BI Sudah Totalitas, Tapi Bunga Kredit Bank Merayap Pelan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan sejak Juni 2019 perbankan sangat responsif ikut menurunkan bunga deposito hingga 225 basis poin mengikuti kebijakan BI. Tapi tidak demikian dengan suku bunga kredit nya yang hanya bergerak merayap pelan. Ini ironis mengingat upaya totalitas BI yang terus mencoba memberikan berbagai stimulus, baik dari sisi supply dan demand.
Menanggapi kondisi tersebut Chief Economist TanamDuit, Ferry Latuhihin menilai, tantangan akibat covid-19 membuat bank sedang menghadapi kredit macet yang cukup tinggi dan harus melakukan pencadangan. Ini jelas mengurangi kapasitas bank untuk memberikan kredit.
Oleh karena itu suku bunga BI tidak bisa menjamin turunnya lending rate dan hanya berhasil menurunkan deposit rate atau deposito. Berikutnya terjadi gap yang semakin besar antara bunga deposito (deposit rate) dan bunga kredit (lending rate).
Menurutnya lending rate hanya bisa turun kalau kredit macet dilakukan restrukturisasi sedemikian rupa untuk menarik kembali pencadangan menjadi dana cash.
"Oleh karena itu saya usulkan perbankan harus melakukan restrukturisasi kredit macet dengan cara-cara yang tidak konvensional. Tujuannya agar debitur dan kreditur selamat dan recovery rate nya bisa mencapai 100% bagi bank. Restrukturisasi kredit macet itu harus mengarah pada equity-based dan mezzanine," kata Ferry saat dihubungi MNC Portal Indonesia di Jakarta, Senin (22/2/2021).
Dia mengkritisi, industri perbankan yang tetap diminta tumbuh dengan program penjaminan kredit. Menurutnya ini sangat memberatkan pelaku industri bank dan dampaknya akan buruk.
"Karena total kredit bank umum per 2020 saja tidak sampai Rp6.000 triliun. Belum lagi kalau ditambah NPL hasil restrukturisasi POJK 48. Ini artinya bankir didorong tidak bertanggungjawab," lanjutnya.
Menurutnya pemerintah khususnya OJK harusnya mendorong bankir agar berkemampuan komplit. Bukan sekedar jadi bankir good bank pada saat loan market dan ekonomi bullish saja. Tapi juga harus mikir dan berusaha bisa jadi bankir handal pada saat seperti masa pandemi ini. "Saya siap bantu restrukturisasi kredit macet perbankan bila dibutuhkan," katanya.
Menanggapi kondisi tersebut Chief Economist TanamDuit, Ferry Latuhihin menilai, tantangan akibat covid-19 membuat bank sedang menghadapi kredit macet yang cukup tinggi dan harus melakukan pencadangan. Ini jelas mengurangi kapasitas bank untuk memberikan kredit.
Oleh karena itu suku bunga BI tidak bisa menjamin turunnya lending rate dan hanya berhasil menurunkan deposit rate atau deposito. Berikutnya terjadi gap yang semakin besar antara bunga deposito (deposit rate) dan bunga kredit (lending rate).
Menurutnya lending rate hanya bisa turun kalau kredit macet dilakukan restrukturisasi sedemikian rupa untuk menarik kembali pencadangan menjadi dana cash.
"Oleh karena itu saya usulkan perbankan harus melakukan restrukturisasi kredit macet dengan cara-cara yang tidak konvensional. Tujuannya agar debitur dan kreditur selamat dan recovery rate nya bisa mencapai 100% bagi bank. Restrukturisasi kredit macet itu harus mengarah pada equity-based dan mezzanine," kata Ferry saat dihubungi MNC Portal Indonesia di Jakarta, Senin (22/2/2021).
Dia mengkritisi, industri perbankan yang tetap diminta tumbuh dengan program penjaminan kredit. Menurutnya ini sangat memberatkan pelaku industri bank dan dampaknya akan buruk.
"Karena total kredit bank umum per 2020 saja tidak sampai Rp6.000 triliun. Belum lagi kalau ditambah NPL hasil restrukturisasi POJK 48. Ini artinya bankir didorong tidak bertanggungjawab," lanjutnya.
Menurutnya pemerintah khususnya OJK harusnya mendorong bankir agar berkemampuan komplit. Bukan sekedar jadi bankir good bank pada saat loan market dan ekonomi bullish saja. Tapi juga harus mikir dan berusaha bisa jadi bankir handal pada saat seperti masa pandemi ini. "Saya siap bantu restrukturisasi kredit macet perbankan bila dibutuhkan," katanya.
(akr)