#GenM=Muslim Modern
A
A
A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure
www.yuswohady.com
@yuswohady
Tanggal 6 Desember nanti saya akan meluncurkan buku baru berjudul #GenM (Generation Muslim) bertempat di Kantor Pusat Bank Mandiri Syariah Jakarta. Buku ini kulminasi dari studi kami di Middle Class Institute (sebuah tink tank yang dibentuk Inventure dan majalah SWA) mengenai perilaku muslim kelas menengah di Indonesia.
#GenM adalah kalangan muslim kita yang lahir sekitar akhir 1980- an dan awal 1990-an. Berbeda dengan generasi-generasi muslim sebelumnya, mereka adalah generasi yang modern: berpengetahuan, memiliki global-mindset, dan melek digital. Seperti saya tulis di kolom saya minggu lalu, ketika Islam berpadu dengan pengetahuan, globalisasi, dan digitalisasi, yang muncul adalah sesuatu yang keren. Saya menyebutnya, the new cool.
Knowledgeable
Tak seperti generasi muslim sebelumnya, #GenM adalah generasi yang berpengetahuan dan berwawasan (knowledgeable ). Mereka lahir di akhir tahun 1980-an di mana pendidikan sudah demikian mudah dan murah. Beberapa daerah provinsi mulai menggratiskan pendidikan SD hingga SMA.
Kesempatan untuk masuk ke perguruan tinggi begitu luas, tak heran jika banyak dari mereka mengenyam pendidikan universitas baik strata satu, dua, bahkan tiga.
Sekitar satu dekade sejak #GenM lahir Google telah beroperasi di mana sejak itu pencarian informasi dan pengetahuan apa pun menjadi demikian mudah dengan beberapa klik saja. Tak lama setelah itu media sosial muncul, mulai dari blog, Facebook, dan Twitter, yang memungkinkan sharing informasi dan pengetahuan berlangsung demikian mudah dan masif.
Intinya, lahirnya Google dan social media platform menyebabkan informasi dan pengetahuan bisa diakses secara supermudah, supermurah, dan supercepat. Google memicu terjadi revolusi pengetahuan dan menciptakan apa yang kita kenal sebagai knowledge economy.
Di kalangan masyarakat berpengetahuan (knowledge society), kebutuhan untuk bertahan hidup sudah dianggap terpenuhi. Karena itu, nilai-nilai mereka mulai bergeser dengan menekankan pentingnya kesejahteraan subjektif (subjective well-being), ekspresi diri (selfexpression ), dan kualitas hidup (quality of life).
Mereka mulai menekankan pentingnya perlindungan terhadap lingkungan, persamaan hak pria-wanita (gender equality), partisipasi dalam pengambilan keputusan ekonomi/politik, juga kebebasan individu, toleransi, dan kepercayaan (trust ).
Tingginya tingkat pengetahuan dan wawasan #GenM mendorong keterbukaan intelektual (intelectualopeness), fleksibilitas, dan keluasan pandangan yang pada pada gilirannya membentuk nilai-nilai kemandirian (self-direction values). Pengetahuan dan wawasan yang luas juga akan membuka munculnya ide-ide yang tidak rutin dan inovasi.
Digital Savvy
#GenM adalah 5 screens heavy users. Mereka adalah generasi yang tergantung pada teknologi dan masif menggunakan lima jenis layar (fivescreens: TV, desktop, laptop, iPad, smartphone ) tiap harinya. Dengan beragam gadget dan apps mereka tersambung 24/7 dengan internet dan menjadikan media sosial sebagai bagian sangat penting dalam koneksi sosial mereka.
Mereka lebih nyaman berkomunikasi melalui e-mail atau text messaging daripada dengan bertemu langsung face-to-face. Online presence mereka tinggi sekali melalui aktivitas di blog, Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain. Mereka juga adalah "periset" yang luar biasa. Mereka hobi meng-googling apa pun mulai dari tempat makan favorit, produk di online shop yang hendak dibeli, hingga lowongan pekerjaan yang hendak dimasuki.
Mereka juga aktif mereview produk atau nge-likes aktivitas peers-nya di media sosial. #GenM adalah juga gadgetfreak! Mereka adalah generasi yang lebih banyak menghabiskan waktunya dalam sehari bersama dengan perangkat teknologi digital (smartphone, komputer, iPod, kamera) dan beragam apps (media sosial, onlinegames, Pokemon Go, Gojek, dan Traveloka) ketimbang dengan teman atau anggota keluarga.
Karena lebih banyak aktivitas online ketimbang offline, kemampuan relationship dan social skill secara offline mereka cenderung defisit. Karena itu, mereka mengalami big disconnection. Mereka highly-connected dengan teman-teman mereka secara online, namun ironisnya justru highly-disconnection dengan teman-teman mereka secara offline.
Itu sebabnya, mereka bisa sangat sibuk dengan smartphone ber-text messaging ria dengan teman- temannya di Facebook atau grup WA, namun justru cuekbebek dengan teman-teman di sekitarnya. Karena itu, mereka sering mendapat sebutan "generasi menunduk". Kami juga menyebut #GenM adalah "multi -tribesnetizen".
Mereka hidup di begitu banyak "suku" sebagai habitat komunitasnya. Namun, berbeda dengan suku yang kita kenal selama ini, suku-suku ini tak berada di hutan atau gunung, tapi di komunitas-komunitas online atau grup-grup media sosial seperti Facebook, Twitter, grup WhatsApp, atau grup Telegram.
Global-Mindset
By-default mereka lahir sebagai warga dari "global village". #GenM juga lahir di era di mana informasi, nilainilai, gaya hidup, teknologi, dan produk global bisa mereka akses demikian mudah. Musik yang mereka dengarkan, film yang mereka tonton, produk yang mereka beli, dan informasi yang mereka akses semuanya serbaglobal melintas batas-batas negara.
Ketika Captain of America main di New York, di hari yang sama juga premiere di Jakarta atau Yogya. Dengan Netflix mereka bisa menikmati film-film box office dunia. Melalui TV Kabel yang ongkos berlangganannya kian murah, mereka menonton CNN, HBO, atau E! sama banyaknya dengan menonton Dangdut Indosiar atau Tetangga Masak Gitu-nya NET TV.
Rolemodels mereka adalah Mark Zuckerberg, Elon Mask, Malala Yousafzai, Justin Bieber, atau Ariana Grande, di samping tokoh-tokoh lokal. Karena itu, kami menyebut #GenM adalah juga "Global Generation". Dengan ada globalexposure yang begitu masif, terutama karena ada internet, faktorfaktor yang membentuk budaya mereka tak lagi berlangsung di tingkat lokal seperti kota atau negara.
Nilai-nilai, perilaku, dan harapan mereka dibentuk oleh faktor-faktor yang terjadi di tingkat global. Di era di mana segala sesuatu terkoneksi oleh internet, #GenM kian memiliki global mindset dan global point of view dibanding generasi muslim sebelumnya.
Di samping itu, mereka juga memiliki global solidarity dengan sesama kaum muslim di belahan lain dunia. Ketika kaum muslim di Eropa dan Amerika dimusuhi dan diintimidasi sebagai dampak maraknya terorisme di negara Barat, mereka berempati baik dengan memberikan dukungan langsung atau sekadar membangun opini di media sosial.
Begitu pula ketika majalah Charlie Hebdo di Prancis menghina Nabi Muhammad SAW, spontan mereka melakukan pembelaan.
Managing Partner, Inventure
www.yuswohady.com
@yuswohady
Tanggal 6 Desember nanti saya akan meluncurkan buku baru berjudul #GenM (Generation Muslim) bertempat di Kantor Pusat Bank Mandiri Syariah Jakarta. Buku ini kulminasi dari studi kami di Middle Class Institute (sebuah tink tank yang dibentuk Inventure dan majalah SWA) mengenai perilaku muslim kelas menengah di Indonesia.
#GenM adalah kalangan muslim kita yang lahir sekitar akhir 1980- an dan awal 1990-an. Berbeda dengan generasi-generasi muslim sebelumnya, mereka adalah generasi yang modern: berpengetahuan, memiliki global-mindset, dan melek digital. Seperti saya tulis di kolom saya minggu lalu, ketika Islam berpadu dengan pengetahuan, globalisasi, dan digitalisasi, yang muncul adalah sesuatu yang keren. Saya menyebutnya, the new cool.
Knowledgeable
Tak seperti generasi muslim sebelumnya, #GenM adalah generasi yang berpengetahuan dan berwawasan (knowledgeable ). Mereka lahir di akhir tahun 1980-an di mana pendidikan sudah demikian mudah dan murah. Beberapa daerah provinsi mulai menggratiskan pendidikan SD hingga SMA.
Kesempatan untuk masuk ke perguruan tinggi begitu luas, tak heran jika banyak dari mereka mengenyam pendidikan universitas baik strata satu, dua, bahkan tiga.
Sekitar satu dekade sejak #GenM lahir Google telah beroperasi di mana sejak itu pencarian informasi dan pengetahuan apa pun menjadi demikian mudah dengan beberapa klik saja. Tak lama setelah itu media sosial muncul, mulai dari blog, Facebook, dan Twitter, yang memungkinkan sharing informasi dan pengetahuan berlangsung demikian mudah dan masif.
Intinya, lahirnya Google dan social media platform menyebabkan informasi dan pengetahuan bisa diakses secara supermudah, supermurah, dan supercepat. Google memicu terjadi revolusi pengetahuan dan menciptakan apa yang kita kenal sebagai knowledge economy.
Di kalangan masyarakat berpengetahuan (knowledge society), kebutuhan untuk bertahan hidup sudah dianggap terpenuhi. Karena itu, nilai-nilai mereka mulai bergeser dengan menekankan pentingnya kesejahteraan subjektif (subjective well-being), ekspresi diri (selfexpression ), dan kualitas hidup (quality of life).
Mereka mulai menekankan pentingnya perlindungan terhadap lingkungan, persamaan hak pria-wanita (gender equality), partisipasi dalam pengambilan keputusan ekonomi/politik, juga kebebasan individu, toleransi, dan kepercayaan (trust ).
Tingginya tingkat pengetahuan dan wawasan #GenM mendorong keterbukaan intelektual (intelectualopeness), fleksibilitas, dan keluasan pandangan yang pada pada gilirannya membentuk nilai-nilai kemandirian (self-direction values). Pengetahuan dan wawasan yang luas juga akan membuka munculnya ide-ide yang tidak rutin dan inovasi.
Digital Savvy
#GenM adalah 5 screens heavy users. Mereka adalah generasi yang tergantung pada teknologi dan masif menggunakan lima jenis layar (fivescreens: TV, desktop, laptop, iPad, smartphone ) tiap harinya. Dengan beragam gadget dan apps mereka tersambung 24/7 dengan internet dan menjadikan media sosial sebagai bagian sangat penting dalam koneksi sosial mereka.
Mereka lebih nyaman berkomunikasi melalui e-mail atau text messaging daripada dengan bertemu langsung face-to-face. Online presence mereka tinggi sekali melalui aktivitas di blog, Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain. Mereka juga adalah "periset" yang luar biasa. Mereka hobi meng-googling apa pun mulai dari tempat makan favorit, produk di online shop yang hendak dibeli, hingga lowongan pekerjaan yang hendak dimasuki.
Mereka juga aktif mereview produk atau nge-likes aktivitas peers-nya di media sosial. #GenM adalah juga gadgetfreak! Mereka adalah generasi yang lebih banyak menghabiskan waktunya dalam sehari bersama dengan perangkat teknologi digital (smartphone, komputer, iPod, kamera) dan beragam apps (media sosial, onlinegames, Pokemon Go, Gojek, dan Traveloka) ketimbang dengan teman atau anggota keluarga.
Karena lebih banyak aktivitas online ketimbang offline, kemampuan relationship dan social skill secara offline mereka cenderung defisit. Karena itu, mereka mengalami big disconnection. Mereka highly-connected dengan teman-teman mereka secara online, namun ironisnya justru highly-disconnection dengan teman-teman mereka secara offline.
Itu sebabnya, mereka bisa sangat sibuk dengan smartphone ber-text messaging ria dengan teman- temannya di Facebook atau grup WA, namun justru cuekbebek dengan teman-teman di sekitarnya. Karena itu, mereka sering mendapat sebutan "generasi menunduk". Kami juga menyebut #GenM adalah "multi -tribesnetizen".
Mereka hidup di begitu banyak "suku" sebagai habitat komunitasnya. Namun, berbeda dengan suku yang kita kenal selama ini, suku-suku ini tak berada di hutan atau gunung, tapi di komunitas-komunitas online atau grup-grup media sosial seperti Facebook, Twitter, grup WhatsApp, atau grup Telegram.
Global-Mindset
By-default mereka lahir sebagai warga dari "global village". #GenM juga lahir di era di mana informasi, nilainilai, gaya hidup, teknologi, dan produk global bisa mereka akses demikian mudah. Musik yang mereka dengarkan, film yang mereka tonton, produk yang mereka beli, dan informasi yang mereka akses semuanya serbaglobal melintas batas-batas negara.
Ketika Captain of America main di New York, di hari yang sama juga premiere di Jakarta atau Yogya. Dengan Netflix mereka bisa menikmati film-film box office dunia. Melalui TV Kabel yang ongkos berlangganannya kian murah, mereka menonton CNN, HBO, atau E! sama banyaknya dengan menonton Dangdut Indosiar atau Tetangga Masak Gitu-nya NET TV.
Rolemodels mereka adalah Mark Zuckerberg, Elon Mask, Malala Yousafzai, Justin Bieber, atau Ariana Grande, di samping tokoh-tokoh lokal. Karena itu, kami menyebut #GenM adalah juga "Global Generation". Dengan ada globalexposure yang begitu masif, terutama karena ada internet, faktorfaktor yang membentuk budaya mereka tak lagi berlangsung di tingkat lokal seperti kota atau negara.
Nilai-nilai, perilaku, dan harapan mereka dibentuk oleh faktor-faktor yang terjadi di tingkat global. Di era di mana segala sesuatu terkoneksi oleh internet, #GenM kian memiliki global mindset dan global point of view dibanding generasi muslim sebelumnya.
Di samping itu, mereka juga memiliki global solidarity dengan sesama kaum muslim di belahan lain dunia. Ketika kaum muslim di Eropa dan Amerika dimusuhi dan diintimidasi sebagai dampak maraknya terorisme di negara Barat, mereka berempati baik dengan memberikan dukungan langsung atau sekadar membangun opini di media sosial.
Begitu pula ketika majalah Charlie Hebdo di Prancis menghina Nabi Muhammad SAW, spontan mereka melakukan pembelaan.
(izz)