Harga Serba Naik, Pertumbuhan Ekonomi 5,1% Sulit Tercapai
A
A
A
JAKARTA - Target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1% pada tahun ini diperkirakan Institute Development of Economic and Finance (Indef) akan sulit tercapai. Pasalnya ada kado pahit yang diberikan pemerintah di awal tahun 2017 dengan berbagai kenaikan seperti tarif listrik, harga Bahan Bakar Minyak (BBM), sembako hingga lonjakan biaya pengurusan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).
(Baca Juga: Pencabutan Subsidi Bikin Daya Beli Masyarakat Tergerus)
Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan, pemeirntah seharusnya paham bahwa saat ini kondisi masyarakat sedang sulit. Pencabutan subsidi listrik untuk pelanggan golongan 900 voltampere (VA) saja sudah berpotensi menaikkan inflasi, apalagi ditambah dengan kenaikan sejumlah barang kebutuhan pokok lainnya.
"Ini (kenaikan tarif listrik) sudah mulai berlangsung sampai Mei nanti secara bertahap. Ini akan ber-impact langsung pada inflasi. Apabila ini dilakukan bersamaan dengan penyesuaian harga BBM, maka mengakibatkan juga daya beli masyarakat terutama menengah ke bawah langsung terkoreksi," katanya kepada SINDOnews di Jakarta, Kamis (5/1/2017).
Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali keinginan untuk menaikkan biaya pengurusan STNK. Terlebih, kenaikannya cukup drastis hingga mencapai 300%. "Itu saya kira memang harus dikaji ulang. Karena ini memang memberatkan daya beli kita," imbuh dia.
Lebih lanjut dia menjelaskan, tahun ini pertumbuhan ekonomi Indonesia mayoritas didorong oleh konsumsi rumah tangga. Jika di awal tahun saja sudah digoyang dengan kenaikan sejumlah barang kebutuhan pokok, maka target pertumbuhan ekonomi 5,1% akan sulit tercapai, dan inflasi nasional pun akan tembus 4%.
"Kalau di 2017 semua dinaikkan, pajak dinaikkan, maka dikhawatirkan pertumbuhan ekonomi 5,1% yang ditargetkan pemerintah sangat sulit tercapai," tuturnya.
Menurutnya, harga minyak dunia yang mulai terkerek memang akan meningkatkan penerimaan negara dari sektor migas (minyak dan gas bumi). Namun di sisi lain, kenaikan yang terlalu tinggi akan membengkakkan biaya logistik dan transportasi di Tanah Air.
"Sehingga swasta yang daya beli masyarakat sedang lesu, otomatis penjualannya menurun dan di sisi lain dibebankan dengan biaya logistik yang cukup tinggi. Ini akan mengganggu penerimaan di 2017. Jadi pemerintah sebenarnya punya kendali, karena inflasi di 2017 banyak yang sifatnya harga diatur oleh pemerintah. Ini momentumnya diatur," paparnya.
(Baca Juga: Pencabutan Subsidi Bikin Daya Beli Masyarakat Tergerus)
Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan, pemeirntah seharusnya paham bahwa saat ini kondisi masyarakat sedang sulit. Pencabutan subsidi listrik untuk pelanggan golongan 900 voltampere (VA) saja sudah berpotensi menaikkan inflasi, apalagi ditambah dengan kenaikan sejumlah barang kebutuhan pokok lainnya.
"Ini (kenaikan tarif listrik) sudah mulai berlangsung sampai Mei nanti secara bertahap. Ini akan ber-impact langsung pada inflasi. Apabila ini dilakukan bersamaan dengan penyesuaian harga BBM, maka mengakibatkan juga daya beli masyarakat terutama menengah ke bawah langsung terkoreksi," katanya kepada SINDOnews di Jakarta, Kamis (5/1/2017).
Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali keinginan untuk menaikkan biaya pengurusan STNK. Terlebih, kenaikannya cukup drastis hingga mencapai 300%. "Itu saya kira memang harus dikaji ulang. Karena ini memang memberatkan daya beli kita," imbuh dia.
Lebih lanjut dia menjelaskan, tahun ini pertumbuhan ekonomi Indonesia mayoritas didorong oleh konsumsi rumah tangga. Jika di awal tahun saja sudah digoyang dengan kenaikan sejumlah barang kebutuhan pokok, maka target pertumbuhan ekonomi 5,1% akan sulit tercapai, dan inflasi nasional pun akan tembus 4%.
"Kalau di 2017 semua dinaikkan, pajak dinaikkan, maka dikhawatirkan pertumbuhan ekonomi 5,1% yang ditargetkan pemerintah sangat sulit tercapai," tuturnya.
Menurutnya, harga minyak dunia yang mulai terkerek memang akan meningkatkan penerimaan negara dari sektor migas (minyak dan gas bumi). Namun di sisi lain, kenaikan yang terlalu tinggi akan membengkakkan biaya logistik dan transportasi di Tanah Air.
"Sehingga swasta yang daya beli masyarakat sedang lesu, otomatis penjualannya menurun dan di sisi lain dibebankan dengan biaya logistik yang cukup tinggi. Ini akan mengganggu penerimaan di 2017. Jadi pemerintah sebenarnya punya kendali, karena inflasi di 2017 banyak yang sifatnya harga diatur oleh pemerintah. Ini momentumnya diatur," paparnya.
(akr)