Serikat Pekerja PLN Tolak Klausul Take or Pay Listrik Swasta
A
A
A
JAKARTA - Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (SP PLN) meminta kepada Direktur Utama PLN membatalkan klausul take or pay dalam setiap perjanjian jual beli listrik dengan pihak swasta. Dalam klausul kontrak tersebut, mewajibkan PLN membeli KWh hasil produksi pembangkit listrik swasta (IPP).
"Klausul take or pay pembangkit listrik swasta tersebut sangat merugikan PLN dan pada akhirnya harga listrik akan menjadi semakin mahal diterima oleh masyarakat. Karena setiap komponen biaya listrik pada akhirnya akan dibebankan kepada harga jual listrik ke masyarakat," kata Ketua Umum SP PLN Jumadis Abda di Jakarta, Jumat (23/12).
Hal ini dikemukakan Jumadis menyusul dihentikannya (shutdown) PLTU Bukit Asam karena harus menerima daya dari pembangkit IPP China Sumsel 5 yang sudah beroperasi sejak 29 November lalu. Shutdown harus dilakukan karena daya pembangkit yang berlebih pada sistem Sumsel .
Namun, dengan klausul take or pay tersebut maka 'ambil atau tidak diambil' kWh-nya maka PLN tetap harus membayar listrik dari PLTU Bukit Asam dengan CF/AF = 85% Apabila hal ini terus berlanjut maka akan mendatangkan kerugian bagi PLN sekitar Rp500miliar per tahun.
Kerugian ini didapat dari selisih kWh beli pembangkit IPP dibanding harga pokok produksi PLTU Bukit Asam sendiri. Harga kWh IPP China Sumsel 5, USD cent 5,8 per kWh (Rp780 per kWh) lebih mahal dibandingkan yang dibangkitkan sendiri PLTU Bukit Asam yang hanya sekitar Rp300 per kWh.
SP juga meminta Dirut PLN untuk mengendalikan masuknya pembangkit swasta melalui Power Purchase Agreement (PPA), maksimal hanya 20% dari total pembangkit yang dioperasikan sehingga keandalan dan efisiensi sistem kelistrikan dapat optimal.
Selain itu, SP PLN meminta Dirut PLN dan pemerintah untuk mengevaluasi RUPTL yang memberi kesempatan lebih besar kepada swasta untuk membangun pembangkit.
"SP PLN akan terus mengawal kelistrikan bangsa ini agar selalu sesuai dengan konstitusi, andal, efisien, sampai ke seluruh masyarakat Indonesia, dalam jumlah yang cukup, dan harga yang kompetitif lebih murah dari negara sekawasan. Sehingga mendorong perekonomian bangsa dan negara Indonesia. Listrik di samping energi primer lain adalah termasuk fondasi ekonomi sebuah negara. Sehingga sudah seharusnya mendapat perhatian yang lebih," pungkasnya.
"Klausul take or pay pembangkit listrik swasta tersebut sangat merugikan PLN dan pada akhirnya harga listrik akan menjadi semakin mahal diterima oleh masyarakat. Karena setiap komponen biaya listrik pada akhirnya akan dibebankan kepada harga jual listrik ke masyarakat," kata Ketua Umum SP PLN Jumadis Abda di Jakarta, Jumat (23/12).
Hal ini dikemukakan Jumadis menyusul dihentikannya (shutdown) PLTU Bukit Asam karena harus menerima daya dari pembangkit IPP China Sumsel 5 yang sudah beroperasi sejak 29 November lalu. Shutdown harus dilakukan karena daya pembangkit yang berlebih pada sistem Sumsel .
Namun, dengan klausul take or pay tersebut maka 'ambil atau tidak diambil' kWh-nya maka PLN tetap harus membayar listrik dari PLTU Bukit Asam dengan CF/AF = 85% Apabila hal ini terus berlanjut maka akan mendatangkan kerugian bagi PLN sekitar Rp500miliar per tahun.
Kerugian ini didapat dari selisih kWh beli pembangkit IPP dibanding harga pokok produksi PLTU Bukit Asam sendiri. Harga kWh IPP China Sumsel 5, USD cent 5,8 per kWh (Rp780 per kWh) lebih mahal dibandingkan yang dibangkitkan sendiri PLTU Bukit Asam yang hanya sekitar Rp300 per kWh.
SP juga meminta Dirut PLN untuk mengendalikan masuknya pembangkit swasta melalui Power Purchase Agreement (PPA), maksimal hanya 20% dari total pembangkit yang dioperasikan sehingga keandalan dan efisiensi sistem kelistrikan dapat optimal.
Selain itu, SP PLN meminta Dirut PLN dan pemerintah untuk mengevaluasi RUPTL yang memberi kesempatan lebih besar kepada swasta untuk membangun pembangkit.
"SP PLN akan terus mengawal kelistrikan bangsa ini agar selalu sesuai dengan konstitusi, andal, efisien, sampai ke seluruh masyarakat Indonesia, dalam jumlah yang cukup, dan harga yang kompetitif lebih murah dari negara sekawasan. Sehingga mendorong perekonomian bangsa dan negara Indonesia. Listrik di samping energi primer lain adalah termasuk fondasi ekonomi sebuah negara. Sehingga sudah seharusnya mendapat perhatian yang lebih," pungkasnya.
(ven)