Kemenhub Revisi Aturan Soal Pembekuan Rute Maskapai
A
A
A
JAKARTA - Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tengah merevisi aturan yang mengatur tentang sanksi pembekuan rute dan frekuensi kepada maskapai yang mengalami insiden atau kecelakaan.
Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Suprasetyo mengatakan, revisi aturan tersebut guna mengurangi beban maskapai. "Kami akan revisi agar tidak membebani maskapai. Karena kalau sanksi pembekuan itu waktunya lama dan dampaknya ke masyarakat juga," kata dia di Kantor PT Angkasa Pura I, Jakarta, Kamis (9/2/2017).
Berdasarkan Permenhub No 159 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara menyebutkan, badan usaha angkutan udara niaga berjadwal yang mengalami insiden atau kecelakaan pada rute penerbangan yang dilayani, maka izin rute atau frekuensinya tidak dibolehkan menambah kapasitas rute baru dan frekuensi.
Sementara, izin rute dan frekuensi penerbangan, dapat diajukan kembali setelah ada cerrective action berdasarkan hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Pihaknya akan mengaudit khusus jika terjadi insiden atau kelalaian yang dilakukan maskapai, untuk selanjutnya menghentikan sementara frekuensi penerbangan yang mengalami insiden dengan masa waktu 30 hari.
"Kalau insidennya ringan dan bisa diatasi oleh Direktorat kami, maka dilakukan penghentian sementara dulu kemudian kami beri rekomendasi untuk ditangani dengan masa waktu 30 hari," tuturnya.
Kepala Bagian Hukum Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub Rudi Richardo mengatakan, aturan yang direvisi misalnya, terkait insiden pesawat yang mengalami over run. Selanjutnya, akan turun langsung melakukan audit khusus.
"Rekomendasi akan keluar setelah audit khusus dilakukan. Apakah perbaikan manajemen, peningkatan safety termasuk melakukan corrrective plan," kata dia.
Penghentian sementara masih tetap berlaku jika selama 30 hari rekomendasi tidak dijalankan. "Kalau selama 30 hari rekomendasi tidak dijalankan, kita cabut izinnya," tegas dia.
Regulator perhubungan udara tersebut, tetap akan melibatkan KNKT. Namun, tahapannya belum sampai pada tahapan investigasi. Regulator memandang, pelibatan KNKT tetap dilakukan sebatas koordinasi. "Tetap dilakukan karena stakeholdernya memang KNKT juga," imbuhnya.
KNKT akan turun langsung, jika ditenggarai insiden tersebut merupakan masalah serius.
Direktur Operasi Garuda Indonesia, Novianto Heru Pratomo mengatakan, sanksi dalam bentuk pembekuan rute atau frekuensi tidak dikenal di negara lain. Dalam aturan penerbangan internasional manapun, kata Novi, sanksi lebih banyak berupa denda.
"Itu berarti tidak perlu bentuk ketentuan baru seperti pembekuan rute, kecuali untuk suatu kejadian yang indikasinya sangat jelas," ungkapnya.
Pemberian sanksi, lanjut dia, ditentukan setelah bentuk pelanggarannya diketahui penyebabnya. "Untuk menentukan ada pelanggaran atau tidak juga mesti menunggu proses investigasi selesai," ujar Novi.
Sejumlah maskapai pernah mengalami pembekuan izin terbang dan larangan tambahan rute penerbangan. Misalnya maskapai AirAsia yang terkena sanksi pembekuan izin terbang pada rute Surabaya-Singapura setelah pesawat dengan nomor penerbangan QZ-8501 jatuh di perairan Karimata, Desember 2015.
Kemudian pada masa libur Imlek 2015, Lion Air mendapat sanksi tak dibolehkan menambah rute selama empat bulan setelah terjadi delay massal. Sementara sanksi yang terbaru dialami Garuda Indonesia.
Satu frekuensi penerbangan Garuda rute Jakarta-Yogyakarta nomor penerbangan GA-258 juga dihentikan sementara setelah pesawat Garuda pada penerbangan rute tersebut tergelincir saat hendak mendarat di Yogyakarta pada 1 Februari 2017.
Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Suprasetyo mengatakan, revisi aturan tersebut guna mengurangi beban maskapai. "Kami akan revisi agar tidak membebani maskapai. Karena kalau sanksi pembekuan itu waktunya lama dan dampaknya ke masyarakat juga," kata dia di Kantor PT Angkasa Pura I, Jakarta, Kamis (9/2/2017).
Berdasarkan Permenhub No 159 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara menyebutkan, badan usaha angkutan udara niaga berjadwal yang mengalami insiden atau kecelakaan pada rute penerbangan yang dilayani, maka izin rute atau frekuensinya tidak dibolehkan menambah kapasitas rute baru dan frekuensi.
Sementara, izin rute dan frekuensi penerbangan, dapat diajukan kembali setelah ada cerrective action berdasarkan hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Pihaknya akan mengaudit khusus jika terjadi insiden atau kelalaian yang dilakukan maskapai, untuk selanjutnya menghentikan sementara frekuensi penerbangan yang mengalami insiden dengan masa waktu 30 hari.
"Kalau insidennya ringan dan bisa diatasi oleh Direktorat kami, maka dilakukan penghentian sementara dulu kemudian kami beri rekomendasi untuk ditangani dengan masa waktu 30 hari," tuturnya.
Kepala Bagian Hukum Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub Rudi Richardo mengatakan, aturan yang direvisi misalnya, terkait insiden pesawat yang mengalami over run. Selanjutnya, akan turun langsung melakukan audit khusus.
"Rekomendasi akan keluar setelah audit khusus dilakukan. Apakah perbaikan manajemen, peningkatan safety termasuk melakukan corrrective plan," kata dia.
Penghentian sementara masih tetap berlaku jika selama 30 hari rekomendasi tidak dijalankan. "Kalau selama 30 hari rekomendasi tidak dijalankan, kita cabut izinnya," tegas dia.
Regulator perhubungan udara tersebut, tetap akan melibatkan KNKT. Namun, tahapannya belum sampai pada tahapan investigasi. Regulator memandang, pelibatan KNKT tetap dilakukan sebatas koordinasi. "Tetap dilakukan karena stakeholdernya memang KNKT juga," imbuhnya.
KNKT akan turun langsung, jika ditenggarai insiden tersebut merupakan masalah serius.
Direktur Operasi Garuda Indonesia, Novianto Heru Pratomo mengatakan, sanksi dalam bentuk pembekuan rute atau frekuensi tidak dikenal di negara lain. Dalam aturan penerbangan internasional manapun, kata Novi, sanksi lebih banyak berupa denda.
"Itu berarti tidak perlu bentuk ketentuan baru seperti pembekuan rute, kecuali untuk suatu kejadian yang indikasinya sangat jelas," ungkapnya.
Pemberian sanksi, lanjut dia, ditentukan setelah bentuk pelanggarannya diketahui penyebabnya. "Untuk menentukan ada pelanggaran atau tidak juga mesti menunggu proses investigasi selesai," ujar Novi.
Sejumlah maskapai pernah mengalami pembekuan izin terbang dan larangan tambahan rute penerbangan. Misalnya maskapai AirAsia yang terkena sanksi pembekuan izin terbang pada rute Surabaya-Singapura setelah pesawat dengan nomor penerbangan QZ-8501 jatuh di perairan Karimata, Desember 2015.
Kemudian pada masa libur Imlek 2015, Lion Air mendapat sanksi tak dibolehkan menambah rute selama empat bulan setelah terjadi delay massal. Sementara sanksi yang terbaru dialami Garuda Indonesia.
Satu frekuensi penerbangan Garuda rute Jakarta-Yogyakarta nomor penerbangan GA-258 juga dihentikan sementara setelah pesawat Garuda pada penerbangan rute tersebut tergelincir saat hendak mendarat di Yogyakarta pada 1 Februari 2017.
(izz)