Rupiah di Tapal Batas Indonesia

Senin, 12 Desember 2016 - 14:00 WIB
Rupiah di Tapal Batas...
Rupiah di Tapal Batas Indonesia
A A A
JAKARTA - Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak gugusan pulau terluar, sudah menjadi kewajiban bagi Bank Indonesia (BI) untuk mengedarkan uang hingga wilayah perbatasan dengan negara lain. Hal ini juga dimaksudkan untuk mempertahankan kedaulatan mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pasalnya, wilayah perbatasan dan pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan negara lain, sangat rentan akan intervensi mata uang negara lain. Tentunya, ini akan mengganggu kestabilan rupiah. Sejak tahun 2011 dalam periode 3-4 bulan sekali, BI berinisiatif mengedarkan uang rupiah dalam bentuk kertas dan logam hingga ke wilayah Indonesia perbatasan, termasuk pulau terluar Indonesia.

Beberapa di antaranya yakni, Marore, Miangas, Karakelong, Lirung di Sulawesi Utara yang berbatasan langsung dengan Filipina. Kepulauan Natuna yang berbatasan langsung dengan Singapura dan daerah-daerah lain seperti Pulau Buru dan Pulau Morotai di Maluku Utara serta wilayah perbatasan Indonesia-Papua Nugini di Supiori, Braas dan Sorong.

Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo belum lama ini mengungkapkan, langkah BI mengedarkan uang hingga ke wilayah perbatasan, pulau terluar dan terpencil Indonesia, merupakan penguatan BI di bidang sistem pembayaran, yang akan memperkuat pengawasan on-site dan off-site sektor pembayaran dan pengelolaan uang rupiah di daerah secara komperhensif, terarah dan efisien.

Selanjutnya, di bidang pengelolaan uang rupiah, BI akan memperkuat infrastruktur dan perluasan coverage jaringan distribusi uang. "Hal ini, kami lakukan agar dapat menyediakan Uang Layak Edar (ULE) secara merata dan menjangkau daerah terpencil di seluruh wilayah NKRI," tutur Agus Marto.

Langkah ini juga merupakan amanat dari Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang, yakni rupiah merupakan alat pembayaran yang sah sehingga wajib digunakan dalam kegiatan perekonomian di wilayah Indonesia. Hal ini juga diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.17/3/PBI/2015 dan Surat Edaran (SE) No.17/11/DKSP tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mantan Menteri Keuangan era Kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini juga menekankan, BI ingin menjaga rupiah sebagai simbol dari kedaulatan bangsa. Sebab, sebelum BI memiliki inisiatif untuk mengedarkan uang ke seluruh pelosok negeri, masih sering dijumpai tindakan yang cenderung tidak menghormati dan menghargai rupiah, seperti penggunaan mata uang non rupiah dalam berbagai transaksi yang dilakukan di area NKRI, dan pencantuman harga atau tarif barang dalam bentuk mata uang non rupiah.

Ironi tersebut, menurut Agus Marto, menjadi suatu tantangan tersendiri untuk BI karena sebagai Bank Sentral, dituntut untuk menyediakan mata uang rupiah dalam kondisi yang baik dan diedarkan ke seluruh wilayah NKRI tanpa terkecuali.

"Menjadikan rupiah sebagai representasi kedaulatan negara merupakan kewajiban kita semua. Eksistensi rupiah dalam setiap transaksi yang dilakukan di dalam wilayah NKRI harus menjadi prioritas, dan BI berkomitmen untuk mewujudkannya dengan pengelolaan rupiah yang lebih baik," imbuh Agus.

Peredaran uang di wilayah perbatasan dan pulau terluar Indonesia seperti Miangas, Marore dan lainnya, bukan merupakan perkara yang mudah, BI harus menempuh jarak ratusan kilometer dengan menggunakan jalur darat dan laut, serta mendaki perbukitan yang sulit.

Kepala Tim Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang BI Medan, yang dulunya Asisten Direktur Departemen Pengedaran Uang BI pusat T. Faisal menceritakan, sangat sulit menjangkau daerah-daerah perbatasan, pulau terluar dan terpencil Indonesia untuk mengedarkan uang rupiah hingga akhirnya sampai ke masyarakat. Mereka harus membawa brankas-brankas yang ditaruh dalam 35 kontainer di kapal besar.

Tak hanya itu, posisi geografis beberapa pulau membuat kapal tidak bisa menyandar karena ombak yang tinggi, menjadi kendala terbesar kala itu. Belum lagi, daerah-daerah tersebut bisa dikatakan transportasinya memang sulit dan harus menunggu kapal perintis yang hanya ada sebulan sekali. Kapal perintis pun tidak langsung bisa ke Marore atau Miangas, melainkan harus berputar-putar dulu ke wilayah lain, sehingga perjalanan rupiah membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mencapai daerah terluar Indonesia tersebut.

"Kami kesulitan sekali waktu itu. Menunggu kapal perintis, kemudian kalaupun ada, tidak bisa langsung ke pulau yang akan kami tuju. Belum lagi wilayah tepian pulau yang tidak bisa disandari kapal karena ombak besar dan tinggi. Luar biasa memang pengorbanannya," kisahnya.

Namun tantangan dan kesulitan tersebut tak memakan waktu lama, karena BI akhirnya mendapat bantuan dari TNI AL Indonesia, yang turut menjadi bagian dari tim ekspedisi peredaran uang. Dalam waktu kurang dari 1 minggu, BI berhasil menjangkau beberapa pulau terluar dan terpencil Indonesia waktu itu.

Setelah memakan waktu 6 hari perjalanan, tanggal 24 Juni 2011, BI sudah masuk ke daerah dan pulau terluar Indonesia seperti Marore, Miangas, Karakelong, Lirung yang merupakan wilayah border cross (garis lintas batas) yang menandakan daerah tersebut berbatasan dengan Filipina.

"Kami dibantu dengan TNI AL Indonesia, turun ke laut kemudian naik sekoci bersama brankas-brankas tersebut untuk melewati border cross itu untuk sampai pulau tersebut dan melakukan pengedaran serta penukaran uang ke masyarakat di sana. Jadi, tidak ada istilah uang rupiah tidak sampai ke masyarakat," tambah Faisal.

Hal ini dibenarkan oleh Kepala Kecamatan Khusus Miangas, Sulawesi Utara Steven Maarisit, yang mengungkapkan bahwa sebelum BI melakukan sosialisasi peredaran dan penukaran uang di Miangas, aktivitas ekonomi masyarakat di sana dengan menggunakan rupiah tergolong minim. Mereka harus menjual hasil buminya dalam bentuk kopra ke ibukota kabupaten atau ibukota propinsi di Manado, dimana daerah tersebut besar perputaran uangnya

Dari hasil penjulan komoditi itu, masyarakat bisa membeli bahan pangan, kemudian baru dibawa kembali ke Miangas, sehingga terjadi perputaran uang, meskipun tak seberapa jumlahnya. Ditambah lagi dengan pendapatan perkapita masyarakat Miangas masih sangat kecil yakni Rp200-Rp300.000 per tahun.

"Ya, bisa dikatakan masyarakat kami itu golongannya masih masyarakat miskin meskipun dari segi pembangunan mungkin sudah pelan-pelan lebih maju. Tapi dari segi pengembangan ekonomi masih sangat memprihatinkan," kata Steven.

Kondisi tersebut akhirnya terpecahkan sewaktu BI berhasil menjangkau Miangas untuk melakukan peredaran dan penukaran uang rupiah ke sana. Ini semacam angin segar untuk masyarakat di sana agar ekonomi menjadi lebih baik. Dia bercerita, mereka tidak perlu lagi ke Manado atau kabupaten kota untuk menjual hasil buminya yang kemudian ditukarkan dengan bahan makanan pokok atau sembako.

Pendapatan perkapita masyarakat Miangas pun akhirnya berangsur membaik dengan angka Rp500.000 per tahunnya setelah peredaran uang dari BI masuk. Terlebih lagi, saat ini sudah ada 1 bank BUMN yang berdiri di Miangas, sehingga masyarakat tidak perlu lagi untuk menyimpan uang di lemari atau di bawah bantal.

"Tentunya, kami berterima kasih kepada pihak BI, karena pertama kalinya mereka melakukan penukaran dan peredaran uang NKRI di Miangas dan itu sangat membantu sekali di masyarakat kami untuk menjalani ekonomi yang lebih baik," lanjut dia.

Dia pun menegaskan, meski masyarakatnya pernah terpuruk akibat kegiatan ekonomi yang masih minim menggunakan rupiah, namun dia berani memastikan, orang-orang Miangas tidak mengenal mata uang Peso Filipina akibat letak geografis mereka yang terlalu dekat. Mereka hanya mengenal rupiah meskipun peredarannya kala itu sangat kecil.

Kecintaan masyarakat Miangas akan rupiah, diakuinya sangat luar biasa sehingga tidak ada transaksi dalam bentuk mata uang peso atau mata uang lain. "Masyarakat kita tidak bisa diintervensi dengan mata uang non rupiah. Karena kecintaan orang-orang di sini akan rupiah sangat besar, meskipun daerah kami sangat dekat dengan Filipina yakni hanya memakan waktu 4 jam perjalanan," tuturnya.

Pengamat pasar uang Farial Anwar pun ikut mengapresiasi langkah BI dalam memaksimalkan peredaran uang di wilayah terluar, perbatasan dan terdalam Indonesia. Menurutnya sudah menjadikeharusan BI untuk menyebar uang kertas maupun logam ke seluruh penduduk Indonesia baik yang berada terdalam dan terluar, supaya tidak ada daerah yang mungkin dalam transaksinya tidak menggunakan rupiah.

Meskipun daerah-daerah tersebut transaksi sehari-harinya hanya dalam nominal yang kecil, namun BI tidak boleh melupakan bahwa mereka juga merupakan bagian dari Negara Kesaturan Republik Indonesia yang tidak boleh dintervensi oleh mata uang negara lain.

"Apalagi dulu pernah ada masanya, di mana perdagangan kita di daerah yang berbatasan dengan Singapura, itu menggunakan mata uang dolar Singapura. Itu tidak dibenarkan, karena akan menganggu kecintaan dan kebanggaan kita terhadap rupiah dan juga menyebabkan permintaan terhadap valuta asing juga lebih besar," tuturnya.

BI, lanjut dia, harus menjaga momen di mana pergerakan uang di wilayah-wilayah perbatasan, pulau terluar dan daerah terpencil tetap stabil tanpa adanya gangguan dari mata uang selain rupiah. Sebab itu menjadi salah satu kunci utama dalam menjaga kestabilan dan kedaulatan uang NKRI di dalam negeri sendiri.

Kekuatan rupiah di negeri sendiri, menjadi modal utama untuk membentuk ekonomi dan nasionalisme bangsa Indonesia yang lebih kuat untuk ke depannya. Sehingga, pertumbuhan ekonomi hingga pelosok Indonesia bisa terus terbangun, dan Indonesia akan menjadi salah satu negara yang kuat dari segi ekonomi.

"Kekuatan ini yang tentunya harus dijaga oleh BI dimasa-masa mendatang. Karena seperti semboyan dari BI sendiri yang selalu berada di pasar untuk kestabilan uang rupiah hingga ke pelosok negeri. Saya yakin kita akan kuat dari segi ekonomi, jika itu tetap dijaga secara berkesinambungan," tutup Farial.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6451 seconds (0.1#10.140)