnya beda halnya ketika terjadi rush money di tahun 1998. Sebab kala itu pertumbuhan ekonomi minus 13,1%, inflasi mencapai 82,40%, dan kredit bermasalah di level 30%. Rush money ditegaskan akan berisiko berdampak terhadap perekonomian, dan pembangunan mengalami hambatan. Sebab dana pihak ketiga yang disimpan di bank, di antaranya disalurkan dalam bentuk kredit ke sektor produktif.
Apabila terjadi penarikan uang secara besar besaran dan bersamaan, maka sektor itu akan mengalami goncangan. Deputi Kepala Bidang Advisori dan Pengembangan Ekonomi Daerah BI Solo Taufik Amrozy melanjutkan, rush money merupakan isu sensitif yang harus disikapi dengan bijak. Dengan demikian, masyarakat perlu menyikapinya dengan kepala dingin dan rasional. “Isu yang beredar tidak memiliki argumentasi kuat karena tidak ada tanda tanda krisis,” terang Taufik.
(akr)