Pemerintah Masih Kaji Perubahan Skema Bagi Hasil Migas
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah sedang mengkaji perubahan skema kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) di dalam negeri di tengah lesunya industri hulu migas. Perubahan porsi bagi hasil dianggap mampu memacu investasi hulu migas di Indonesia.
Berdasarkan sistem kontrak hulu migas adalah kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) antara kontraktor dengan pemerintah saat ini sebesar 85% untuk negara dan 15% untuk kontraktor. Rencananya kontrak bagi hasil akan diubah menjadi skema groos split dengan membagi hasil sepadan dengan investor atau lebih besar.
"Skema bagi hasil dengan menggunakan gross split ini akan memudahkan dalam menggunakan teknologi baru untuk mencari migas. Dengan begitu ke depan negara tidak lagi membayar cost recovery sehingga lebih efisien," ujar Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar saat ditemui di sela acara forum bisnis Ikatan Ahli Perminyakan Indonesia, Crown Plaza, Jakarta, Selasa (6/12/2016).
Menurutnya, dengan skema gross split negara akan lebih efisien karena tidak lagi mengeluarkan pengembalian biaya operasi migas atau cost recovery yang selama ini sulit dikendalikan. Dalam skema gross plit, jika pemilihan teknologinya tidak efisien risiko secara otomatis ditanggung kontraktor dengan mengurangi bagi hasil mereka.
"Semakin efisien kontraktor, semakin besar insentif yang didapat. Tapi, kalau tidak efisien risiko ditanggung sendiri," ujar dia.
Arcandra menambahkan, skema gross split setidaknya terdapat lima kriteria untuk menentukan bagi hasil, di antaranya besaran cadangan migas, lokasi wilayah kerja migas, tingkat kesulitan produksi, jenis wilayah kerja konvensional atau nonkonvensional serta masuk kategori marginal atau bukan.
Pihaknya juga meyakinkan bahwa skema ini akan lebih menguntungkan negara dan masih dapat di awasi SKK Migas. "Nanti bagaimana perhitungan di masing-masing wilayah kerja tergantung evaluasi dari kriteria tersebut. SKK Migas juga masih punya kontrol akan diapakan lapangan itu," katanya.
Pada kesempatan yang sama, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar Satya Widya Yudha juga menyarankan supaya pemerintah membuat jenis kontrak bagi hasil migas yang lebih fleksibel terhadap harga minyak dunia.
"Kita memang sudah minta ke pemerintah supaya punya tipe kontrak yang sensitif terhadap harga minyak dunia, seperti kontrak sliding scale," ujar Satya.
Menurutnya, dengan bagi hasil saat ini para kontraktor jelas tidak mau melakukan eksplorasi karena menjadi tidak ekonomis di tengah rendahnya fluktuasi harga minyak. Saat ini bagi hasil ke pemerintah 85% untuk blok minyak dan 70% blok gas, sedangkan bagian KKKS 15% dan 30%.
Dia juga menilai rasio penggantian cadangan blok migas tidak akan bertambah jika kegiatan eksplorasi tidak jalan. Hal itu tentu akan berbahaya karena mengancam penemuan cadangan migas nasional.
"Kondisi harga minyak seperti sekarang, bagian kontraktor semestinya besar. Dengan demikian, dia masih punya anggaran yang cukup ekonomis untuk eksplorasi," tuturnya.
Menteri ESDM Ignasius Jonan sebelumnya mengatakan, skema gross split dapat menekan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk cost recovery sehingga beban pemerintah akan lebih ringan. Saat ini Kementerian ESDM tengah menyusun payung hukumnya. "Harapannya tahun depan sudah sudah berlaku," ucap Jonan.
Berdasarkan sistem kontrak hulu migas adalah kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) antara kontraktor dengan pemerintah saat ini sebesar 85% untuk negara dan 15% untuk kontraktor. Rencananya kontrak bagi hasil akan diubah menjadi skema groos split dengan membagi hasil sepadan dengan investor atau lebih besar.
"Skema bagi hasil dengan menggunakan gross split ini akan memudahkan dalam menggunakan teknologi baru untuk mencari migas. Dengan begitu ke depan negara tidak lagi membayar cost recovery sehingga lebih efisien," ujar Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar saat ditemui di sela acara forum bisnis Ikatan Ahli Perminyakan Indonesia, Crown Plaza, Jakarta, Selasa (6/12/2016).
Menurutnya, dengan skema gross split negara akan lebih efisien karena tidak lagi mengeluarkan pengembalian biaya operasi migas atau cost recovery yang selama ini sulit dikendalikan. Dalam skema gross plit, jika pemilihan teknologinya tidak efisien risiko secara otomatis ditanggung kontraktor dengan mengurangi bagi hasil mereka.
"Semakin efisien kontraktor, semakin besar insentif yang didapat. Tapi, kalau tidak efisien risiko ditanggung sendiri," ujar dia.
Arcandra menambahkan, skema gross split setidaknya terdapat lima kriteria untuk menentukan bagi hasil, di antaranya besaran cadangan migas, lokasi wilayah kerja migas, tingkat kesulitan produksi, jenis wilayah kerja konvensional atau nonkonvensional serta masuk kategori marginal atau bukan.
Pihaknya juga meyakinkan bahwa skema ini akan lebih menguntungkan negara dan masih dapat di awasi SKK Migas. "Nanti bagaimana perhitungan di masing-masing wilayah kerja tergantung evaluasi dari kriteria tersebut. SKK Migas juga masih punya kontrol akan diapakan lapangan itu," katanya.
Pada kesempatan yang sama, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar Satya Widya Yudha juga menyarankan supaya pemerintah membuat jenis kontrak bagi hasil migas yang lebih fleksibel terhadap harga minyak dunia.
"Kita memang sudah minta ke pemerintah supaya punya tipe kontrak yang sensitif terhadap harga minyak dunia, seperti kontrak sliding scale," ujar Satya.
Menurutnya, dengan bagi hasil saat ini para kontraktor jelas tidak mau melakukan eksplorasi karena menjadi tidak ekonomis di tengah rendahnya fluktuasi harga minyak. Saat ini bagi hasil ke pemerintah 85% untuk blok minyak dan 70% blok gas, sedangkan bagian KKKS 15% dan 30%.
Dia juga menilai rasio penggantian cadangan blok migas tidak akan bertambah jika kegiatan eksplorasi tidak jalan. Hal itu tentu akan berbahaya karena mengancam penemuan cadangan migas nasional.
"Kondisi harga minyak seperti sekarang, bagian kontraktor semestinya besar. Dengan demikian, dia masih punya anggaran yang cukup ekonomis untuk eksplorasi," tuturnya.
Menteri ESDM Ignasius Jonan sebelumnya mengatakan, skema gross split dapat menekan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk cost recovery sehingga beban pemerintah akan lebih ringan. Saat ini Kementerian ESDM tengah menyusun payung hukumnya. "Harapannya tahun depan sudah sudah berlaku," ucap Jonan.
(izz)